Apakah Ayah Bahagia Setelah Saya (dan Kalian) Lahir?
(Muh. Syahrul Padli — Seri Refleksi)
Saya selalu penasaran apakah ayah saya bahagia setelah saya lahir?Sejujurnya, saya tak ingat kapan terakhir kali ayah saya tersenyum dengan lepas.
Kebahagiaan saat awal-awal pernikahannya mungkin telah berhenti setelah kakak dan saya lahir. Lalu semakin berkurang ketika dua adik saya juga lahir.
Dan kebahagiaan itu akhirnya menguap entah kemana setelah saya masuk sekolah lalu kuliah.
Kebanyakan anak lebih dekat dengan ibunya. Dan kebanyakan ayah juga tak tahu mengungkapkan perasaannya. Ayah kadang terasa lebih mirip robot dibanding manusia.
Di kampung, sangat sedikit anak laki-laki yang dekat dengan ayahnya. Apalagi bagi seorang ayah yang tak punya kesempatan menemukan sudut pandang lain tentang bagaimana relasi dengan anak laki-laki yang seharusya.
Salah satu sebabnya adalah maskulinitas beracun sisa-sisa peninggalan sistem warisan. Apakah itu buruk? Itu bisa diperdebatkan.
Suatu tradisi bertahan bisa disebabkan karena memang berguna atau karena tak ada tradisi tandingan.
Barangkali ini juga perkara evolusi. Buyut laki-laki mewariskan sikap ini secara turun temurun sejak masa kesukuan hingga zaman modern.
Mandiri dan tak terikat dengan ayah adalah siklus yang lazim saja. Hal yang sama juga dimiliki oleh saudara jauh kita: simpanse.
Namun kita berbeda dengan simpanse. Kita bisa membuat terobosan dengan memegang fiksi (ide bersama) yang menentang maskulinitas.
Bahwa dalam rumah tangga, semua anggota keluarga punya peran masing-masing. Bahwa dalam keadaan tertentu, ibu juga bisa memimpin.
Sayangnya meskipun manusia punya potensi berkembang yang tak terbatas, tak setiap laki-laki punya kesempatan untuk merasakan lingkungan yang tak memaksa mereka jadi maskulin, jadi yang terkuat, yang terhebat, yang bisa menanggung semua masalah keluarga sendirian.
Dunia mungkin tak pernah adil bagi ayah. Kalaupun seorang ayah mendapat keluarga yang suportif, mereka tetap dihakimi di masyarakat. Para ayah seolah-olah hadir hanya untuk melanjutkan siklus tanpa perasaan ini, siklus suksesi genetika; sebagai jembatan pelanjut rantai evolusi.
Dan setelah sekian banyak pengorbanan yang telah beliau lakukan, apakah kita pernah bertanya “apakah Ayah bahagia setelah saya lahir?”
Ayah saya punya masa lalu yang sulit. Beliau punya ayah secara fisik, namun tidak secara batin. Beliau lahir dari keluarga broken home.
Beliau tumbuh dalam didikan paman yang keras. Hidupnya lebih banyak menderitanya. Keadaan membentuk beliau jadi tangguh.
Kesadaran untuk sekolah jarang dimiliki laki-laki pada zamannya. Ayah saya salah satu dari manusia langka itu di zamannya. Beliau kemudian jadi PNS dan menikah.
Jika dibandingkan dengan para ayah lain, ayah saya relatif lebih peka dan inovatif. Beliau demokratis dan dalam batas tertentu sedikit liberal (menolak adat yang menurutnya tak relevan)— meskipun kadang cetakan tradisi masih melekat.
Gaji sebagai guru sebenarnya tak cukup membiayai kami berempat, anak-anaknya. Ayah juga menggarap beberapa petak sawah agar pengeluaran bisa dipangkas. Beliau juga sering menjaring ikan di sungai untuk lauk.
Bisa dibilang, ayah nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Hanya saat tidur di depan TV yang menyala, beliau bisa tidur pulas — mungkin.
Ayah saya seorang penggemar sepakbola, pencinta mati Lionel Messi dan Argentina. Beberapa bulan lalu, kebetulan adalah periode piala dunia.
Kami langganan TV satelit. Namun, tidak ada paket khusus piala dunia. Saya inisiatif membeli antena TV digital.
Mungkin apa yang saya lakukan bukanlah hal besar. Namun saya pikir, hal-hal kecil yang bahkan dia sendiri tak sadari adalah cara untuk sedikit membalas kebaikan yang juga dia tak sadari sejak saya lahir sampai saat ini.
Sebagai balasan atas perjuangannya membesarkan anak pemberontak tak biasa diandalkan macam saya. Tentu saja, saya tak bisa menebus semua rasa sakit, pengorbanan dan kerelaannya mengubur impian demi anak-anaknya. Tapi setidaknya saya coba memberi jalan bagi munculnya kebahagiaan kecil.
Mungkin beginilah cara laki-laki berkomunikasi. Dan mungkin beginilah cara komunikasi kaku dan dingin antara ayah dan anak laki-lakinya.
Kami saling memperhatikan dalam cara paling dingin.