5 Alasan Logis Guru Nggak Usah Bikin Konten Pendidikan di YouTube

Muh. Syahrul Padli
4 min readApr 30, 2021

--

(Muh. Syahrul Padli)

https://www.flickr.com/photos/7741046@N06/463555953

Wahai para pendidik, guru honorer, dosen dan guru muda, masih sehat kan? Semoga tetap sehat. Bukannya apa, kalau bapak dan ibu kurang sehat, bagaimana nasib generasi penerus bangsa?

Bapak dan ibu pegiat pendidikan yang saya muliakan. Di tengah deman mendadak youtuber karena pandemi, saya punya secuil saran untuk kalian. Sebuah saran sederhana yang mungkin berguna yaitu: nggak usah ikut-ikut nyemplung dalam dunia YouTube.

Biarlah mereka yang punya sumber daya manusia dan uang yang melakukannya. Kalian sudah berdedikasi luar biasa di tempat tugas masing-masing, masak iya kalian menambah beban sendiri?

Dunia pendidikan kita masih dalam perbaikan. Belum terlalu menghargai usaha ekstra bapak dan ibu. Tak akan ada apresiasi atas waktu yang kalian luangkan. Selain itu, terdapat lima alasan mengapa kalian nggak usah-usah ikut-ikutan nyemplung dengan alasan luhur apa pun.

1. Nguras Tenaga

Bapak dan ibu mungkin ada niatan berbagi bahan pembelajaran di YouTube supaya siswa dan siswi ibu maupun siswa dan siswi di Indonesia punya referensi pembelajaran. Itu hal yang sangat mulia. Mungkin bapak dan ibu melakukannya untuk beradaptasi dengan zaman. Bapak dan ibu ingin melengkapi bahan ajar di situasi pandemi sekarang. Agar siswa dan siswi nggak bosan.

Saya akui, itu niat yang bagus dan mungkin inovasi yang diperlukan. Tapi, bapak dan ibu mesti sadar diri dengan waktu yang terbatas. Bapak dan ibu sudah disibukkan bikin RPP (satu lembar dan biasa), kelola WA Group Mata Pelajaran dan Orangtua Siswa, Kelompok Kerja Guru Online dan semacamnya.

Bukannya apa, membikin konten itu ada banyak tahapan. Pertama cari ide, kedua bikin kerangka ide, ketiga implementasi kerangka ide, editing video dan unggah video. Satu judul bab saja sudah nguras beberapa hari. Apalagi bapak dan ibu kerjakan sendiri-sendiri. Mending tenaga disimpan untuk mengerjakan hal-hal yang langsung berdampak pada siswa kan?

2. Habisin Kuota

Kuota bantuan pemerintah sudah habis duluan untuk WhtasApp, Google Meet, Zoom, Microsoft Team serta aplikasi pendukung pembelajaran daring lainnya. Kalau unggah konten di YouTube maka butuh kuota tambahan yang nggak sedikit. Apalagi kalau ukuran file videonya hampir satu giga — karena ingin menyajikan kualitas video terbaik.

Apa nggak tekor tuh kantong?

3. Siswa-siswi Kabur ke Chanel Lain yang Lebih Menarik

Siswa-siswi sekarang kebanyakan punya standar tinggi untuk menonton Chanel di luar Chanel kesukaan mereka. Harus inilah, harus itulah. Gambar harus kualitas minimal 720p. Suara sulih suara minimal direkam dengan mic condenser agar kurang noise dan semacamnya. Editing suara harus memakai Audacity dan banyak standar lainnya.

Bukannya saya meragukan kualitas konten bapak dan ibu pejuang pendidikan. Tapi, begitulah kenyataannya. Untuk membangun Chanel, bapak dan ibu butuh modal ekstra.

Beban kredit di bank dan sederet tagihan udah bikin dag dig dug serr tiap awal bulan. Masak iya bapak dan ibu menyisihkan gaji lagi untuk beli mic, kamera dan peralatan lainnya.

Siswa dan siswi sekarang itu kadang-kadang sudah kayak brand outdoor itu yang nggak terima perkembangan kualitas video di chanel. Mereka maunya langsung yang proper.

4. Waktu Luang Kembangkan Chanel Lebih Baik Dipakai Bersantai

Bapak dan ibu butuh waktu me time. Waktu untuk menikmati hidup dengan menaruh sementara amanah sebagai pendidik. Entah itu dengan keluarga maupun dengan teman-teman. Entah itu sekadar berbaring, duduk-duduk atau mager sambil bercengkerama di rumah atau pergi ke tempat liburan yang menerapkan protokol kesehatan.

Me time lebih bapak dan ibu butuhkan dibanding seharian membuat konten pendiikan. Itu untuk untuk mengisi ulang daya setelah berhari-hari mesti mengajar dan melaksanakan tugas kependidikan lainnya.

5. Sudah Banyak Chanel Pendidikan yang Lebih Siap

Bapak dan ibu mungkin sudah saatnya menengok Chanel pendidikan di YouTube. Banyak kok yang bagus. Mulai dari subscriber-nya jutaan sampai yang baru ribuan.

Chanel dalam negeri ada yang namanya Kok Bisa, Sisi Terang, Hujan Tanda Tanya, Bawah Pohon Science dan semacamnya. Chanel luar negeri ada Kurzgesagt, 3Blue1Brown dan semacamnya.

Bapak dan ibu lebih baik mengarahkan siswa dan siswi menengok beberapa Chanel itu dan memantau hasil tontonan mereka melalui tugas rangkuman dan sejenisnya.

Tapi ya, saran saya boleh kok diabaikan selama bapak dan ibu nyaman melakukannya dan justru mendapat kesenangan batin dari kerja-kerja tambahan sebagai kreator konten (content creator).

Jika bapak dan ibu telah meneguhkan diri untuk ikut juga berpartisipasi dalam dunia per-youtube-an sebagai wakil para pendidik, bapak dan ibu berkumpul sesama pembuat konten, bikin tim yang berisi guru dengan spesifikasi khusus. Yang bisa saling mendukung. Supaya kerja-kerja pembuatan konten lebih ringan.

Kalau bapak dan ibu bisa bekerjasama menghasilkan sebuah karya nyata, maka semangat ini mungkin bisa ditularkan ke siswa. Supaya urusan ranking bukan yang utama di kelas. Tapi, kerjasama dan adaptasi. Dan itu mungkin bisa dimulai dari bapak dan ibu sendiri bukan hanya di konten YouTube tapi juga dalam pembelajaran.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (1)