Bagian Empat Memoar Haruki Murakami

Muh. Syahrul Padli
17 min readApr 14, 2024

--

(Penerjemah: Muh. Syahrul Padli, versi 20% fix)

image source

19 SEPTEMBER 2005 -TOKYO

Sebagian Besar yang Kutahu Tentang Menulis Fiksi Kupelajari dari Berlari Setiap Hari

Pada tanggal 10 September aku mengucapkan selamat tinggal kepada Kauai dan kembali ke Jepang untuk tinggal dua minggu. Sekarang aku berangkat dengan mobil antara studio kantorku di Tokyo dan rumahku di Prefektur Kanagawa. Aku masih terus berlari, tapi karena aku tidak pernah kembali ke Jepang untuk sementara waktu masih banyak pekerjaan yang menunggu sehingga membuatku sibuk, dan orang-orang untuk ditemui. Dan aku harus mengurus setiap pekerjaan. Aku tidak bisa lari dengan bebas seperti yang aku lakukan di bulan Agustus. Sebagai gantinya, ketika aku bisa mendapat waktu luang, aku mencoba berlari jarak jauh. Sejak aku kembali, aku berlari tiga belas mil dua kali, dan sembilan belas mil sekali. Jadi aku sudah bisa, hampir, untuk menjaga jatah rata-rata enam mil per hari.

Aku juga sengaja berlatih di perbukitan. Di dekat rumahku ada jejeran lereng bagus dengan perubahan elevasi setara dengan sekitar bangunan lima atau enam lantai, dan pada satu putaran aku mengelilingi jalur melingkar itu dua puluh satu kali. Perlu waktu satu jam empat puluh lima menit. Hari itu yang sangat lembab, dan melelahkan. Marathon kota New York didominasi jalur jalanan biasa, tapi melewati tujuh jembatan, yang sebagian besarnya adalah jembatan gantung, sehingga bagian tengahnya melorot. Aku telah tiga mengikuti maraton NYC sampai saat ini, dan tanjakan dan turunan bertahap ini selalu membuat masalah di kakiku lebih dari yang kubayangkan.

Bagian terakhir maraton ini ada di Central Park, dan tepat setelah pintu masuk taman ada beberapa perubahan tajam pada ketinggian yang selalu memperlambatku. Saat aku keluar untuk lari pagi di Central Park, mereka hanya lereng landai yang tidak pernah memberiku masalah, tapi di bagian akhir maraton, mereka seperti tembok yang berdiri di depan pelari. Mereka tanpa ampun merenggut setetes energi yang telah dihemat. Garis finish sudah dekat, aku selalu mengatakan pada diri sendiri, tapi saat ini aku berlari benar-benar dengan tekad, dan garis finish sepertinya tidak kelihatan mendekat. Aku haus, tapi perutku tidak menginginkan air lagi. Inilah titik dimana kakiku mulai menjerit.

Aku cukup mahir berlari di lereng, dan biasanya aku menyukai jalur yang memiliki lereng karena di situlah aku bisa melewati pelari lainnya. Lalu ketika sampai di lereng di Central Park, aku unggul. Kali ini aku ingin menikmati, secara keseluruhan, beberapa mil terakhir, memberi beberapa mil semua yang kumiliki, dan meyelesaikannya dengan wajah tersenyum. Itulah salah satu tujuanku kali ini.

Jumlah total lari yang aku lakukan mungkin akan turun, tapi setidaknya aku mengikuti salah satu dari aturan dasar latihanku: Aku tidak pernah mengambil dua hari libur berturut-turut. Otot seperti binatang pekerja yang cepat beradaptasi. Jika dengan hati-hati meningkatkan beban, selangkah demi selangkah, mereka belajar menerimanya. Selama menjelaskan harapan kepada mereka dengan benar-benar menunjukkan contoh total pekerjaan yang harus dilakukan, otot akan mematuhi dan secara bertahap menjadi lebih kuat. Itu tidak terjadi dalam semalam, pastinya. Tapi selama meluangkan waktu dan melakukannya secara bertahap, mereka tidak akan mengeluh — selain itu sesekali mereka bersedih — dan mereka akan sangat sabar dan taat tumbuh lebih kuat. Melalui pengulangan yang diberikan ke otot, itulah sebuah pesan banyaknya pekerjaan yang harus mereka lakukan. Otot kita sangat teliti. Selama kita mematuhi prosedur yang benar, mereka tidak akan mengeluh.

Jika, bagaimanapun, beban berhenti selama beberapa hari, otot-otot secara otomatis menganggap mereka tidak perlu bekerja keras lagi, dan mereka menurunkan batas mereka. Otot benar-benar seperti binatang, dan mereka menginginkan pekerjaan semudah mungkin; Jika tekanan tidak diterapkan pada mereka, mereka akan santai dan melupakan ingatannya. Tidak memberikan tekanan kepada mereka maka ingatan yang pernah dialami otot itu dilupakan sekali lagi, dan harus mengulangi keseluruhan latihan dari awal lagi. Tentu penting untuk beristirahat sejenak, tapi dalam masa kritis seperti ini, saat aku berlatih untuk maraton, aku harus menunjukkan ototku siapa atasannya. Aku harus menjelaskan kepada mereka apa yang kuharapkan. Aku harus mempertahankan tekanan tertentu dengan bersikap tak tanggung-tanggung, tapi tidak ke titik di mana aku kelelahan fisik dan mental (burnout). Inilah taktik yang dipelajari pelari berpengalaman setiap saat.

Sementara aku berada di Jepang, sebuah koleksi cerita pendek baru, Strange Tales dari Tokyo, telah terbit, dan aku harus melakukan beberapa wawancara tentang buku itu. Aku juga harus memeriksa hasil cetak editan untuk sebuah buku kritik musik yang terbit pada bulan November dan bertemu dengan orang-orang untuk membahas sampulnya. Lalu aku harus mengecek terjemahan lama karya lengkap Raymond Carver. Dengan edisi sampul biasa baru ini keluar, aku ingin merevisi semua terjemahan, yang menyita banyak waktu. Yang tak kalah penting selain itu, aku harus menulis sebuah pengantar panjang untuk kumpulan cerita pendek Blind Willow, Sleeping Woman, yang akan diterbitkan tahun depan di AS. Ditambah aku terus mengerjakan esai ini saat berlari, meski tidak ada siapa pun yang secara khusus telah memintaku melakukannya. Sama seperti pandai besi pendiam di desa, menempa pedang semaunya.

Ada juga beberapa rincian bisnis yang harus kuperhatikan. Sementara kami tinggal di Amerika Serikat, wanita yang bekerja di kantor Tokyo sebagai asisten tiba-tiba mengabarkan kalau dia sudah akan menikah pada awal tahun depan dan ingin berhenti, jadi kami harus mencari pengganti. Aku tidak bisa menutup kantor selama musim panas. Dan segera setelah aku kembali ke Cambridge aku harus memberi sedikit kuliah di universitas, jadi aku harus mempersiapkannya juga.

Jadi aku mencoba, dalam waktu singkat yang kumiliki, untuk mengurus semua hal ini sebaik mungkin. Dan aku harus terus berlari untuk mempersiapkan Marathon NYC. Bahkan jika ada kloninganku, aku masih tidak bisa melakukan semua yang harus dilakukan. Apa pun kendalanya, terlepas dari semua itu, aku harus tetap berlari. Berlari setiap hari adalah semacam garis hidupku, jadi aku tidak akan berhenti atau tidak melakukannya hanya karena aku sibuk. Jika aku menggunakan sibuk sebagai alasan untuk tidak berlari, aku tidak akan pernah lari lagi. Aku hanya memiliki beberapa alasan untuk terus berlari, dan ada segudang alasan untuk berhenti. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyimpan beberapa alasan yang dipoles dengan baik.

Biasanya ketika aku berada di Tokyo, aku berkeliling Jingu Gaien, taman luar Kuil Meiji, yang melewati Stadion Jingu. Tempat itu tidak bisa dibandingkan dengan Central Park di New York City, tapi itu satu dari beberapa tempat di Tokyo dengan tanaman hijau. Aku telah berlari di sekitar sini selama bertahun-tahun dan memiliki perasaan jelas tentang jarak. Aku sudah mengingat semua lubang dan benjolan di sepanjang jalan, jadi ini tempat yang tepat untuk berlatih dan mengerti seberapa cepat aku berlari. Sayangnya ada banyak kemacetan di daerah tersebut, tanpa memasukkan kerumunan pejalan kaki, dan pada hari tertentu udara tidak begitu bersih — tapi ini di tengah Tokyo, jadi sudah terduga. Itulah yang terbaik yang bisa kudapat. Aku menganggap diriku beruntung karena memiliki tempat berlari begitu dekat dengan apartemenku.

Satu putaran di sekitar Jingu Gaien berjarak sedikit lebih dari tiga perempat mil, dan aku menyukai fakta kalau jalanan memiliki cat jarak. Kapan pun aku ingin mengatur kecepatan-kecepatan tempuh selama sembilan menit, atau delapan menit, atau tujuh setengah — aku melewati jalan ini. Saat pertama kali aku melewati jalan Jingu Gaien, Toshihiko Seko masih menjadi pelari aktif dan dia juga melewati ini. Dia berlatih keras sebagai persiapan Olimpiade Los Angeles. Medali emas mengilap adalah satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya. Dia akan mengabaikan kesempatan untuk pergi ke Olimpiade Moskow karena boikot, jadi Los Angeles mungkin kesempatan terakhirnya memenangkan medali. Ada semacam kesan heroik tentang dia, sesuatu yang bisa dilihat dengan jelas di mata Nakamura, manajer tim S & B, masih hidup dan sehat saat itu, dan tim memiliki banyak pelari hebat dan berada di puncak kebugarannya. Tim S & B menggunakan jalan ini setiap hari untuk latihan, dan lama kelamaan kami secara alami saling mengenal satu sama lain. Pernah aku pergi ke Okinawa untuk menulis artikel tentang mereka saat mereka berlatih di sana.

Masing-masing pelari ini akan berlari pagi-pagi sekali sebelum berangkat kerja, lalu masuk di sore hari akan berlatih bersama. Dulu aku sering joging sebelum pukul tujuh pagi — saat lalu lintas tidak padat, tidak banyak pejalan kaki, dan udara relatif bersih-dan anggota tim S & B dan aku sering saling memberi anggukan salam. Pada hari-hari hujan kami saling menukar senyum, tebak-masing-masing-kami-memiliki-semacam senyum kecut. Aku ingat dua pelari muda parug waktu, Taniguchi dan Kanei. Mereka berdua berusia akhir dua puluhan, keduanya mantan anggota Tim Atletik Universitas Waseda, di mana mereka tampil menonjol di balapan estafet Hakone. Setelah Seko jadi manajer tim S & B, mereka diharapkan menjadi dua bintang muda tim tersebut. Mereka adalah kaliber pelari yang diharapkan bisa memenangkan medali di Olimpiade suatu hari nanti, dan latihan keras tidak mengganggu mereka. Sayangnya, mereka terbunuh dalam sebuah kecelakaan mobil saat tim tersebut berlatih bersama di Hokkaido pada musim panas. Aku telah melihat dengan mataku sendiri latihan keras yang mereka tetapkan sendiri, dan aku benar-benar terkejut ketika mendengar berita kematian mereka. Sedih rasanya mendengar kabar itu, dan aku merasa kabar itu adalah kehilangan besar.

Kami hampir tidak pernah berbicara, dan aku tidak mengenal mereka secara pribadi dengan baik. Aku baru tahu setelah kematian mereka kalau mereka berdua baru saja menikah. Selain itu, sebagai pelari jarak jauh yang bertemu dengan mereka dari hari ke hari, aku merasa entah bagaimana kami saling mengerti. Sekalipun kemampuan kami memahami di tingkat yang berbeda, ada hal-hal yang hanya pelari yang mengerti dan bagikan. Aku benar-benar percaya itu.

Bahkan sekarang, saat aku berlari di sepanjang Jingu Gaien atau Asakasa Gosho, terkadang aku ingat dua pelari itu. Aku akan berbelok di tikungan dan merasa harus melihat mereka mendekatiku, berlari tenang, nafas mengembun mereka karena udara pagi. Dan aku selalu memikirkan ini: Mereka bertahan dengan latihan yang begitu berat, dan dari mana asal pikiran mereka tentang berlari, harapan dan impian mereka, akan menghilang ke mana? Saat orang meninggal, apakah pikiran mereka juga ikut lenyap?

Di sekitar rumahku di Kanagawa aku bisa berlari di lintasan yang sama sekali berbeda. Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, di dekat rumahku ada jalan dengan alas batu alam dengan banyak lereng curam. Ada juga jalan lain di dekatnya yang butuh waktu sekitar tiga jam untuk melewatinya — cocok untuk lari jarak jauh. Sebagian besar adalah jalan datar yang sejajar dengan sungai dan laut, dan tidak banyak mobil dan hampir tidak ada lampu lalu lintas yang memperlambatku. Udaranya juga bersih, tidak seperti di Tokyo. Berlari di sini bisa sedikit membosankan untuk dijalankan sendiri selama tiga jam, tapi aku mendengarkan musik, dan karena aku tahu apa yang aku hadapi, aku dapat menikmati berlari. Satu-satunya masalah adalah bahwa jalan ini adalah jalan di mana seseorang berputar kembali setengah jalan, sehingga tidak bisa berhenti di tengah jalan jika lelah. Aku harus kembali meski itu berarti merangkak sendirian. Secara keseluruhan, pastinya, ini adalah lingkungan yang bagus untuk berlatih.

Kembali ke topik novel sebentar.

Dalam setiap wawancara aku ditanya apa kualitas terpenting seorang novelis. Itu sudah sangat jelas: bakat. Tidak peduli seberapa antusias dan usaha menulis, jika benar-benar kekurangan bakat sastra sebaiknya lupakan cita-cita menjadi seorang novelis. Ini lebih merupakan prasyarat daripada kualitas. Jika tidak memiliki bahan bakar, bahkan mobil terbaik pun tidak akan melaju.

Urusan bakat ini, tentu saja, dalam kebanyakan kasus orang yang terlibat tidak dapat mengendalikan jumlah atau kualitasnya. Mungkin menemukan jumlahnya tidak cukup dan ingin meningkatkannya, atau mungkin juga coba hemat untuk membuatnya bertahan lebih lama, tapi di kasus lain juga tidak susah dikeluarkan. Bakat memiliki pikirannya sendiri dan menyembur saat mau, dan begitu mengering, ya mengering. Tentu beberapa penyair dan penyanyi rock yang kejeniusanya berkobar dalam kemahsyuran — orang-orang seperti Schubert dan Mozart, yang kematian tragisnya terlalu dini menjadi legenda — memiliki daya tarik tertentu, tapi bagi sebagian besar dari kita, itu sebenarnya bukan contoh untuk kita ikuti.

Jika aku ditanya apa kualitas terpenting berikutnya bagi seorang novelis, itu mudah juga: fokus — kemampuan untuk memusatkan semua talenta terbatas pada momen yang tepat. Tanpa itu tidak dapat mencapai sesuatu yang berharga, sementara, jika dapat fokus secara efektif, seseorang dapat mengimbangi bakat yang tidak menentu atau bahkan berkurang. Aku biasanya berkonsentrasi pada pekerjaan selama tiga atau empat jam setiap pagi. Aku duduk di mejaku dan fokus sepenuhnya pada apa yang kutulis. Aku tidak memperhatikan hal lain, aku tidak memikirkan hal lain. Bahkan seorang novelis yang memiliki banyak bakat dan gagasan baru mungkin tidak bisa menulis apa-apa jika, misalnya, ia menderita banyak rasa sakit yang mendalam. Rasa sakit menghalangi konsentrasi. Itulah yang aku maksud ketika aku mengatakan kalau tanpa fokus tidak dapat mencapai apa pun.

Setelah fokus, hal terpenting berikutnya bagi novelis adalah, tanpa perlu dibantah lagi, adalah daya tahan. Jika berkonsentrasi pada menulis tiga atau empat jam sehari dan merasa lelah setelah seminggu melakukannya, seeorang tidak akan bisa menulis sesuatu yang panjang. Apa yang dibutuhkan penulis fiksi — atau paling tidak orang yang berharap bisa menulis novel — adalah energi yang harus dipusatkan setiap hari selama setengah tahun, atau setahun, dua tahun. Kita bisa membandingkannya dengan pernafasan. Jika konsentrasi adalah proses menahan nafas, daya tahan tubuh adalah seni menghembuskannya perlahan-lahan, dengan tenang bernapas pada saat bersamaan menyimpan udara di paru-paru. Jika tidak bisa menemukan keseimbangan antara keduanya, akan sulit untuk menulis novel secara profesional dalam waktu lama. Terus bernafas sambil menahan napas.

Untungnya, kedua bagian ini — fokus dan daya tahan — berbeda dari bakat, karena mereka bisa diperoleh dan dipertajam melalui latihan. Seseorang tentu akan belajar baik konsentrasi dan daya tahan tubuh saat duduk setiap hari di meja kerja dan melatih diri untuk fokus pada satu hal. Ini sangat mirip latihan otot yang aku tulis beberapa saat yang lalu. Harus terus mentransmisikan objek fokus ke seluruh tubuh, dan pastikan itu benar-benar merangkum informasi yang diperlukan untuk menulis setiap hari dan berkonsentrasi pada pekerjaan yang ada. Dan lambat laun akan memperluas batasnya dari apa yang bisa dilakukan sebelumnya. Hampir tak kentara, seseoran akan meningkatkan batasnya. Ini melibatkan hal yang sama dengan berlari setiap hari untuk memperkuat otot dan mengembangkan fisik pelari. Tambah sebuah stimulus dan jaga, lalu ulangi. Kesabaran adalah keharusan dalam proses ini, tapi aku jamin hasilnya akan tampak.

Dalam korespondensi pribadi, penulis misteri besar Raymond Chandler pernah mengakui kalau sekalipun dia tidak menulis apapun, dia memastikan dia duduk di mejanya setiap hari dan berkonsentrasi. Aku paham tujuan di balik tindakannya itu. Itu cara Chandler mendapat stamina yang dibutuhkan seorang penulis profesional, dengan tenang memperteguh kemauannya. Latihan sehari-hari semacam ini sangat diperlukan baginya.

Menulis novel, bagiku, pada dasarnya adalah semacam kerja manual. Menulis sendiri adalah kerja mental, tapi menyelesaikan keseluruhan buku lebih dekat dengan tenaga kerja manual. Itu tidak melibatkan angkat berat, berlari cepat, atau melompat tinggi. Namun, kebanyakan orang hanya melihat realitas permukaan dari kenyataan tentang menulis dan berpikir penulis sebagai orang yang terlibat dalam pekerjaan intelektual yang tenang dalam riset mereka. Jika memiliki kekuatan untuk mengangkat cangkir kopi, mereka pikir, seorang bisa menulis sebuah novel. Tapi begitu mencobanya, mereka akan segera tahu kalau menulis bukanlah pekerjaan damai seperti yang terlihat. Seluruh proses — duduk di mejamu, memusatkan pikiran seperti laser balok, membayangkan sesuatu dari cakrawala kosong, menciptakan sebuah cerita, memilih kata-kata yang tepat, satu demi satu satu, menjaga keseluruhan alur cerita tetap di plotnya — membutuhkan lebih banyak energi, dalam jangka panjang, dari pada apa yang orang banyak pernah bayangkan. Seseorang mungkin tidak menggerakkan tubuh, tapi ada kerja harian yang dinamis dan melelahkan terjadi di dalam diri. Semua orang menggunakan pikiran mereka saat mereka berpikir. Tapi seorang penulis memakai sebuah pakaian yang disebut naratif dan berpikir dengan seluruh keberadaannya; dan bagi novelis proses itu perlu mengorbankan semua cadangan kekuatan fisik, kadang-kadang sampai pada titik berlebihan.

Penulis diberkati dengan bakat untuk dilepaskan melalui proses ini di alam bawah sadar, dalam beberapa kasus penulis tidak menyadarinya. Apalagi saat penulis muda, selama mereka memiliki tingkat bakat tertentu tidak begitu sulit bagi mereka untuk menulis sebuah novel. Mereka dengan mudah menghapus segala macam rintangan. Menjadi muda berarti seluruh tubuh dipenuhi dengan vitalitas alami. Fokus dan daya tahan muncul sesuai kebutuhan, dan tidak perlu mengusahakannya sendiri. Jika seorang muda dan berbakat, itu seperti sayap-sayap.

Dalam kebanyakan kasus, meskipun, ketika menua, keistimewaan bebas semacam itu kehilangan vitalitas alami dan kecemerlangannya. Setelah melewati usia tertentu, hal-hal yang bisa dilakukan dengan mudah tidak akan mudah lagi — hanya saja kecepatan lemparan bola pitcher (pelempar bola bisbol) mulai menyelinap pergi bersama waktu. Tentu saja, mungkin saja bagi orang-orang menua seperti mereka untuk menebus penurunan bakat alami. Seperti saat pitcher kecepatan tinggi mengubah dirinya menjadi pitcher cerdik yang bergantung pada perubahan. Tapi ada batasnya. Dan pasti ada rasa kehilangan.

Di sisi lain, penulis yang tidak diberkati dengan banyak bakat — mereka yang nyaris tidak meraih mutu seperti itu — perlu membangun kekuatan mereka dengan usaha sendiri. Mereka harus melatih diri untuk meningkatkan fokus, untuk meningkatkan daya tahan mereka. Sampai batas tertentu mereka dipaksa untuk membuat kualitas ini melebihi bakat. Dan sementara mereka mendapatkannya, mereka mungkin benar-benar menemukan bakat nyata dan tersembunyi di dalam diri mereka. Mereka berkeringat, menggali lubang di kaki mereka dengan sekop, saat mereka semakin dalam, aliran air terpendam jauh di dasar tanah tersembur. Ini adalah keberuntungan, tapi yang membuat takdir baik ini menjadi mungkin adalah semua latihan mereka yang memberi kekuatan untuk terus menggali. Aku membayangkan kalau para penulis pemula telah menyerah melalui proses yang serupa.

Tentu ada orang di dunia (hanya segelintir, pasti) diberkati dengan bakat luar biasa itu, dari awal sampai akhir, tidak pudar, yang seluruh karyanya selalu berkualitas tinggi. Beberapa orang beruntung memiliki aliran air yang tidak pernah mengering, tidak peduli berapa banyak mereka memanfaatkannya. Di dunia sastra, ini adalah sesuatu yang harus disyukuri. Sulit membayangkan sejarah sastra tanpa tokoh seperti Shakespeare, Balzac, dan Dickens. Tapi para raksasa itu, pada akhirnya, raksasa — luar biasa, tokoh legendaris. Sebagian besar penulis yang tidak bisa mencapai tahap seperti itu (termasuk aku, tentu saja) harus melengkapi apa yang hilang dari toko bakat mereka melalui cara apa pun yang mereka bisa. Jika tidak, mustahil bagi mereka untuk terus menulis novel dengan nilai-nilai seperti apa pun. Metode dan arah seorang penulis di mana mereka mengambil nilai-nilai untuk melengkapi dirinya menjadi bagian tak terpisahkan dari penulis itu sendiri, yang membuat dia istimewa.

Sebagian besar dari apa yang aku tahu tentang menulis kupelajari melalui berlari setiap hari. Ini dipraktikkan, pelajaran fisik. Seberapa banyak aku bisa mendorong diri sendiri? Berapa banyak istirahat yang sesuai — dan seberapa banyak apakah terlalu banyak? Seberapa jauh aku bisa mengambil sesuatu dan tetap menyimpannya dengan baik dan konsisten? Kapan semua itu menjadi pikiran sempit dan tidak fleksibel? Seberapa banyak aku harus menyadari dunia luar, dan berapa banyak aku harus fokus pada dunia batinku? Sampai sejauh mana aku harus percaya diri dengan kemampuanku, dan kapan aku harus mulai meragukan diriku sendiri? Aku tahu ketika aku tidak menjadi pelari jarak jauh maka aku menjadi seorang novelis, pekerjaanku pasti sangat berbeda. Seberapa berbedanya? Sulit untuk dikatakan. Tapi ada sesuatu yang membedakannya.

Dalam keadaan seperti apa pun, aku senang karena aku tidak berhenti berlari selama bertahun-tahun. Alasannya, aku suka novel yang kutulis. Dan aku sangat menanti waktu untuk melihat jenis novel yang akan aku hasilkan selanjutnya. Sejak aku menjadi seorang penulis dengan keterbatasan-keterbatasannya — orang yang tidak sempurna menjalani kehidupan yang tidak sempurna dan terbatas — kenyataan kalau aku masih bisa diam merasa dengan cara seperti ini adalah prestasi nyata. Menyebutnya keajaiban bisa jadi berlebihan, tapi memang begitulah perasaan seperti ini. Dan jika berlari setiap hari membantuku mencapai hal ini, maka aku sangat bersyukur bisa berlari.

Orang kadang-kadang mencibir mereka yang berlari setiap hari, mengklaim kalau mereka akan berumur panjang lagi. Tapi aku rasa itu bukan alasan kebanyakan orang berlari. Kebanyakan pelari bukan karena mereka ingin hidup lebih lama, tapi karena mereka ingin menjalani hidup semaksimal mungkin. Jika akan pergi selama bertahun-tahun, jauh lebih baik hidup dengan tujuan yang jelas dan sepenuhnya hidup daripada tujuan itu berkabut, dan aku percaya berlari membantu melakukannya. Mengerahkan diri sepenuhnya ke dalam batasan pribadi: itulah intisari dari berlari, dan sebuah metafora untuk hidup — dan bagiku, untuk menulis juga. Aku percaya banyak pelari akan setuju.

Aku pergi ke gym di dekat kantorku di Tokyo untuk mendapatkan pijatan. Apa yang pelatih lakukan tidak seperti pijatan tapi rutinitas untuk membantuku meregangkan ototku yang tidak bisa kuregangkan sendiri. Semua latihan kerasku telah membuat otot-ototku kaku, dan jika aku tidak mendapatkan semacam pijatan tubuhku mungkin hancur tepat sebelum balapan. Penting untuk mendorong tubuh ke batas-batasnya, tapi terlalu berlebihan bisa membuat semuanya sia-sia.

Pelatih yang memijatku adalah seorang wanita muda, tapi dia kuat. Pijatnya lebih— atau mungkin juga aku harus mengatakan sangat — menyakitkan. Setelah dipijat setengah jam, pakaianku, sampai ke celana dalamku basah kuyup. Pelatih selalu kagum dengan kondisiku. “Kau benar-benar membiarkan ototmu terlalu kencang,” ucapnya. “Mereka siap kram. Kebanyakan orang pasti mengalami kram sejak lama. Aku benar-benar terkejut kau bisa hidup seperti ini.”

Jika aku terus memaksa ototku, dia memperingatkan, cepat atau lambat sesuatu akan terjadi. Dia mungkin benar tapi aku juga punya firasat — sebuah harapan — yang dia tidak tahu, karena aku telah mendorong ototku sampai batasnya seperti ini untuk waktu yang lama. Kapan pun aku fokus pada latihan, ototku menjadi kencang. Ketika aku memakai sepatu lariku di pagi hari dan berangkat, kakiku terasa berat seperti aku merasa tidak pernah menggerakkannya. Aku mulai berlari menyusuri jalan, perlahan, hampir menyeret kakiku. Seorang wanita tua tetanggaku berjalan cepat menyusuri jalan, dan aku bahkan tidak bisa melewatinya. Tapi saat aku terus berjalan, ototku berangsur-angsur longgar, dan setelah sekitar dua puluh menit aku bisa berlari normal. Aku mulai mempercepat lajuku. Setelah itu aku bisa berlari seperti biasa, tanpa masalah.

Dengan kata lain, ototku adalah tipe yang butuh waktu lama untuk pemanasan. Mereka lambat untuk memulai. Tapi begitu mereka sudah siap, mereka bisa terus bekerja dengan baik untuk waktu yang lama tanpa tegang. Mereka adalah jenis otot yang dibutuhkan untuk jarak jauh, namun sama sekali tidak cocok untuk jarak pendek. Di jarak pendek, pada saat mesinku mulai panas ketika balapan sudah akan usai. Bukannya aku tahu rincian teknis tentang karakteristik jenis otot ini, tapi aku bayangkan ini kebanyakan bawaan lahir dan aku merasa kalau jenis otot ini terhubung dengan cara kerja pikiranku. Yang aku maksud adalah, cara otak seseorang berpikir dikendalikan oleh tubuhnya, bukan? Atau justru sebaliknya — cara kerja pikiranmu mempengaruhi struktur tubuh? Atau apakah tubuh dan pikiran saling mempengaruhi dan terhubung terus satu sama lain? Yang aku tahu adalah kalau orang memiliki kecenderungan bawaan tertentu, dan apakah seseorang suka kecenderungan itu atau tidak, itu tak terhindarkan. Kecenderungan bisa disesuaikan, sampai tingkat tertentu, tapi esensi mereka tidak akan pernah bisa diubah.

Hal yang sama berlaku untuk jantung. Detakan jantungku umumnya sekitar lima puluh ketukan per menit, yang aku kira sangat lambat (Omong-omong, aku mendengar kalau peraih medali emas di Olimpiade Sydney, Naoko Takahashi, punya detak jantung tiga puluh lima.) Tapi jika aku berlari selama sekitar tiga puluh menit, detak jantungku meningkat menjadi sekitar tujuh puluh. Setelah aku berlari sekuat tenaga seperti yang aku bisa itu mendekati seratus. Jadi, hanya setelah berlari, denyut jantungku sampai ke tingkat paling tinggi rata-rata detak jatung per menit kebanyakan orang. Ini juga merupakan salah satu sisi dari kebugaran tubuhku. Setelah aku mulai berlari, denyut jantungku terasa menurun. Jantungku telah menyesuaikan detakannya sesuai dengan fungsi lari jarak jauh. Jika detak jantungku bertambah, tubuhku akan menyesuaikannya. Di Amerika setiap kali seorang perawat mengukur denyut nadiku, dia selalu berkata, “Ah, kau pasti seorang pelari.” Aku bayangkan kebanyakan pelari jarak jauh veteran memiliki pengalaman serupa. Ketikamelihat pelari di kota, mudah untuk membedakan pelari pemula dan pelari veteran. Yang terengah-engah adalah pemula; Yang dengan tenang, napas terukur adalah para veteran. Jantung mereka, fokus, berfungsi sebagaimana mestinya. Saat kita saling berpapasan di jalan, kita mendengarkan irama nafas satu sama lain, dan merasakan cara orang lain menikmati momen sebagaimana mestinya. Sama seperti dua penulis memahami diksi dan gaya masing-masing.

Jadi, ototku saat ini benar-benar kencang, dan peregangan tidak melonggarkannya. Aku memaksimalkan porsi latihan, tapi meski begitu otot-ototku lebih tegang dari biasanya. Terkadang aku harus memukul kakiku dengan kepalan tangan saat mereka merasa tegang untuk melemaskannya. (Ya, sakit.) Ototku bisa menjadi keras kepala seperti — atau lebih keras kepala dari — aku. Mereka mengingat banyak hal dan bertahan, dan sampai batas tertentu mereka membaik. Tapi mereka tidak pernah berkompromi. Mereka tidak menyerah. Inilah tubuhku, dengan segala keterbatasan dan kebiasaannya. Sama dengan wajahku, bahkan jika aku tidak menyukainya, itu satu-satunya yang aku punya, jadi aku harus menerimanya. Seiring bertambahnya usiaku, aku secara alami menyesuaikan diri dengan hal ini. Seseorang membuka lemari es dan bisa membuat sebuah — bahkan kalau cukup pintar — masakan dengan sisa makanan. Yang tersisa hanyalah apel, bawang merah, keju, dan telur, tapi tidak masalah. Memasak dengan apa yang dimiliki. Seiring bertambahnya usia seseorang belajar untuk merasa bahagia dengan apa dimiliki. Itulah salah satu dari beberapa hal baik dari bertambah tua.

Sudah lama aku jalan-jalan di Tokyo, yang pada bulan September masih panas terik. Panas di musim panas di kota sesuatu yang berbeda. Aku diam saja, seluruh tubuhku berkeringat. Aku bisa merasakan bahkan topiku basah kuyup. Keringat adalah bagian dari bayangan jelasku saat menetes ke tanah. Tetes keringat menabrak trotoar dan segera menguap.

Ke mana pun pergi, ekspresi di wajah pelari jarak jauh semuanya sama. Mereka semua terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu saat mereka berlari. Mereka mungkin tidak memikirkan apa pun, tapi sepertinya mereka berpikir dengan sungguh-sungguh. Sungguh menakjubkan di mana mereka semua berlari di bawah terik matahari seperti ini. Tapi, kalau dipikir-pikir, begitu juga denganku.

Saat aku berlari di Jingu Gaien, seorang wanita yang aku lewati memanggilku. Salah satu pembacaku, ternyata. Ini tidak terjadi terlalu sering, tapi kadang kala terjadi. Aku berhenti dan kami bicara sebentar. “Aku sudah membaca novelmu selama lebih dari dua puluh tahun,” katanya padaku. Dia mulai di akhir remaja dan sekarang di dia di akhir usia tiga puluhan. “Terima kasih,” kataku padanya. Kami berdua tersenyum, berjabat tangan, dan berpamitan. Aku khawatir tanganku pasti sangat berkeringat. Aku terus berlari, dan dia pergi ke tempat tujuannya, entah di mana. Dan aku terus berlari menuju tempat tujuanku. Dan di mana itu? New York, tentu saja.

--

--

Muh. Syahrul Padli

A Science Teacher, Head of Penghayat Sumur Community and Digital-Creative worker. co-Founder YT Bawah Pohon Science (an alternative education platform).