Bagian Dua Memoar Haruki Murakami

Muh. Syahrul Padli
16 min readApr 9, 2024

--

(Penerjemah: Muh Syahrul Padli, versi fix 40%)

image source

14 Agustus 2005 • Kauai, Hawaii

Tips Menjadi Novelis Pelari

Ini tanggal 14 Agustus, hari Minggu. Pagi ini aku berlari satu jam lima belas menit, mendengarkan Carla Thomas dan Otis Redding di pemutar MD-ku. Sore hari aku berenang 1.400 meter di kolam renang dan di malam hari berenang di pantai. Dan setelah itu aku makan malam — bir dan ikan — di restoran Dolphin Hanalea di pinggiran kota Hanalea. Hidangan yang kulahap adalah walu, sejenis ikan putih. Mereka memanggangnya di atas arang, dan aku memakannya bersama kecap. Laukku adalah kebab sayuran, ditambah salad besar.

Sejauh ini di bulan Agustus, aku telah menempuh sembilan puluh tiga mil.

Waktu yang sangat panjang telah kulewati sejak mulai berlari setiap hari. Tepatnya, dimulai pada musim gugur tahun 1982. Aku berusia tiga puluh tiga saat itu.

Tidak lama sebelum itu, aku adalah pemilik sebuah kelab jazz kecil di Tokyo, dekat Stasiun Sendagaya. Tak lama setelah lulus dari kampus — aku sudah begitu sibuk dengan pekerjaan sampingan sehingga aku sebenarnya masih punya beberapa mata ujian setelah lulus dan masih resmi menjadi mahasiswa — aku telah membuka sebuah kelab kecil dekat pintu masuk selatan Stasiun Kokubunji. Kelab itu telah berdiri di sana selama sekitar tiga tahun; kemudian, ketika gedung itu ditutup untuk renovasi, aku memindahkannya ke lokasi baru, lebih dekat ke pusat Tokyo. Tempat baru itu tidak besar — kami memiliki piano besar dan hanya cukup ruang untuk sebuah kwintet (grup musik yang terdiri dari lima orang) berdempetan. Pada siang hari, kelab itu adalah sebuah kafe; pada malam hari, kelab itu adalah sebuah bar. Kami juga menyajikan makanan ringan (snack dan semacamnya), dan pada akhir pekan, menampilkan pertunjukan musik live. Kelab semacam ini masih sangat langka di Tokyo saat itu, jadi kami mendapatkan pelanggan tetap dan tempat itu tidak punya masalah dari sisi finansial.

Sebagian besar temanku meramalkan kalau kelab akan gagal. Mereka mengira bahwa bisnis yang dijalankan sebagai hobi tidak akan berhasil, dan orang sepertiku — aku cukup naif dan, mereka menduga, tidak memiliki bakat sedikit pun untuk berbisnis — tidak akan mampu menjalankannya. Prediksi mereka sangat keliru. Sejujurnya, aku juga tidak berpikir punya bakat berbisnis. Aku hanya berpikir karena aku tak boleh gagal, aku harus bersungguh-sungguh mengerahkan semua yang kupunya. Daya tahanku telah terasah karena aku bekerja keras dan sanggup mengerjakan banyak pekerjaan fisik. Aku bekerja lebih keras daripada seekor kuda pacuan. Aku tumbuh dalam keluarga kerah putih, jadi aku tidak tahu banyak tentang bisnis, tetapi untungnya keluarga istriku menjalankan bisnis dan intuisinya yang alami sangat membantu.

Pekerjaanku sendiri sangat melelahkan. Aku berada di kelab dari pagi sampai malam dan aku pulang dengan kepayahan. Aku memiliki semua jenis pengalaman menyakitkan dan penuh kekecewaan. Tetapi, setelah beberapa saat, aku mulai mendapat cukup laba untuk mempekerjakan orang lain, dan akhirnya aku bisa beristirahat. Untuk memulai bisnis, aku telah meminjam uang sebanyak mungkin dari setiap bank yang memberi pinjaman, dan sekarang aku telah melunasinya. Segalanya mulai tenang. Sampai titik itu, di kepalaku hanya ada pertanyaan tentang kelangsungan hidup belaka, dan aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Sekarang aku merasa seolah-olah telah mencapai puncak tangga curam dan berjalan ke ruang terbuka. Aku yakin dapat menangani masalah baru yang mungkin muncul. Aku mengambil napas dalam-dalam, melirik kembali ke tangga yang baru saja kunaiki, lalu perlahan-lahan menatap ke sekitarku dan mulai merenungkan tahap selanjutnya dalam kehidupanku. Aku akan berusia tiga puluh tahun. Aku mencapai usia di mana aku tidak akan dianggap muda lagi. Dan, hampir tiba-tiba, terpikir olehku untuk menulis sebuah novel.

Aku dapat menyebutkan detil waktu ketika momen itu terjadi. Saat itu jam 1:30 SIANG , 1 April 1978. Aku berada di Stadion Jingu , sendirian di lapangan, menonton pertandingan Baseball. Stadion Jingu bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari apartemenku pada saat itu, dan aku adalah penggemar Yakult Swallows yang cukup setia. Hari itu adalah musim semi yang indah, tanpa awan, dengan angin sepoi-sepoi bertiup. Dulu tidak ada bangku penonton di area luar lapangan, hanya lereng berumput. Aku berbaring di rumput, menyeruput bir dingin, sesekali menatap langit, dan menikmati pertandingan. Seperti biasa, stadion tidak terlalu ramai. Pertandingan itu adalah pembuka musim, dan Swallows bertandang ke Hiroshima Carp. Takeshi Yasuda melempar bola untuk Swallows. Dia seorang pelempar pendek kekar dengan bola melengkung yang berbahaya. Dia dengan mudah menyelesaikan inning pertama (berhasil melewati semua base tanpa terkena lemparan). Pemukul pertama untuk Swallows adalah Dave Hilton, pemain muda Amerika yang baru dalam tim. Hilton mengarahkan pukulannya ke garis kiri lapangan. Suara benturan bola dengan tongkat pemukul menggema di stadion. Hilton dengan mudah menutup babak pertama dan memaksa pertandingan berlanjut ke babak kedua. Dan pada saat itulah sebuah pikiran muncul di benakku. Kau tahu apa? Aku sepertinya bisa menulis novel. Aku masih ingat langit yang terbuka lebar, nuansa rumput muda, suara menggairahkan benturan bola dengan pemukul. Sesuatu terbang turun dari langit pada saat itu, dan, yang jelas, aku menerimanya.

Aku tidak memiliki ambisi untuk menjadi seorang “novelis.” Aku hanya memiliki keinginan kuat untuk menulis sebuah novel. Aku tidak memiliki gambaran konkret tentang apa yang ingin kutuliskan — hanya keyakinan bahwa aku dapat menghasilkan sesuatu yang kutemukan meyakinkan. Ketika aku berpikir untuk duduk di mejaku di rumah dan mulai menulis, aku menyadari bahwa aku bahkan tidak memiliki pulpen yang bagus. Jadi aku pergi ke toko Kinokuniya di Shinjuku dan membeli setumpuk kertas tulis dan pena Sailor seharga lima dolar. Investasiku dengan modal kecil.

Pada musim gugur itu, aku telah menyelesaikan pekerjaan tulisan tangan sepanjang dua ratus halaman. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan dua ratus halaman itu, jadi aku hanya membiarkan momentum membawaku dan kuserahkan ke panitia sayembara novel penulis pemula majalah sastra Gunzo. Aku mengirimnya tanpa membuat salinan, jadi aku tidak terlalu peduli jika tidak menang dan tulisan itu menghilang selamanya. Aku lebih tertarik menyelesaikan novel daripada mengetahui apakah novel itu mendapat perhatian publik atau tidak.

Tahun itu, Yakult Swallows, underdog abadi, memenangkan kompetisi dan kemudian mengalahkan Hankyu Braves di Seri Jepang. Aku sangat senang dengan hasil ini, dan aku datang ke beberapa pertandingan di Stadion Korakuen. (Tidak ada yang benar-benar membayangkan bahwa Swallows akan menang, jadi kandang mereka, Stadion Jingu , telah diambilalih oleh tim bisbol kampus.) Itu adalah musim gugur yang sangat indah. Langit cerah dan pohon-pohon ginkgo di depan Meiji Memorial Gallery lebih keemasan daripada yang pernah kulihat. Itulah musim gugur terakhir usia dua puluhanku.

Pada musim semi berikutnya, ketika mendapat telepon dari seorang editor di Gunzo yang mengatakan kepadaku kalau novelku telah masuk daftar utama (short list) penulis yang berpeluang mendapat hadiah, aku benar-benar lupa telah mengikuti kontes. Aku sudah sangat sibuk dengan hal-hal lain. Tetapi novel itu kemudian memenangkan penghargaan dan diterbitkan pada musim panas dengan judul “Hear the Wind Sing.” Novel itu diterima dengan baik, dan, tanpa benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba aku mendapati diri diberi label baru, penulis pendatang baru. Aku terkejut, tetapi orang-orang yang mengenalku bahkan lebih terkejut.

Setelah itu, ketika masih menjalankan kelab jazz, aku menuntaskan penulisan novel keduaku yang cukup panjang, “Pinball, 1973.” Aku juga menulis beberapa cerita pendek dan menerjemahkannya beberapa karya F. Scott Fitzgerald. Baik “Hear the Wind Sing” dan “Pinball, 1973” dinominasikan untuk Penghargaan Sastra Akutagawa yang bergengsi, tetapi pada akhirnya tidak ada yang menang. Aku tidak peduli dengan kegagalan itu dan tak peduli dengan hal-hal semacam itu. Jika aku memenangkan penghargaan, aku akan disibukkan oleh wawancara dan pekerjaan menulis, dan aku takut itu akan mengganggu pekerjaanku di kelab.

Selama tiga tahun aku menjalankan kelab jazz-ku — menyimpan uang di bank, memeriksa inventaris, menjadwalkan staf, berdiri di belakang meja pencampuran koktail dan memasak, tutup pada dini hari, dan baru kemudian bisa menulis, di rumah, di meja dapur, sampai aku mengantuk. Aku merasa seolah-olah aku menjalani kehidupan dua orang. Dan, lambat laun, aku mendapati diriku ingin menulis novel yang lebih substansial. Aku menikmati proses menulis dua novel pertamaku, tetapi ada bagian dari keduanya yang tidak kusukai. Aku hanya bisa menulis dengan cepat, menyambar sedikit waktu — setengah jam di sini, satu jam di sana — dan, karena aku selalu lelah dan merasa seolah-olah berpacu dengan waktu, aku tidak pernah bisa berkonsentrasi dengan sangat baik. Dengan pendekatan menulis terpecah-pecah ini, aku dapat menulis beberapa hal baru yang menarik, tetapi hasilnya jauh dari kompleks atau mendalam. Aku merasa seolah telah diberi kesempatan luar biasa ini untuk menjadi seorang novelis, dan aku memiliki keinginan alami untuk mengambil kesempatan tersebut sejauh yang kumampu. Jadi, setelah banyak berpikir, kuputuskan untuk menutup bisnis dan hanya fokus menulis. Pada titik ini, penghasilanku dari kelab jazz jauh lebih besar daripada penghasilanku sebagai seorang novelis, kenyataan yang mau tak mau kuterima.

Sebagian besar temanku dengan tegas menentang keputusanku, atau setidaknya memiliki keraguan tentang hal itu. “Bisnismu baik-baik saja sekarang,” kata mereka. “Mengapa tidak membiarkan orang lain menjalankannya saat kamu menulis novelmu?” Tapi aku tidak bisa mengikuti saran mereka. Aku adalah tipe orang yang harus berkomitmen penuh untuk apa pun yang kulakukan. Andai, setelah berkomitmen, aku gagal, aku bisa menerimanya. Tapi andai aku melakukan sesuatu dengan setengah hati dan itu tidak berjalan semestinya, aku akan selalu menyesal.

Jadi, terlepas dari keberatan semua orang, aku menjual kelab dan, tak punya banyak uang, menghabiskan waktu sebagai seorang novelis. “Aku hanya ingin bebas menulis selama dua tahun,” jelasku kepada istriku. “Jika tidak berhasil, kita selalu dapat membuka bar lain di suatu tempat. Aku masih muda dan kami masih punya waktu untuk memulai dari awal lagi. ”Waktu itu tahun 1981 dan kami masih memiliki banyak hutang, tetapi kupikir aku akan melakukan yang terbaik dan melihat apa yang akan terjadi nanti.

Jadi kuputuskan untuk menulis novelku dan, pada musim gugur tahun itu, pergi ke Hokkaido selama seminggu untuk melakukan riset (mengumpulkan bahan tulisan — penerjemah). Di bulan April berikutnya, aku telah menyelesaikan “A Wild Sheep Chase.” Novel ini jauh lebih panjang dari dua sebelumnya, lebih banyak halamannya dan lebih banyak digerakkan oleh cerita. Pada saat aku selesai menulisnya, aku mendapat firasat baik kalau aku telah menciptakan gaya tulisanku sendiri. Sekarang aku benar-benar bisa membayangkan diriku mencari nafkah sebagai novelis.

Para editor di Gunzo mencari sesuatu yang lebih konvensional dan mereka tidak terlalu peduli dengan “A Wild Sheep Chase.” Namun, para pembaca tampaknya menyukai novel baru itu, dan itulah yang membuatku paling bahagia. Itu adalah titik awal nyata bagiku sebagai seorang novelis.

Begitu kuputuskan menjadi penulis profesional, muncul masalah lain: pertanyaan tentang bagaimana agar tetap bugar secara fisik. Menjalankan kelab membutuhkan kerja fisik yang terus menerus, tetapi begitu aku duduk di meja menulis sepanjang hari berat badanku mulai bertambah. Aku juga merokok terlalu banyak — enam puluh batang sehari. Jari-jariku kuning, dan tubuhku berbau asap. Kuputuskan kalau itu tidak baik bagi kesehatanku. Jika aku ingin punya karir panjang sebagai seorang novelis, aku harus menemukan cara untuk tetap bugar.

Sebagai salah satu jenis olahraga, lari memiliki banyak manfaat. Pertama-tama, tidak perlu seseorang untuk membantu; juga tidak butuh peralatan khusus. Tidak harus pergi ke tempat tertentu untuk melakukannya. Selama memiliki sepasang sepatu lari dan jalanan yang bagus, sudah bisa berlari sesuka hati.

Setelah menutup bar, kuputuskan mengubah gaya hidupku sepenuhnya, dan aku bersama istriku pindah ke Narashino, di perfektur Chiba. Dulu daerah itu masih pedesaan, dan tidak ada fasilitas olahraga yang layak. Tetapi ada pangkalan Pasukan Pertahanan di dekatnya, dan jalan-jalannya terpelihara dengan baik. Ada juga area pelatihan di lingkungan dekat Universitas Nihon, dan jika aku pergi ke sana pagi-pagi, ketika tidak ada orang lain di sekitar, aku bisa menggunakan jalanan itu untuk lari-lari. Jadi aku tidak perlu terlalu memikirkan kegiatan apa yang harus kupilih. Aku bisa mulai berlari.

Tidak lama setelah itu, aku juga berhenti merokok. Tidak mudah dilakukan, tetapi aku tidak bisa benar-benar berlari tanpa meninggalkan kebiasaan merokokku. Keinginanku untuk berlari sangat membantu dalam mengatasi tanda-tanda keinginan berhenti berlari. Tak merokok lagi juga seperti gerakan perpisahan simbolis pada kehidupan yang dulu kujalani.

Di sekolah aku tidak pernah terlalu peduli dengan kelas olahraga atau Hari Olahraga, karena aku disuruh oleh guru berolahraga maka aku berolahraga. Tetapi setiap kali aku bisa melakukan sesuatu yang kusukai, ketika aku ingin melakukannya, dan caraku ingin melakukannya, aku akan memberikan semua yang kubisa. Karena tubuhku tidak atletis atau terlatih, aku tidak pandai dalam jenis olahraga di mana semuanya diputuskan dalam sekejap. Lari jarak jauh lebih cocok dengan kepribadianku, yang mungkin menjelaskan mengapa aku dapat dengan cepat menjadikan lari sebagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hariku. Aku bisa mengatakan hal yang sama tentang diriku dan tentang caraku belajar. Sepanjang pendidikan formalku, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, aku tidak pernah tertarik pada hal-hal yang terpaksa kupelajari. Akibatnya, meskipun nilaiku bukan jenis nilai yang harus ditutup-tutupi dari orang lain, aku tidak ingat pernah dipuji karena kinerja yang baik atau nilai yang baik, atau menjadi yang terbaik dalam hal apa pun. Aku mulai menikmati belajar hanya setelah berhasil melewati sistem pendidikan formal dan menjadi apa yang disebut “anggota masyarakat.” Jika sesuatu membuatku tertarik, dan aku bisa mempelajarinya dengan ritmeku sendiri, aku cukup efisien dalam memperoleh pengetahuan.

Hal terbaik tentang menjadi penulis profesional adalah aku bisa tidur lebih awal dan bangun pagi. Ketika menjalankan kelab, aku sering tidak bisa tidur sampai hampir subuh. Kelab tutup pukul dua belas, tetapi kemudian aku harus bersih-bersih, memeriksa struk pembayaran (tanda terima), duduk dan berbicara, dan bersantai minum bir. Aku melakukan semua itu dan, tak kusadari, sudah JAM 3 PAGI dan matahari sudah hampir terbit. Seringkali aku masih duduk di meja dapurku, menulis, ketika cahaya sudah menerobos masuk. Biasanya, pada saat aku bangun hari itu, matahari sudah tinggi di langit.

Begitu memulai hidup sebagai seorang novelis, istriku dan aku memutuskan akan pergi tidur lebih cepat dan bangun agak telat. Bagi kami, itu gaya hidup yang lebih cocok dan masuk akal. Kami juga memutuskan sejak saat itu kalau kami hanya akan menemui orang yang ingin kami temui, dan, sebisa mungkin, tak melakukan apa yang kami tidak ingin kami lakukan. Kami merasa, setidaknya untuk sementara waktu, kami dapat membiarkan diri kami hidup sesederhana dan semenyenangkan itu.

Dalam kehidupanku yang baru, sederhana, dan teratur, aku bangun sebelum JAM 5 PAGI . dan tidur sebelum jam 10 MALAM . Setiap orang punya waktu-waktu terbaik yang berbeda dalam satu hari, tapi aku jelas orang yang bangun pagi. Saat itulah aku bisa fokus. Setelah itu, aku berolahraga atau melakukan tugas yang tidak terlalu membutuhkan konsentrasi. Setelah semua aktivitas itu, aku bersantai, membaca, atau mendengarkan musik. Berkat pola ini, aku dapat bekerja secara efisien sekarang selama dua puluh tujuh tahun. Namun, itu adalah pola yang tidak cocok untuk kehidupan malam, dan kadang-kadang membuat hubunganku dengan orang lain bermasalah. Orang-orang tersinggung ketika berulang kali ditolak ajakannya. Tetapi, pada saat itu, aku merasa hubungan yang sangat diperlukan yang harus kubangun dalam hidupku bukanlah dengan orang tertentu tetapi dengan sejumlah pembaca yang tidak terduga. Para pembacaku akan menyambut gaya hidup apa pun yang kupilih, selama aku memastikan kalau setiap karya baruku merupakan peningkatan dari yang sebelumnya. Dan itu kan memang sudah tugasku — dan prioritas utamaku — sebagai penulis novel? Aku tidak melihat wajah pembacaku, jadi hubunganku dengan mereka adalah sesuatu yang konseptual, tetapi aku secara konsisten menganggapnya sebagai hal yang paling penting dalam hidupku.

Dengan kata lain, kita tidak bisa menyenangkan semua orang.

Bahkan ketika aku menjalankan kelab, aku memahami hal ini. Banyak pelanggan datang ke kelab. Jika satu dari sepuluh pelanggan menikmati semua yang ada di kelab dan memutuskan akan datang lagi, itu sudah cukup. Jika satu dari sepuluh mereka adalah pelanggan tetap, maka bisnis kelabku akan bertahan. Dengan kata lain, tidak masalah jika sembilan dari sepuluh orang tidak menyukai kelab. Menyadari hal itu membuat beban dari pundakku terangkat. Namun, aku harus memastikan kalau orang yang menyukai kelab itu benar-benar menyukainya. Untuk melakukan itu, aku harus membuat filosofiku benar-benar jelas, dan dengan sabar mempertahankan filosofi itu apa pun yang terjadi. Inilah yang kupelajari dari menjalankan bisnis.

Setelah novel “Perburuan Seekor Domba Liar (A Wild Sheep Chase),” aku terus menulis dengan sikap yang sama dengan yang kukembangkan sebagai pemilik bisnis. Dan dengan masing-masing ulasan pembaca — satu dari sepuluh pengulas — meningkat. Para pembaca itu, yang sebagian besar masih muda, akan menunggu dengan sabar munculnya novelku yang berikutnya lalu membelinya dan membacanya segera setelah novel itu sampai di toko buku. Bagiku itu adalah situasi yang ideal, atau setidaknya sangat nyaman. Aku terus menulis hal-hal yang ingin kutulis, persis dengan cara yang kuinginkan, dan, jika itu memberi pemasukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka itu sudah lebih dari cukup. Ketika novelku “Norwegian Wood” secara tak terduga terjual lebih dari dua juta kopi, hidupku perlahan berubah, dan semakin berubah, pada tahun 1987.

Ketika aku mulai berlari, aku tidak bisa berlari dalam jarak jauh. Aku hanya bisa berlari sekitar dua puluh atau tiga puluh menit. Bahkan itu sudah membuatku terengah-engah, jantungku berdebar-debar, kakiku gemetar. Aku belum pernah benar-benar berolahraga dalam waktu yang lama. Pada awalnya, aku juga agak risih melihat orang-orang di lingkunganku melihatku berlari. Tetapi, ketika aku terus berlari, tubuhku mulai menerima kenyataan bahwa ia berlari, dan aku secara bertahap meningkatkan daya tahan fisikku. Aku memperoleh bentuk tubuh seorang pelari, napasku menjadi lebih teratur, dan denyut nadiku stabil. Yang utama bukan soal kecepatan atau jauhnya jarak berlari setiap hari, tanpa gagal.

Jadi, seperti makan, tidur, pekerjaan rumah tangga, dan menulis, berlari menjadi bagian dari rutinitas harianku. Ketika berlari menjadi kebiasaan, aku tidak merasa terlalu risih. Aku pergi ke toko olahraga dan membeli perlengkapan lari dan sepatu yang layak. Aku membeli stopwatch juga, dan membaca buku tentang berlari.

Jika berkaca dari masa lalu, kupikir salah satu karunia yang luar biasa bagiku adalah dilahirkan dengan tubuh yang kuat dan sehat. Hal itu memungkinkanku berlari setiap hari selama lebih dari seperempat abad sekarang, bertanding dalam sejumlah lomba lari di sepanjang jalan. Aku tidak pernah cedera, tidak pernah terluka, dan tidak pernah sakit. Aku bukan pelari yang hebat, tapi aku pelari yang kuat. Itu salah satu dari sedikit karunia yang bisa kubanggakan.

Tahun 1983 bergulir dan aku berpartisipasi dalam lomba lari pertamaku. Lintasan larinya tidak panjang — 5 Kilometer — tetapi untuk pertama kalinya aku menyematkan nomor di bajuku dan menunggu bersama sekelompok besar pelari lain untuk mendengar teriakan panitia, “Tetap di garis, bersiap, lari!” Setelah itu, kupikir, hei, ini tidak terlalu buruk! Pada bulan Mei itu, aku ikut lomba lima belas kilometer di sekitar Danau Yamanaka, dan, pada bulan Juni, ingin menguji sejauh mana aku bisa melangkah, aku melakukan putaran di sekitar Istana Kekaisaran, di Tokyo. Aku melaju sekitar tujuh kali, dengan total 22,4 mil, pada kecepatan yang cukup stabil, dan kakiku tidak sakit sama sekali. Mungkin aku benar-benar bisa berlari maraton, kusimpulkan. Kemudian, kumengerti dengan susah payah kalau bagian terberat dari maraton datang setelah dua puluh dua mil. (Sekarang aku sudah berpartisipasi dalam 26 maraton.)

Ketika kulihat foto-fotoku yang diambil pada pertengahan tahun delapan puluhan, tampaklah kalau aku belum memiliki fisik pelari. Aku belum cukup berlari, belum membentuk otot yang diperlukan; lenganku terlalu ceking, kakiku terlalu kurus. Tak ada kesan kalau aku bisa berlari maraton dengan tubuh seperti itu. (Sekarang, setelah bertahun-tahun berlari, otot-ototku telah berubah total.) Tetapi bahkan kemudian aku bisa merasakan perubahan fisik terjadi setiap hari, yang membuatku benar-benar bahagia. Aku merasa meskipun umurku sudah lewat tiga puluh, aku dan tubuhku masih memiliki beberapa kemungkinan yang tersisa. Semakin aku berlari, semakin banyak potensiku terungkap.

Selain itu, program dietku juga berjalan baik. Aku mulai makan banyak sayuran, dengan ikan sebagai sumber protein utamaku. Lagi pula aku tidak pernah suka makan daging, dan kebencian ini sekarang menjadi semakin terasa. Aku mengurangi konsumsi beras dan alkohol dan mulai beralih ke makanan-makanan alami. Gula bukanlah masalah, karena aku tidak terlalu suka yang manis-manis.

Ketika memikirkannya, memiliki jenis tubuh yang beratnya mudah bertambah mungkin merupakan berkah tersembunyi. Dengan kata lain, jika aku tidak ingin berat badanku terus bertambah maka aku harus berolahraga keras setiap hari, memperhatikan apa yang kumakan, dan menjauhi hal-hal yang tak sehat meski menyenangkan. Orang yang secara alami menjaga berat badan tidak perlu berolahraga atau memperhatikan pola makan mereka. Itulah sebabnya, dalam banyak kasus, kekuatan fisik mereka memburuk seiring bertambahnya usia. Kita yang memiliki kecenderungan untuk bertambah berat badan harus menganggap diri kita beruntung karena lampu merah terlihat jelas. Tentu saja, tidak selalu mudah untuk melihat hal-hal seperti ini.

Kupikir sudut pandang ini juga berlaku untuk pekerjaan novelis. Para penulis yang diberkati dengan bakat bawaan dapat menulis dengan mudah, apa pun yang mereka lakukan — atau tidak lakukan. Seperti air dari mata air alami, kalimat-kalimatnya muncul ke permukaan, dan dengan sedikit atau tanpa usaha para penulis ini dapat menyelesaikan sebuah karya. Sayangnya, aku tidak termasuk dalam kategori itu. Aku harus memukul batu dengan pahat dan menggali lubang yang dalam sebelum dapat menemukan sumber kreativitasku. Setiap kali memulai novel baru, aku harus mengeruk lubang lain. Tetapi, karena aku telah mempertahankan kehidupan seperti ini selama bertahun-tahun, aku menjadi sangat efisien, baik secara teknis maupun fisik, dalam membuka lubang-lubang di batu dan menemukan sumber air baru. Begitu melihat satu sumber mengering, aku pindah ke yang lain. Jika orang-orang yang mengandalkan sumber bakat alami tiba-tiba menyadari mereka telah kehabisan sumber kreatifitas, mereka berada dalam masalah.

Dengan kata lain, mari kita hadapi: hidup yang pada dasarnya tidak adil. Tetapi, bahkan dalam situasi yang tidak adil, kupikir masih mungkin mencari semacam keadilan.

Ketika memberi tahu orang-orang bahwa aku berlari setiap hari, beberapa sangat terkesan. “Kau pasti punya kemauan yang keras,” kata mereka kepadaku. Tentu saja, aku senang dipuji seperti ini — jauh lebih baik daripada diremehkan. Tapi aku tidak berpikir hanya kekuatan kemauan saja yang membuat seseorang dapat melakukan sesuatu. Dunia tidak sesederhana itu. Sejujurnya, aku bahkan tidak berpikir ada banyak korelasi antara berlari setiap hari dan memiliki kekuatan atau tidak. Kupikir aku bisa berlari selama lebih dari dua puluh lima tahun karena satu alasan: itu cocok untukku. Atau, paling tidak, aku tidak merasa itu menyakitkan. Manusia secara alami terus melakukan hal-hal yang mereka sukai, dan mereka tidak akan terus melakukan apa yang tidak mereka sukai.

Itu sebabnya aku tidak pernah merekomendasikan berlari kepada orang lain. Jika seseorang memiliki minat dalam lari jarak jauh, dia akan mulai berlari sendiri. Jika dia tidak tertarik, seberapa keras pun upaya meyakinkan tidak akan berguna. Berlari maraton bukanlah olahraga untuk semua orang, sama seperti menjadi seorang novelis bukanlah pekerjaan untuk semua orang. Tidak ada yang pernah merekomendasikan atau bahkan menyarankan agar aku menjadi seorang novelis — bahkan, ada yang mencoba menghentikanku. Aku hanya merasa cocok menulis, dan itulah yang kulakukan. Orang-orang menjadi pelari karena memang begitulah seharusnya.

Tidak peduli seberapa besar lari jarak jauh mungkin cocok untukku, tentu saja ada hari-hari ketika aku merasa lesu dan tidak ingin melakukannya. Pada hari-hari seperti itu, aku mencoba memunculkan segala macam alasan yang masuk akal untuk tidak lari. Suatu kali, aku mewawancarai pelari Olimpiade Toshihiko Seko, tepat setelah dia pensiun dari berlari. Aku bertanya kepadanya, “Apakah seorang pelari di levelmu pernah merasa lebih baik tidak lari hari ini?” Dia menatapku dan kemudian, dengan suara yang membuatnya terkesan menganggap betapa bodohnya pertanyaanku itu, dia menjawab, “Tentu saja sepanjang waktu! “

Sekarang ketika aku mengingat kembali momen itu, aku bisa mengerti betapa bodohnya pertanyaanku. Kukira aku sudah menyadari pertanyaan bodoh itu, tetapi aku ingin mendengar jawabannya langsung dari seseorang sekaliber Seko. Aku ingin tahu apakah kami merasakan hal yang sama ketika kami memasang sepatu lari kami di pagi hari, meskipun kami berbeda dalam hal daya tahan dan motivasi. Jawaban Seko sangat melegakan. Kesimpulan akhirnya, kita semua sama saja, pikirku.

Sekarang, setiap kali aku merasa tidak ingin lari, aku selalu bertanya pada diri sendiri hal yang sama: Kau dapat mencari nafkah sebagai penulis novel, bekerja di rumah, mengatur waktu sendiri. Kau tidak harus bolak-balik di kereta yang penuh sesak atau duduk di rapat yang membosankan. Apakah kau tidak menyadari betapa beruntungnya dirimu? Dibandingkan dengan semua hal tak menyenangkan itu, berlari satu jam di sekitar lingkunganku tidak ada apa-apanya, kan? Lalu aku memakai sepatu lari dan berangkat tanpa ragu-ragu. (Kukatakan ini karena aku tahu persis kalau ada orang-orang yang memilih naik kereta yang penuh sesak dan menghadiri rapat daripada berlari setiap hari.)

Yang jelas beginilah bagaimana aku mulai berlari. Tiga puluh tiga — itulah usiaku saat itu. Masih cukup muda, meski bukan lagi pria muda. Itu usia Yesus Kristus wafat. Usia ketika F. Scott Fitzgerald mulai bersepeda menuruni bukit. Itu adalah masa yang mungkin seperti persimpangan jalan dalam kehidupan. Itu adalah masa ketika aku memulai hidupku sebagai pelari, dan itu adalah titik awal yang sebenarnya agak telat sebagai seorang novelis.

--

--

Muh. Syahrul Padli

A Science Teacher, Head of Penghayat Sumur Community and Digital-Creative worker. co-Founder YT Bawah Pohon Science (an alternative education platform).