Bagian Lima Memoar Haruki Murakami

Muh. Syahrul Padli
13 min readApr 15, 2024

(Penerjemah: Muh Syahrul Padli, versi fix 20%)

image source

OKTOBER 3, 2005 • CAMBRIDGE, MASSACHUSETTS

Meskipun aku punya kuncir panjang ekor kuda di masa lalu*

Di daerah Boston setiap musim panas ada beberapa hari yang sangat tidak menyenangkan sehingga ingin mengutuk semuanya. Jika bisa melewatinya, pastinya, sisanya tidak akan terlalu buruk. Orang kaya mendinginkan diri dengan pergi ke Vermont atau Cape Cod, yang membuat kota ini bagus dan lengang. Pohon di pinggir jalan setapak di sepanjang sungai memberi banyak warna teduh, dan mahasiswa Harvard dan Boston University selalu berada di sungai yang berkilau berlatih untuk mengikuti maraton. Gadis muda melepas bikininya berjemur dengan handuk di pantai, mendengarkan Walkmen atau iPod mereka. Sebuah van es krim berhenti dan menjajakan jualannya. Seseorang sedang bermain gitar, lagu lama Neil Young, dan seekor anjing berambut lebat hanya berpikiran mengejar cakram plastik yang dilempar. Seorang psikiater Demokrat (setidaknya itulah yang aku bayangkan tentangnya) berkendara di sepanjang sungai dengan mobil Saab berwarna coklat tua.

Musim gugur spesial di New England — singkat dan indah — memudar dan perlahan mengihilang, dan akhirnya terlupakan. Sedikit demi sedikit hijau yang mengelilingi kami memberi jalan pada warna kuning samar. Akhirnya aku memakai celana leging olahraga melapisi celana pendek yang kupakai berlari, daun-daun gugur berputar-putar terbawa angin dan biji-bijian menghantam aspal dengan keras dan kering. Tupai-tupai rajin berlarian seperti orang gila yang mencoba mengumpulkan biji-bijian untuk bertahan selama musim dingin.

Begitu Halloween usai, musim dingin, seperti beberapa pemungut pajak yang cakap, terbenam, singkat dan senyap. Sebelum aku sadari, sungai itu tertutup es tebal dan kapal-kapal telah lenyap. Jika mau, seseorang bisa berjalan melintasi sungai ke sisi lain. Pepohonan itu daunnya berguguran, dan ranting-ranting tipis saling menghantam satu sama lain karena goyangan angin, berderak seperti tulang kering. Menengoklah ke atas pohon kau bisa memandang sekilas sarang tupai. Tupai harus tertidur lelap, bermimpi. Kawanan angsa terbang melintas dari Kanada, mengingatkan kalau Kanada bahkan lebih dingin dibandingkan bagian utara sini. Angin bertiup melintasi sungai ini sedingin dan setajam kapak yang baru diasah. Hari-hari semakin pendek dan tipis, awan lebih tebal.

Kami pelari memakai sarung tangan, topi wol ditarik ke telinga kami, dan masker wajah. Tetap saja, ujung jari beku dan telinga kami kedinginan. Jika hanya angin dingin, itu bukanlah masalah. Jika kami berpikir kami bisa tahan dengan semua itu, entah bagaimana kami bisa tahan. Cuaca berbahaya saat badai salju. Pada malam hari salju jatuh membeku menjadi gundukan es raksasa yang licin, membuat jalan tidak bisa dilewati. Jadi kami berhenti berlari dan sebagai gantinya mencoba tetap bugar dengan berenang di kolam renang dalam ruangan, mengayuh sepeda mesin yang kurang berguna, menunggu musim semi yang akan datang.

Sungai yang sedang aku bicarakan adalah Sungai Charles. Orang senang berada di sekitar sungai. Beberapa orang berjalan santai, berjalan dengan anjing, atau bersepeda atau joging, sementara yang lain menikmati bermain sepatu roda. (Bagaimana bisa sebuah hobi berbahaya bisa menyenangkan, sejujurnya aku tidak mengerti.) Seakan ditarik oleh magnet, orang berkumpul di tepi sungai.

Melihat banyak air seperti itu setiap hari mungkin merupakan hal yang penting bagi manusia. Untuk manusia mungkin terdengar pukul rata — tapi aku tahu ini penting bagi satu orang: aku. Jika aku pergi untuk sementara waktu tanpa melihat air, aku merasa ada sesuatu yang perlahan hilang dalam diriku. Mungkin saja seperti perasaan pecinta musik saat, karena alasan apa pun, dia tak bersentuhan dengan musik dalam waktu lama. Fakta kalau aku dibesarkan di dekat laut mungkin ada hubungannya dengan hal itu.

Permukaan air berubah dari hari ke hari: warna, bentuk ombak, kecepatan arus. Setiap musim membawa perubahan yang berbeda pada tanaman dan hewan yang mengelilingi sungai. Awan dari semua ukuran muncul dan terus berlanjut, dan permukaan sungai, diterangi matahari, memantulkannya dengan jernih seperti mereka datang dan pergi, kadang-kadang dengan setia, kadang-kadang menyimpang. Kapan pun musimnya berubah, arah angin berfluktuasi seperti seseorang memencet saklar. Dan pelari bisa mendeteksi setiap pergeseran musiman saat merasakan angin menerpa kulit, baunya dan arahnya. Di suasana ini, aku menyadari diriku sebagai satu bagian kecil dalam mosaik raksasa alam. Aku hanya sebuah fenomena alam yang bisa diganti, seperti air di sungai yang mengalir di bawah jembatan menuju laut.

Pada bulan Maret salju yang padat akhirnya meleleh, dan setelah lumpur yang mengganggu karena telah mencari — kira-kira saat orang mulai melepas mantel berat mereka dan pergi ke Sungai Charles, di mana bunga sakura di sepanjang tepi sungai akan segera muncul — aku mulai merasa seperti panggung telah tercipta, akhirnya, karena lintasan Maraton Boston hanya sekitar satu belokan lagi.

Saat ini, baru awal bulan Oktober. Mulai terasa agak terlalu dingin untuk berlari dengan tank top, tapi masih terlalu dini untuk memakai kemeja lengan panjang. Tinggal lebih dari sebulan menuju Marathon New York City. Kira-kira ini waktunya aku mengurangi jarak tempuh dan menyingkirkan kelelahan akibat latihan. Waktunya untuk mulai fokus. Tidak peduli seberapa jauh aku lari dari sekarang, itu tidak akan membantuku dalam perlombaan. Faktanya, mungkin hal-hal itu bisa menggagalkan kesempatanku.

Ketika melihat kembali grafik berlariku, aku pikir sudah bisa mempersiapkan balapan dengan kecepatan yang bagus:

Juni 156 mil

Juli 186 mil

Agustus 217 mil

September 186 mil

Grafik berlariku membentuk piramida yang bagus. Jarak mingguan rata-rata pada bulan Juni sampai tiga puluh enam mil, lalu empat puluh tiga mil, lalu lima puluh, lalu kembali ke empat puluh tiga. Aku berharap bulan Oktober akan hampir sama dengan Juni, sekitar tiga puluh enam mil per minggu.

Aku juga membeli beberapa sepatu lari Mizuno baru. Di City Sports di Cambridge aku mencoba semua jenis model, tapi akhirnya membeli Mizuno yang sama dengan yang pernah aku pakai. Sepatu lari Mizuno ringan, dan bantalan solnya agak keras. Seperti biasa, sepatu-sepatu itu perlu waktu untuk membiasakan diri. Aku suka fakta merek sepatu ini tidak memiliki hiasan ekstra. Hanya pilihan pribadiku, tidak lebih. Setiap orang memiliki kesukaannya sendiri. Suatu ketika ketika aku sempat berbicara dengan seorang sales perwakilan Mizuno, dia mengakui, “Sepatu kami coraknya agak polos dan tidak mencolok. Kami menjaga kualitas kami, tapi sepatu-sepatu itu tidak begitu menarik.” Aku tahu apa yang ingin dia katakan. Mereka tidak memiliki tipu muslihat, tidak peduli gaya-gayaan, tidak ada slogan yang menarik jadi bagi kebanyakan konsumen, mereka memiliki sedikit daya tarik. (Subaru dari dunia sepatu, dengan kata lain.) Namun telapak sepatu ini memiliki nuansa yang solid saat dipakai berlari. Menurut pengalamanku mereka mitra yang sangat baik untuk menemani melalui dua puluh enam mil. Kualitas antar sepatu sudah tidak jomplang dalam beberapa tahun terakhir, jadi sepatu dengan harga tertentu, tidak peduli apa pembuatnya, tidak akan terlalu berbeda. Meski begitu, pelari merasakan detail kecil yang membuat sepatu ini lebih bagus dari sepatu lain, dan selalu mencari sisi psikologis itu.

Aku akan menyimpan sepatu baru ini, karena maraton masih sebulan lagi.

Kelelahan muncul setelah semua latihan ini, dan sepertinya aku tidak berlari dengan sangat cepat. Karena aku sedang joging santai di sepanjang Sungai Charles, gadis-gadis yang terlihat sebagai mahasiswa baru Harvard terus melewatiku. Kebanyakan gadis-gadis ini kecil, langsing, mengenakan pakaian logo Harvard marun, rambut pirang dengan ekor kuda, dan iPod merek terbaru, dan mereka berlari seperti angin. Terasa semacam tantangan agresif yang terpancar dari mereka yang tampaknya terbiasa melewati orang, dan mungkin tidak terbiasa dilewati. Mereka semua terlihat begitu cerah, sangat sehat, menarik, dan serius, penuh dengan rasa percaya diri. Dengan melihat langkah panjang dan hentakan yang kuat, mudah untuk melihat kalau mereka adalah pelari jarak menengah yang khas, tidak cocok untuk lari jarak jauh. Mereka lebih siap berlari singkat dengan kecepatan tinggi.

Dibandingkan dengan mereka aku cukup terbiasa kalah. Ada banyak hal di dunia ini yang melampauiku, banyak lawanku tidak pernah bisa kukalahkan. Bukan untuk membual, tapi gadis-gadis ini mungkin tidak tahu seberapa banyak rasa sakit yang telah kulewati. Dan, tentu saja, mungkin tidak ada kebutuhan bagi mereka untuk mengetahuinya. Ini pikiran acak yang datang kepadaku saat aku melihat poni kuda mereka yang sombong berayun maju mundur, bersama langkah agresif mereka. Dengan berlari santai, aku terus berlari menyusuri sungai Charles.

Pernahkah aku mengalami hari bercahaya seperti itu dalam hidupku sendiri? Mungkin beberapa kali. Tapi kalaupun aku sudah punya poni ekor kuda saat itu, aku ragu apakah akan mengayunkan poniku begitu bangga seperti yang dilakukan anak perempuan berponi itu. Dan kakiku tidak akan menghantam tanah dengan bersih dan sekuat tenaga mereka. Mungkin itu hanya sekadar harapan. Bagaimanapun, gadis-gadis ini adalah murid baru di Universitas Harvard.

Tetap saja, sangat menyenangkan melihat gadis-gadis cantik ini berlari. Seperti yang aku lakukan, aku terkejut dengan pemikiran yang jelas: satu generasi menggantikan generasi berikutnya. Begitulah siklus di dunia ini, jadi aku tidak merasa sangat iri jika mereka melewatiku. Gadis-gadis ini memiliki kecepatan sendiri, kepekaan waktu mereka sendiri. Dan aku punya kecepatan sendiri, kepekaan waktuku sendiri. Keduanya benar-benar berbeda, tapi begitulah seharusnya.

Saat aku berlari di pagi hari di sepanjang sungai, aku sering melihat orang yang sama pada waktu bersamaan. Salah satunya adalah seorang Wanita India pendek keluar untuk berjalan-jalan. Dia berusia enam puluhan, aku menduga, dia memiliki sikap yang elegan, dan selalu berpakaian rapi. Anehnya — meski mungkin ini sebenarnya tidak aneh — dia memakai pakaian yang berbeda setiap hari. Suatu saat dia memakai sari yang elegan, lain kali kaus sweaty dengan sebuah nama universitas di dadanya. Jika aku tak salah ingat, aku belum pernah melihatnya mengenakan pakaian yang sama dua kali. Menunggu untuk melihat pakaian apa yang dimilikinya jadi salah satu kenikmatan kecilku setiap pagi.

Orang lain yang aku lihat setiap hari adalah pria Kaukasia besar yang berjalan cepat dengan penjepit besi penopang lutut (brace knee) yang berwarna hitam menempel di kaki kanannya. Mungkin itu disebabkan beberapa cedera serius. Penjepit hitam itu, sejauh yang aku tahu, telah terpasang selama empat bulan. Apa yang terjadi pada kakinya? Apapun itu, itu tidak memperlambatnya, dan dia berjalan dengan langkah mantap. Dia mendengarkan musik dengan headphone besar dan dengan tenang dan cepat berjalan menyusuri jalan tepi sungai.

Kemarin aku mendengarkan Beggars Banquet dari Rolling Stones saat berlari. Bagian pembuka “hoo hoo” yang funky di lagu “Sympathy for the Devil” adalah iringan sempurna untuk berlari. Sehari sebelumnya aku mendengarkan Reptil Eric Clapton. Aku suka album ini. Ada sesuatu yang berbeda dari lagu-lagu itu yang sampai kepadaku, dan aku tidak pernah bosan mendengarkan mereka — Reptil, terutama. Tidak ada yang sebaik Reptile untuk didengarkan ketika lari pagi. Aku mengatakannya bukan untuk melebih-lebihkan atau dibuat-buat. Lagu ini memiliki irama mantap dan melodi alami. Pikiran diam-diam mengikuti musik, dan kakiku berlari sesuai iramanya. Terkadang, musik yang kudengar bercampur dengan suara lain yang masuk melalui headphoneku, aku mendengar seseorang memanggil, “Di sebelah kirimu!” Dan sebuah sepeda balap melaju di sebelah kiriku.

Saat aku berlari, beberapa pemikiran lain tentang penulisan novel datang kepadaku. Terkadang orang akan bertanya begini: “Anda menjalani kehidupan yang sehat setiap hari, Tuan Murakami, jadi pernahkah Anda mendapati diri tidak bisa menulis novel lagi?” Orang-orang tidak mengatakan hal seperti itu ketika aku di luar negeri, tapi banyak orang-orang di Jepang sepertinya berpendapat kalau menulis novel adalah kegiatan yang tidak sehat, para novelis itu agak menurun dan harus menjalani kehidupan berbahaya agar bisa menulis. Ada pandangan yang dipegang luas kalau dengan menjalani gaya hidup yang tidak sehat seorang penulis dapat melepaskan diri dari dunia profan dan mencapai sebuah tipe kemurnian yang memiliki nilai artistik. Ide seperti ini telah terbentuk dalam jangka waktu yang panjang. Film dan drama televisi mengabadikan stereotip ini — atau, untuk memberi kesan positif mengenai hal itu, sosok legendaris — gambaran seorang seniman.

Pada dasarnya aku setuju dengan pandangan kalau menulis novel adalah jenis pekerjaan yang tidak sehat. Saat kita mulai menulis novel, saat kita menggunakan tulisan untuk membuat cerita, suka atau tidak sejenis racun yang berada jauh di lubuk hati semua manusia naik ke permukaan. Semua penulis harus berhadapan langsung dengan racun ini dan, sadarilah bahaya yang terlibat, temukan cara untuk mengatasinya, karena kalau tidak, mustahil ada aktivitas kreatif yang nyata bisa terjadi. (Mohon maafkan analogi anehnya: dengan ikan fugu, bagian paling lezat adalah bagian di dekat racun — ini mungkin serupa dengan apa yang aku hadapi.) Tidak peduli bagaimana seseorang berdalih, menulis bukan aktivitas yang sehat.

Jadi sejak awal, aktivitas artistik mengandung unsur-unsur yang tidak sehat dan antisosial. Aku akui itu. Inilah sebabnya mengapa di antara penulis dan seniman lainnya hanya sedikit yang kehidupan aslinya dipengaruhi sistem sosial atau yang berpura-pura bersikap antisosial. Aku bisa mengerti ini atau, lebih tepatnya, aku tidak harus menyangkal fenomena ini.

Tapi kami yang berharap untuk memiliki karir panjang sebagai penulis profesional harus mengembangkan sebuah autoimun sendiri yang bisa melawan racun berbahaya (dalam beberapa kasus mematikan) yang selalu membayangi kami. Lakukan itu, dan kami bisa lebih efisien membuang racun yang lebih kuat. Dengan kata lain, kami bisa menciptakan narasi yang lebih bertenaga untuk menangani hal ini. Tapi butuh banyak energi untuk menciptakan sistem kekebalan tubuh lalu pertahankan dalam waktu lama. Kita harus menemukan energi itu di suatu tempat, dan di mana lagi ditemukan kalau bukan di alam fisik kita sendiri?

Tolong jangan salah paham; aku tidak mengatakan kalau inilah satu-satunya jalan yang benar yang seharusnya penulis ambil. Sama seperti ada banyak jenis sastra, ada banyak jenis penulis, masing-masing dengan pandangan dunianya sendiri. Apa yang mereka hadapi berbeda, begitu pula tujuan mereka. Jadi tidak ada yang namanya sebuah hal pasti bagi seorang novelis. Itu tidak perlu dikatakan lagi. Tapi, terus terang, jika aku ingin menulis karya skala besar, meningkatkan kekuatan dan staminaku adalah suatu keharusan, dan aku yakin ini adalah sesuatu yang layak dilakukan, atau setidaknya kalau melakukan itu jauh lebih baik daripada tidak melakukannya. Ini adalah pengamatan yang sia-sia, tapi seperti yang mereka katakan: Jika ada sesuatu yang berharga dilakukan, berikanlah yang terbaik — atau dalam beberapa kasus lampauilah kemampuan terbaikmu.

Untuk mengatasi sesuatu yang tidak sehat, seseorang harus sesehat mungkin. Itulah mottoku. Dengan kata lain, jiwa yang tidak sehat membutuhkan tubuh yang sehat. Ini mungkin terdengar paradoks, tapi memang begitu yang aku sangat rasakan sejak aku menjadi seorang penulis profesional. Sehat dan tidak sehat tidak harus berada di ujung spektrum yang berlawanan. Mereka tidak bertentangan satu sama lain, tapi saling melengkapi satu sama lain, dan dalam beberapa kasus bahkan bersatu. Tentu, banyak orang yang berada dalam jalur sehat dalam kehidupan dan hanya memikirkan hidup sehat, sementara mereka yang tidak sehat hanya memikirkan itu. Tapi jika mengikuti pandangan sepihak ini, hidup tidak akan berbuah.

Beberapa penulis yang di masa muda mereka menulis karya-karya bagus dan indah, mendapati kalau ketika mereka mencapai usia tertentu kelelahan tiba-tiba datang mengambil alih. Istilah burnout sastra cukup tepat disini. Karya mereka selanjutnya mungkin masih indah, dan kelelahan bisa memberi arti tersendiri, tapi sudah begitu jelas, energi kreatif para penulis ini mengalami kemunduran. Kejadian ini, aku percaya, berasal dari energi fisik mereka tidak bisa mengatasi racun yang mereka hadapi. Vitalitas fisik yang sampai sekarang secara alami mampu mengatasi racun telah melewati puncaknya, dan keefektifannya dalam sistem kekebalan tubuh mereka berangsur-angsur hilang. Bila ini terjadi, sulit bagi seorang penulis untuk tetap kreatif secara intuitif. Keseimbangan antara kekuatan imajinatif dan kemampuan fisik yang menopangnya telah hancur. Penulis dibiarkan menggunakan teknik dan metode yang telah dia tanam, dengan menggunakan semacam sisa tenaga kedalam sesuatu yang tampak seperti karya sastra — metode yang itu-itu saja yang tidak bisa menjadi perjalanan yang menyenangkan. Beberapa penulis mengakhiri hidupnya sendiri pada kondisi itu, sementara yang lain hanya menyerah menulis dan memilih jalan lain.

Jika memungkinkan, aku ingin menghindari burnout sastra semacam itu. Gagasanku tentang sastra adalah sesuatu yang lebih spontan, lebih kohesif, sesuatu dengan semacam vitalitas alami dan positif. Bagiku, menulis sebuah novel seperti mendaki gunung yang curam, berjuang menghadapi tebing, mencapai puncak setelah cobaan panjang dan berat. Mengatasi keterbatasan, atau tidak, satu atau yang lain. Aku selalu menjaga citra batin itu bersamaku saat menulis.

Tak perlu dikatakan lagi, suatu hari nanti seseorang akan kalah. Seiring waktu tubuh pasti akan memburuk. Cepat atau lambat, dikalahkan dan lenyap. Saat tubuh hancur, semangat juga (kemungkinan besar) hilang. Aku sangat menyadari hal itu. Namun, aku ingin menunda, selama aku bisa, intinya di mana vitalitasku dikalahkan dan dilampaui oleh racun. Itulah tujuanku sebagai novelis. Dan selain itu, di titik ini aku tidak memiliki waktu luang untuk burnout. Itulah mengapa meskipun orang mengatakan, “Dia bukan seniman,” aku terus berlari.

Pada tanggal 6 Oktober aku sedang membahas karya sastra di MIT, dan karena aku harus berbicara di depan orang-orang, hari ini sebagaimana aku berlari, aku mempraktikkan pidato (tidak nyaring, tentu saja). Ketika aku melakukan ini, aku tidak mendengarkan musik. Aku hanya berbisik dalam bahasa Inggris di kepalaku.

Saat aku di Jepang aku jarang harus berbicara di depan orang. Aku tidak memberikan ceramah apapun dalam Bahasa Inggris. Meskipun demikian, aku telah berpidato, dan aku berharap, jika ada kesempatan, aku akan memberi lebih banyak kesempatan berpidato di masa depan. Aneh, tapi kalau harus bicara di depan audiens, aku merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris-yang-masih-jauh-dari-sempurna daripada bahasa Jepang. Aku pikir ini karena ketika aku harus berbicara dengan serius tentang sesuatu dalam bahasa Jepang aku merasa ditelan lautan kata-kata. Ada banyak pilihan bagiku, kemungkinan tak terbatas. Sebagai penulis, Jepang dan aku punya sebuah hubungan yang erat jadi jika aku akan berbicara di depan sekelompok besar orang yang tidak saya tahu latar belakangnya, aku semakin bingung dan frustasi saat dihadapkan pada kata-kata yang penuh sesak itu.

Dengan bahasa Jepang, aku ingin berpelukan, sebanyak mungkin, hingga duduk sendirian di mejaku dan menulis. Di rumah ini (fiksi, novel — penerjemah) tulisanku bisa menangkap kata-kata dan konteks secara efektif, sesuai keinginanku, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang konkret. Itu pekerjaanku, tentunya. Tapi begitu aku mencoba untuk benar-benar berbicara tentang hal-hal yang aku yakini telah aku terjemahkan, aku merasa sangat yakin sesuatu — sesuatu yang sangat penting — telah tumpah keluar dan lepas. Dan aku tidak bisa menerima keterpisahan semacam itu.

Begitu aku mencoba berbicara dalam bahasa asing, pastinya, pilihan kosakataku yang tak terelakkan dan kemungkinannya terbatas: tidak seperti kegemaranku membaca buku dalam bahasa Inggris, berbicara dalam bahasa Inggris pastinya bukan keahlianku. Tapi itu membuatku merasa lebih nyaman memberikan pidato. Aku hanya berpikir, ini bahasa asing, jadi apa yang akan kau lakukan? Ini adalah temuan menarik bagiku. Tentu dibutuhkan banyak waktu untuk mempersiapkannya. Sebelum aku naik ke mimbar, aku harus menghapal pidato tiga puluh atau empat puluh menit bahasa Inggris. Jika hanya membaca pidato tertulis, semuanya akan terasa tak bernyawa bagi penonton. Aku sudah memilih kata yang mudah diucapkan sehingga orang bisa mengerti, dan mengingatkan diri sendiri untuk membuat penonton tertawa agar mereka merasa nyaman. Aku harus menyampaikan kepada pendengar perasaanku yang sebenarnya. Bahkan jika waktunya singkat, aku harus membawa penonton mengerti diriku jika aku ingin mereka mendengarkanku. Dan untuk melakukan itu, aku harus mempraktikkan pidato berulang-ulang, yang membutuhkan banyak usaha. Tapi ada juga imbalan yang datang bersama tantangan baru.

Berlari adalah kegiatan yang bagus untuk dilakukan sambil menghapal sebuah pidato. Seperti, hampir tak sadar, aku melangkahkan kakiku, aku mengulangi kata-kata berurutan dalam pikiranku. Aku mengukur irama kalimat, caranya diucapkan. Dengan pikiranku yang ada di tempat lain, aku bisa berlari untuk waktu yang lama, menjaga kecepatan biasaku itu tidak membuatku lelah. Terkadang ketika aku mempraktikkan pidato di kepalaku, aku menyadari diriku melakukan isyarat tubuh dan ekspresi wajah, dan orang-orang yang melewatiku dari arah yang berlawanan membuatku terlihat aneh.

Hari ini saat aku berlari, aku melihat seekor angsa Kanada yang gemuk terbaring mati di tepi danau Charles. Tupai mati juga terbaring di samping pohon. Keduanya tampak seperti sedang tidur nyenyak, tapi mereka sudah mati. Ungkapan mereka tenang, seolah mereka menerima akhir hayat, seolah-olah mereka akhirnya dibebaskan.

Di samping rumah perahu di tepi sungai ada seorang tunawisma yang mengenakan pakaian kotor. Dia mendorong sebuah keranjang belanja dan berteriak keras “America the Beautiful.” Entahkan dia mengatakan yang sejujurnya atau itu hanya ironi dari keadaannya, aku tidak tahu.

Bagaimanapun, kalender telah berubah menjadi Oktober. Sebelum aku menyadarinya, bulan lain akan berlalu. Dan Musim yang sangat keras sudah di depan mata.

* Frasa ini mungkin digunakan untuk mengekspresikan ketidakpedulian terhadap masa lalu atau untuk menyoroti bahwa apa yang terjadi sekarang lebih penting daripada apa yang telah terjadi sebelumnya

--

--

Muh. Syahrul Padli

A Science Teacher, Head of Penghayat Sumur Community and Digital-Creative worker. co-Founder YT Bawah Pohon Science (an alternative education platform).