Bagian Satu Memoar Haruki Murakami

Muh. Syahrul Padli
19 min readApr 9, 2024

--

(Penerjemah: Muh. Syahrul Padli, versi 20% fix)

image source

5 Agustus 2005 • Kauai, Hawaii

Siapa yang akan Menertawakan Mick Jagger?

Aku di Kauai, Hawaii, hari ini, Jumat, 5 Agustus 2005. Langit sangat biru dan cerah, tanpa awan. Seakan konsep awan bahkan tidak ada. Aku datang ke sini pada akhir bulan Juli dan, seperti biasa, kami menyewa sebuah kondominium. Pada pagi hari, saat cuaca dingin, aku duduk di mejaku, menulis berbagai macam hal. Seperti sekarang: Aku sedang menulis tulisan ini, sebuah artikel tentang berlari yang kupersiapkan seperti yang kumau. Ini musim panas, jadi tentu saja panas. Hawaii disebut pulau musim panas abadi, itu karena di Utara Belahan bumi ada, boleh dibilang, empat musim dan semacamnya. Musim panas agak lebih panas dari musim dingin. Aku menghabiskan banyak waktu di Cambridge, Massachusetts, dan dibandingkan dengan Cambridge — yang sangat lembab dan panas dengan semua batu bata dan betonnya seperti sebuah penyiksaan — musim panas di Hawaii adalah surga yang sesungguhnya. Tidak perlu AC di sini — biarkan saja jendela terbuka, dan angin sepoi-sepoi bertiup menerpamu. Orang-orang di Cambridge selalu terkejut saat mendengar aku menghabiskan sebulan penuh Agustus di Hawaii. “Mengapa Kau ingin menghabiskan musim panas di tempat yang panas seperti itu?” tanya mereka selalu. Tapi mereka tidak tahu seperti apa rasanya. Bagaimana pertukaran terus-menerus angin dari timur laut membuat musim panas terasa sejuk. Betapa bahagianya hidup ini. Di sini, di mana kami bisa menikmati duduk-duduk santai di mana saja, membaca buku di bawah naungan pepohonan, atau, jika ide itu tidak cocok denganmu, pergilah, sama seperti kami, untuk berenang di kolam.

Sejak aku tiba di Hawaii, aku sudah berlari sekitar satu jam setiap hari, enam hari seminggu. Sudah dua setengah bulan dari sekarang sejak aku melanjutkan gaya hidup lamaku di mana, kecuali jika benar-benar tidak dapat dihindari, aku berlari setiap hari. Hari ini aku berlari selama satu jam dan sepuluh menit, mendengarkan Walkman dua album musik dari Lovin ‘Spoonful — Daydream and Hums of Lovin’ Spoonful (Remastered — penerjemah) — yang aku rekam di kaset MD.

Saat ini aku ingin meningkatkan jarak tempuh, jadi kecepatan bukanlah yang utama. Selama aku bisa berlari dalam jarak tertentu, hanya itu yang kupedulikan. Terkadang aku berlari kencang jika mau, tapi kalau aku meningkatkan kecepatan, langkahku semakin pendek dan total waktu yang kubutuhkan semakin singkat, intinya adalah membiarkan kegembiraan yang kurasakan di akhir setiap lari terbawa ke hari berikutnya. Ini taktik yang sama yang kuanggap perlu saat menulis sebuah novel. Aku berhenti setiap hari pada saat aku merasa bisa menulis lebih banyak. Lakukan itu, dan hari berikutnya secara mengejutkan berjalan dengan sangat mulus. Aku pikir Ernest Hemingway melakukkan hal seperti itu juga. Untuk terus berlari, kau harus menjaga ritme. Ini adalah hal yang penting untuk proyek jangka panjang. Masalahnya adalah membuat roda gerigi mesin berputar dengan kecepatan tinggi — dan untuk sampai ke titik itu dibutuhkan konsentrasi dan usaha maksimum.

Hujan turun sebentar saat aku berlari, tapi dinginnya hujan terasa nyaman. Awan tebal bertiup dari laut tepat di atasku, dan hujan rintik-rintik turun untuk sementara waktu, tapi kemudian, aku teringat, “Oh, aku harus melakukan beberapa hal!,” awan itu membawa dirinya pergi tanpa kembali. Lalu matahari yang menyengat tanpa ampun kembali, menyinari daratan. Pola cuaca ini sangat mudah dimengerti. Tidak ada yang salah atau bertentangan soal hal itu, bukan setitik metaforis atau simbolis. Dalam perjalanan aku melewati beberapa pelari lainnya, kira-kira jumlah pria dan wanitanya sama. Orang-orang itu dengan energik meluncur turun, mengiris udara seperti mereka dikejar perampok tepat di belakang mereka. Pelari lainnya, kelebihan berat badan, terengah-engah dan kepayahan, mata mereka setengah tertutup, bahu mereka seperti mengendor turun tanpa tenaga. Berlari mungkin hal terakhir di dunia yang mereka ingin lakukan. Mereka tampak seperti orang yang seminggu lalu diberitahu dokter bahwa mereka menderita diabetes dan diperingatkan harus mulai berolahraga. Aku ada di tengah-tengah mereka.

Aku suka mendengarkan Lovin ‘Spoonful. Musik mereka agak santai dan tidak pernah mengecewakan. Mendengarkan musik yang menyejukkan ini membawa kembali banyak ingatan tahun 1960-an. Walaupun tidak ada yang istimewa. Jika mereka membuat film tentang hidupku (sepintas itu ide yang buruk), itulah juga yang akan terjadi. Banyak adegan-adegan yang akan dipotong. “Kita bisa potong saja bagian ini,” editornya akan menjelaskan “Tidak buruk, tapi agak biasa dan tidak punya nilai tambah.” Itu jenis kenangan-bersahaja biasa-biasa saja, lumrah. Tapi bagiku, semua bermakna dan berharga. Ingatan-ingatan ini melayang di pikiranku, aku yakin tanpa sadar tersenyum mengenangnya atau sedikit mengernyit. Biasa saja, tapi akumulasi kenangan ini telah menghasilkan sesuatu: diriku. Aku di sini dan sekarang ada di pantai utara Kauai. Terkadang saat memikirkan tentang hidupku, aku merasa seperti sepotong kayu yang hanyut terapung di pantai.

Saat berlari, angin kencang bertiup dari arah mercusuar, daun-daun pohon putih beterbangan di atas kepalaku.

Aku mulai tinggal di Cambridge, Massachusetts, pada akhir bulan Mei tahun ini, dan berlari terus menjadi rutinitas harianku sejak saat itu. Aku serius berlari sekarang. Dengan serius aku menempuh tiga puluh enam mil seminggu. Dengan kata lain, enam mil sehari, enam hari seminggu. Akan lebih baik jika aku berlari tujuh hari, tapi aku harus memperhitungkan hari turunnya hujan, dan hari-hari ketika sangat sibuk dengan urusan pekerjaan. Ada beberapa hari juga, saat terus terang aku merasa terlalu lelah untuk berlari. Dengan mempertimbangkan semua ini, aku menyisakan satu hari seminggu sebagai hari libur. Jadi, dengan tiga puluh enam mil per minggu, aku menempuh jarak 156 mil setiap bulan, yang bagiku adalah standar untuk keseriusan berlari.

Pada bulan Juni aku mengikuti rencana ini dengan baik, berlari sejauh 156 mil. Pada bulan Juli aku meningkatkan jarak tempuh dan mencapai 186 mil. Aku rata-rata berlari enam mil setiap hari, tanpa libur satu hari pun. Aku tidak bilang aku berlari sampai enam mil setiap hari. Jika aku berlari sembilan mil satu hari, keesokan harinya aku hanya akan melakukan tiga mil sisanya (dengan kecepatan lari biasa aku biasanya bisa menempuh jarak enam mil dalam satu jam.) Bagiku inilah lari dalam tingkat serius. Dan sejak aku datang ke Hawaii, aku terus menjaga ritme ini. Sudah lama sekali sejak bisa menempuh jarak ini dan tetap mengikuti jadwal tetap seperti ini.

Ada beberapa alasan mengapa, pada titik tertentu dalam hidupku, aku berhenti berlari dengan serius. Pertama-tama, aku semakin sibuk, dan waktu luang adalah hal yang terasa mahal. Saat aku masih muda, bukannya punya waktu luang sebanyak yang kuinginkan, tapi setidaknya aku tidak punya banyak pekerjaan seperti sekarang. Aku tidak tahu mengapa, tapi semakin tua seseorang, semakin sibuk dia. Alasan lain adalah aku lebih tertarik pada triatlon, bukan maraton. Triatlon, tentu saja, melibatkan berenang dan bersepeda selain berlari. Bagian yang berlari tidak menjadi masalah bagiku, tapi untuk menguasai dua cabang lainnya dari kegiata itu aku harus mencurahkan banyak waktu untuk berlatih berenang dan bersepeda. Aku harus mulai dari awal dengan berenang, mempelajari kembali posisi tubuh yang benar, belajar dengan benar teknik bersepeda, dan melatih otot-otot yang diperlukan. Semua ini butuh waktu dan usaha, dan sebagai hasilnya aku memiliki sedikit waktu untuk fokus berlari.

Mungkin alasan utama, sepertinya, adalah pada titik tertentu aku hanya bosan. Aku mulai berlari pada musim gugur tahun 1982 dan telah berlari sejak saat itu selama hampir dua puluh tiga tahun. Selama periode itu aku berlari hampir setiap hari, lari dalam setidaknya satu maraton setiap tahun — kira-kira totalnya dua puluh tiga sampai sekarang — dan ikut serta dalam maraton di seluruh dunia yang tak bisa sepenuhnya akurat saya hitung. Lari jarak jauh sesuai dengan kepribadianku, meskipun, dan dari semua kebiasaan yang aku dapatkan selama hidup aku harus katakan yang satu ini yang paling bermanfaat, paling bermakna. Berlari tanpa jeda lebih dari dua dekade juga membuatku lebih kuat, baik secara fisik maupun mental.

Masalahnya, aku tidak banyak berolahraga tim. Begitulah aku. Kapan pun aku bermain sepak bola atau bisbol — sebenarnya, sejak beranjak dewasa hampir tidak pernah kumainkan — aku tidak pernah merasa nyaman. Mungkin itu karena aku tidak punya saudara laki-laki, dan aku tidak pernah bisa cocok dengan jenis permainan yang dimainkan dengan orang lain. Aku juga tidak pandai berolahraga satu lawan satu seperti tenis. Aku menikmati squash, tapi umumnya ketika sampai permainan melawan seseorang, aspek kompetitif membuatku tidak nyaman. Dan sama dengan seni bela diri juga, Kau bisa mengabaikanku.

Jangan salah paham aku-aku tidak sepunuhnya tidak kompetitif. Hanya saja untuk beberapa alasan aku tidak pernah peduli sama sekali apakah aku mengalahkan orang lain atau kalah dari mereka. Sentimen ini tetap cukup banyak tidak berubah setelah aku dewasa. Tidak masalah bidang apa yang sedang Kau bicarakan-mengalahkan orang lain bukan gayaku. Aku lebih tertarik pada apakah aku mencapai tujuan yang aku tetapkan untuk diriku sendiri, Jadi dalam hal ini jarak jauh berjalan sangat cocok untuk pola pikir seperti aku.

Pelari maraton akan mengerti apa yang aku maksud. Kami tidak terlalu peduli apakah kami mengalahkan pelari amatir lain. Pelari kelas dunia, tentu saja, ingin mengalahkan saingan terdekat mereka, tapi untuk sebagian besar dari golonganmu, para pelari harian, persaingan individu bukanlah masalah besar. Aku yakin ada segudang jenis pelari yang ingin mengalahkan saingan tertentu sehingga mendorong mereka berlatih lebih keras. Tapi apa yang terjadi jika saingan mereka, untuk alasan apapun, mundur dari kompetisi? Motivasi mereka untuk berlari akan hilang atau setidaknya berkurang, dan akan sulit bagi mereka untuk tetap terus sebagai pelari.

Kebanyakan pelari biasa dimotivasi oleh tujuan individual, lebih dari apapun: yaitu, saat mereka ingin mengalahkan seseorang. Selama dia bisa mengalahkannya waktu itu, pelari akan merasa dia telah mencapai apa yang dia ingin lakukan, dan jika dia tidak bisa, maka dia akan merasa gagal. Bahkan jika dia tidak memecahkan waktu yang dia harapkan, selama dia merasa puas karena telah melakukan yang terbaik-dan, mungkin, telah membuat beberapa kemajuan penting tentang dirinya dalam proses — maka itu sendiri adalah sebuah prestasi, sebuah perasaan positif yang dia bisa bawa ke kompetisi berikutnya.

Hal yang sama bisa dikatakan tentang profesiku. Dalam profesi novelis, sejauh yang aku tahu, tidak ada yang namanya menang atau kalah. Mungkin jumlah salinan terjual, penghargaan dimenangkan, dan kritik berupa pujian berfungsi sebagai standar luar untuk prestasi dalam sastra, tapi tidak satupun dari mereka benar-benar penting. Yang penting adalah apakah tulisanmu mencapai standar yang telah Kau tetapkan untuk dirimu sendiri. Gagal mencapai level itu bukan sesuatu yang bisa Kau jelaskan dengan mudah. Jika menyangkut orang lain, Kau selalu bisa datang dengan penjelasan yang masuk akal, tapi Kau tidak bisa membodohi diri sendiri. Dalam hal ini, menulis novel dan berlari maraton penuh sangat mirip. Pada dasarnya seorang penulis memiliki sebuah kesunyian, motivasi batin, dan tidak mencari pengakuan secara lahiriah.

Bagiku, berlari adalah latihan dan metafora. Berlari dari hari ke hari, meningkatkan jarak lintasan, sedikit demi sedikit aku menaikkan level, dan dengan menyelesaikan setiap level, aku meningkatkan diri. Setidaknya itu sebabnya aku berusaha hari demi hari: untuk meningkatkan levelku sendiri. Aku bukan pelari hebat, dalam artian apa pun. Aku pelari biasa — atau mungkin lebih seperti biasa-biasa saja. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah apakah aku lebih baik atau tidak tinimbang kemarin. Dalam berlari jarak jauh satu-satunya lawan yang harus dikalahkan adalah diri sendiri, diri yang dulu.

Sejak usia empat puluhan, sistem refleksi diri ini berangsur-angsur berubah. Sederhananya, aku tidakk lagi bisa punya banyak waktu luang. Kurasa itu tak terelakkan, mengingat usiaku. Pada usia tertentu, setiap orang mencapai puncak fisik mereka. Ada perbedaan-perbedaan pada masing-masing individu, tapi sebagian besar perenang mencapai puncak performa fisik di awal usia dua puluhan, petinju di usia akhir dua puluhan, dan pemain bisbol di pertengahan tiga puluhan mereka. Ini adalah fase yang harus dilalui seseorang. Suatu waktu aku bertanya kepada dokter mata andai ada seseorang yang bisa mengindari rabun jauh saat mereka bertambah tua. Dia tertawa dan berkata, “Aku belum pernah bertemu satu pun. “Itu hal yang sama. (Untungnya, puncak bagi seniman sangat bervariasi. Dostoyevsky, misalnya, menulis dua novel monumentalnya, The Possessed and The Brothers Karamazov, beberapa tahun terakhir hidupnya sebelum kematiannya pada usia enam puluh tahun. Domenico Scarlatti menulis 555 sonata piano selama hidupnya, kebanyakan dari mereka saat berusia antara lima puluh tujuh dan enam puluh dua.)

Puncakku sebagai pelari datang di usia akhir empat puluhan. Sebelum itu aku bermaksud menjalankan maraton penuh tiga setengah jam, kecepatan tepat satu kilometer dalam lima menit, atau satu mil dalam delapan menit. Terkadang aku tidak mencapai tiga setengah jam, terkadang tidak (lebih sering tidak). Selain itu, aku mampu terus berlari maraton lebih baik daripada waktu yang telah kutetapkan. Bahkan saat kupikir aku benar-benar akan mencapainya, catatan waktuku di bawah tiga jam empat puluh menit. Bahkan jika aku tak cukup latihan atau tidak dalam kondisi terbaik, mencatat waktu kurang dari empat jam sulit kubayangkan. Berlanjut ke dataran tinggi yang landai untuk sementara, tapi tak lama kemudian jalur mulai berubah. Aku akan berlatih sebanyak sebelumnya tapi ternyata semakin sulit untuk istirahat tiga jam empat puluh menit. Butuh waktu lima setengah menit untuk berlari sejauh satu kilometer, dan aku beringsut mendekati papan pemimpin kecepatan empat jam untuk menyelesaikan maraton. Terus terang, ini agak mengejutkan. Apa yang sedang terjadi di sini? Aku tidak berpikir itu karena aku menua. Dalam kehidupan sehari-hari aku tidak pernah merasa aku semakin lemah secara fisik. Tapi tidak peduli seberapa banyak aku bisa menyangkalnya atau mencoba mengabaikannya, semuanya mundur, selangkah demi selangkah.

Selain itu, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku menjadi lebih tertarik pada olahraga lain seperti triatlon dan squash. Hanya berlari sepanjang waktu tidak akan baik untukku, aku pikir, kuputuskan akan lebih baik untuk menambahkan hal baru dalam rutinitasku dan meningkatkan ketahanan fisik yang lebih menyeluruh. Aku membayar pelatih renang untuk membimbingku dalam latihan-latihan dasar, dan aku belajar berenang lebih cepat dan lebih lancar dari pada sebelumnya. Otot-ototku bereaksi terhadap lingkungan baru, dan fisikku mulai terasa berubah. Sementara itu, seperti air pasang, waktu-waktu maratonku perlahan tapi pasti terus melambat. Dan aku ternyata menyadari kalau aku tidak terlalu menikmati berlari seperti dulu. Kelelahan yang terus-terusan terbuka di antara aku dan si gagasan berlari. Rasa kecewa membuat semua kerja kerasku tidak terbayar, ada sesuatu yang menghalangiku, seperti pintu yang biasanya terbuka tiba-tiba terbanting ke wajahku. Aku menamai kondisi ini runner’s blues. Aku akan membahas lebih rinci nanti tentang jenis blues apa ini.

Sudah sepuluh tahun sejak aku terakhir tinggal di Cambridge (yang dari tahun 1993 sampai 1995, dulu saat Bill Clinton adalah presiden).. Ketika aku melihat Sungai Charles lagi, keinginan untuk lari melayang di atas kepala. Umumnya, kecuali beberapa perubahan besar terjadi, sungai selalu terlihat sama, dan Sungai Charles khususnya tampak sama sekali tidak berubah. Waktu telah berlalu, mahasiswa telah datang dan pergi, aku telah menua sepuluh tahun, dan benar-benar ada banyak air di bawah jembatan. Tapi sungai tetap tidak berubah. Air masih mengalir dengan cepat, dan tanpa suara, menuju pelabuhan Boston. Air membasahi garis pantai, membuat rumput musim panas tumbuh tebal, yang membantu memberi makan unggas air, dan mengalir dengan lesu, tak henti-hentinya, di bawah jembatan tua, memantulkan awan di musim panas dan terombang-ambing dengan hanyut di musim dingin — dan tanpa suara menuju lautan.

Setelah merenungkan semuanya, mengatasi hambatan, dan membuka diri ke dalam kehidupan di Cambridge, aku mengalami kemunduran yang serius lagi. Bernapas di tempat yang ramai, mengumpulkan tenaga, Udara pagi, aku merasa sekali lagi kegembiraan berlari di tempat yang akrab. Suara langkahku, napas dan detak jantungku, semuanya bercampur bersama dalam banyak ritme yang unik. Sungai Charles adalah tempat suci untuk seri balap kayak dan perahu layang, dan selalu ada seseorang mendayung di sungai. Aku suka balapan mereka. Kebanyakan, tentu saja, perahu lebih cepat. Tapi saat satu orang santai mendayung aku bisa berlari cepat untuk taruhan.

Mungkin karena ini adalah rumah dari Marathon Boston, Cambridge penuh dengan pelari. Berlari di sepanjang Charles terus berlanjut selamanya, dan jika Kau mau juga, Kau bisa berlari berjam-jam. Masalahnya adalah, litasan ini juga digunakan oleh pengendara sepeda, jadi Kau harus berhati-hati terhadap sepeda yang melaju cepat dari belakang. Di Berbagai tempat juga ada retakan di trotoar yang harus kau pastikan kakimu tidak tersandung, dan beberapa sinyal macet panjang di mana kau bisa terjebak, yang dapat mengganggu larimu. Selebihnya, ini sbuah lintasan lari yang indah.

Terkadang saat aku berlari, aku mendengarkan jazz, tapi biasanya itu rock, karena ketukannya adalah yang terbaik mengiringi irama lari. Aku lebih memilih Red Hot Chili Peppers, Gorillaz, dan Beck, dan band gaek seperti Creedence Clearwater Revival dan Beach Boys. Musik dengan irama sesederhana mungkin. Banyak pelari sekarang menggunakan iPod, tapi aku lebih memilih pemain MD yang biasa kugunakan. Ini sedikit lebih besar daripada iPod dan tidak bisa menampung data sebanyak iPod, tapi cocok untukku. Pada titik ini aku tidak ingin mencampur musik dan teknologi. Sama seperti itu tidak baik untuk mencampur teman dan pekerjaan, dan seks.

Seperti yang aku sebutkan, pada bulan Juli aku berlari 186 mil. Hujan dua hari di bulan itu, dan aku menghabiskan dua hari di jalan. Dan ada beberapa hari di mana cuaca terlalu lembab dan panas untuk berlari. Jadi sejujurnya, berlari 186 mil tidak begitu buruk. Tidak buruk sama sekali. Jika berlari 136 mil dalam sebulan berarti serius berlari, maka 186 mil harusnya diolongkan berlari akurat . Semakin jauh aku berlari, semakin banyak aku kehilangan berat. Dalam dua dan setengah bulan aku turun sekitar tujuh kilogram, dan sedikit lemak yang mulai aku lihat di sekitar perutku lenyap. Bayangkan pergi ke toko daging, beli tujuh pon daging, dan bawakan rumah. Bisa dibayangkan begitu. Aku memiliki perasaan campur aduk tentang membawa beban tambahan itu kepadaku setiap hari. Jika tinggal di Boston, bir Samuel Adams (Summer Ale) dan Dunkin ‘Donuts sangat penting bagi hidup seseorang. Tapi aku menemukan kegembiraan mengonsumsi dua hal itu bisa diimbangi dengan latihan yang terus-menerus.

Mungkin agak konyol bagi seseorang yang seusiaku untuk mengucapkannya, tapi aku hanya ingin memastikan aku mengatakan fakta dengan jelas: Aku adalah tipe orang yang sangat menjadi diri sendiri. Untuk membuatnya lebih jelas, aku adalah tipe orang yang tidak merasa menderita sendirian. Aku menghabiskan satu atau dua jam setiap hari berlari sendiri, tidak berbicara dengan siapa pun, dan juga empat atau lima jam sendirian di mejaku, tidak sulit atau membosankan. Aku sudah memiliki kecenderungan ini sejak muda, ketika, diberi pilihan, aku lebih suka membaca buku sendiri atau berkonsentrasi mendengarkan musik bersama orang lain. Aku selalu memikirkan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri.

Meski begitu, setelah aku menikah di usia muda (aku berumur dua puluh dua waktu itu), aku perlahan terbiasa tinggal dengan orang lain. Setelah lulus kuliah, aku mengelola sebuah bar, jadi aku belajar pentingnya bersama orang lain dan jelas kalau kita tidak bisa bertahan sendirian. Perlahan-lahan, kemudian, barangkali dengan siklusku sendiri, melalui pengalaman pribadi aku menemukan cara untuk bisa bersosialisasi. Mengingat hal itu sekarang, aku bisa melihat kalau di usia dua puluhanku pandangan hidupku berubah, dan aku mendewasa. Dengan mencari paksa informasi sendiri di banyak tempat, aku memperoleh keterampilan praktis yang kubutuhkan untuk hidup. Tanpa sepuluh tahun sulit itu, kurasa pasti aku tak akan bisa menulis novel, dan kalaupun aku sudah mencoba, aku tidak akan bisa melakukannya. Bukan berarti kepribadian berubah secara drastis. Keinginanku untuk sendirian tidak berubah. Itulah sebabnya mengapa berlari dan menulis adalah dua kegiatan yang cocok untukku.

Sekitar sejam atau lebih aku menghabiskan waktu berlari, mempertahankan kesendirianku, waktu pribadi, adalah penting untuk membantuku menjaga kesehatan mentalku. Saat berlari, aku tidak perlu berbicara dengan siapapun dan tidak perlu mendengarkan siapa pun. Yang perlu kulakukan hanyalah menatap pemandangan yang kulewati. Ini adalah bagian dari hariku yang tidak bisa tidak kulakukan.

Aku sering ditanya apa yang aku pikirkan saat berlari. Biasanya orang yang bertanya ini tidak pernah lari jarak jauh sendiri. Aku selalu merenungkan pertanyaannya. Apa sebenarnya yang aku pikirkan saat berlari? Aku tidak bisa menjelaskan sepenuhnya.

Pada hari yang dingin kukira aku sedikit memikirkan betapa dinginnya itu. Dan tentang panas di hari-hari musim panas. Saat aku sedih aku berpikir sedikit tentang kesedihan. Saat aku senang aku sedikit memikirkan kebahagiaan. Seperti yang kusebutkan sebelumnya, ingatan acak juga muncul. Dan kadang-kadang, hampir selalu, sungguh, aku mendapatkan ide untuk ditulis di novel. Tapi betapapun aku berlari, aku tidak memikirkan banyak hal yang layak disebut menarik.

Aku hanya lari. Aku berlari dalam kehampaan. Atau mungkin aku harus mengatakannya dengan cara lain: Aku berlari untuk mendapatkan kekosongan. Tapi seperti yang diduga, pikiran sesekali akan tergelincir ke dalam kekosongan ini. Pikiran orang tidak dapat kosong total. Emosi manusia tidak kuat atau cukup konsisten untuk mempertahankan kekosongan. Yang aku maksud adalah, jenis pemikiran dan gagasan yang menyerbu emosiku saat aku terus berlari sedikit di bawah kekosongan itu. Karena kekurangan bobot, semua itu hanyalah pikiran acak yang berkumpul di seputar kehampaan pusat itu.

Pikiran yang terpikir olehku saat aku berlari seperti awan di langit. Awan yang berbeda ukuran. Mereka datang dan pergi, sementara langit tetap sama seperti biasanya. Awan semata tamu di langit yang lewat dan kemudian lenyap, meninggalkan langit. Langit antara ada dan tiada. Langit memiliki substansi dan pada saat yang sama tidak. Dan kita hanya menerima hamparan dan menenggak minuman yang luas itu itu masuk.

Aku di akhir lima puluhan sekarang. Ketika aku masih muda, aku sungguh tidak pernah membayangkan abad kedua puluh satu benar-benar datang, dan aku akan berusia lima puluh. Secara teori, tentu saja, sudah jelas suatu hari, jika tidak ada hal lain terjadi, abad kedua puluh satu akan berputar dan aku akan berusia lima puluh tahun. Ketika aku masih muda, diminta membayangkan diriku pada usia lima puluh sama sulitnya dengan diminta untuk membayangkan, secara konkret, dunia setelah kematian. Mick Jagger pernah membual kalau “Aku lebih baik mati daripada terus bernyanyi. ‘Satisfaction’ saat aku berumur empat puluh lima tahun. “Tapi sekarang usianya sudah lebih dari enam puluh dan masih menyanyikan” Satisfaction. “Beberapa orang mungkin menganggap ini lucu, tapi bukan aku. Saat masih muda, Mick Jagger tidak bisa membayangkan dirinya sendiri pada usia empat puluh lima. Ketika aku masih muda, aku juga sama. Dapatkah aku menertawakan Mick Jagger? Tidak mungkin. Aku tidak lahir sebagai penyanyi rock muda. Tidak ada yang mengingat hal bodoh apa yang mungkin aku katakan saat itu, dan mereka tidak akan mengutip lalu mengolok-olokku dengan kata-kata itu. Itulah satu-satunya perbedaannya.

Dan sekarang di sinilah aku, tinggal di dunia yang tak terbayangkan ini. Rasanya sangat aneh, dan aku tidak tahu apakah aku sangat beruntung atau tidak. Mungkin itu hal yang tak penting. Bagiku — dan bagi orang lain, mungkin — inilah pengalaman pertama kali aku menua, dan emosi yang kualami juga baru kurasakan. Jika itu sesuatu yang pernah aku alami sebelumnya, maka aku bisa memahaminya dengan lebih jelas, tapi ini yang pertama kali, jadi aku tidak bisa. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menahan diri, tak terlalu menghakimi dan menerima semua hal apa adanya. Sama seperti aku menerima langit, awan, dan sungai. Dan ada juga hal lucu tentang itu semua, sesuatu yang tidak ingin dibuang sepenuhnya.

Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, bersaing dengan orang lain, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di bidang pekerjaan bukan gaya hidup yang kuinginkan. Maafkan aku karena mengatakannya lagi, tapi dunia ini terdiri dari berbagai jenis orang. Orang lain memiliki prinsip sendiri untuk dijalani, dan hal yang sama juga berlaku untukku. Perbedaan ini menimbulkan ketidaksepakatan, dan kombinasi dari perbedaan pendapat ini dapat meningkatkan kesalahpahaman yang lebih besar lagi. Akibatnya, terkadang orang dikritik secara tidak adil. Begitulah yang terjadi. Disalahpahami atau dikritik itu tidak menyenangkan, tapi itu lebih seperti pengalaman yang sangat menyakitkan bagi seseorang.

Seiring bertambahnya usia, aku perlahan menyadari kalau rasa sakit dan luka semacam ini adalah bagian penting dari kehidupan. Kalau kau memikirkannya, tepatnya itu justru karena orang berbeda dari orang lain yang mampu menciptakan independensi sendiri. Misal aku sebagai contoh. Justru aku mampu mendeteksi beberapa aspek dari sebuah adegan yang orang lain tidak dapat deteksi, untuk merasa berbeda dari yang lain dan memilih kata-kata yang berbeda dari mereka, yang memungkinkan aku untuk menulis ceritaku sendiri. Dan karena itulah kita memiliki situasi yang luar biasa di mana beberapa orang membaca apa yang telah kutulis. Jadi kenyataan kalau aku adalah aku dan bukan orang lain adalah aset terbesarku. Emosi menyakitkan adalah harga yang seseorang harus bayar agar independen.

Itulah yang pada dasarnya aku yakini, dan aku telah menjalani hidupku dengan semestinya. Di area tertentu dalam hidupku, aku secara aktif mencari kesendirian. Khusus untuk seseorang yang bekerja sebagai penulis, kesendirian sedikit banyak, adalah keadaan yang tak terelakkan. Terkadang, bagaimanapun, rasa terisolasi ini, seperti asam yang tumpah dari botol, secara tidak sadar bisa menggerus hati seseorang dan melahapnya. Kau bisa melihatnya juga, sebagai semacam pedang bermata dua. Kesendirian melindungiku, tapi pada saat yang sama terus mencincangku dari dalam. Aku memikirkannya dengan caraku sendiri, dan aku menyadari bahaya ini — mungkin melalui pengalaman — dan karena itulah aku melakukannya.

Aku harus terus-menerus menjaga gerak tubuhku, dalam beberapa kasus mendorong diriku sampai pada batasnya, untuk menyembuhkan kesepian yang kurasakan di dalam batinku dan untuk memberi sudut pandang lain. Itu bukan tindakan yang disengaja, tapi sebagai reaksi naluriah

Aku akan lebih spesifik.

Ketika aku dikritik secara tidak adil (dari sudut pandangku setidaknya), atau ketika seseorang yang aku yakini tak mengerti tentangku mengkritikku, aku pergi berlari sedikit lebih lama dari biasanya. Dengan berlari lebih lama rasanya aku bisa secara fisik mengeluarkan bagian dari ketidakpuasanku. Hal itu juga membuatku sadar betapa lemahnya aku, betapa terbatas kemampuanku. Aku menjadi sadar, secara fisik, dari titik rendah ini. Dan salah satu hasil berlari sedikit lebih jauh dari biasanya adalah aku menjadi lebih kuat. Jika aku marah, aku mengarahkan kemarahan itu menuju diriku sendiri. Jika aku memiliki pengalaman yang membuatku frustrasi, aku menggunakannya untuk mengembangkan diri. Begitulah caraku hidup. Aku diam-diam menyerap hal-hal yang bisa kuambil, melepaskannya nanti, dan mengubahnya kedalam bentuk yang memungkinkan, sebagai bagian dari alur cerita dalam sebuah novel.

Aku tidak berpikir kebanyakan orang menyukai kepribadianku. Mungkin ada beberapa — sangat sedikit, kubayangkan — yang terkesan dengan itu, tapi jarang ada orang seperti itu. Siapa di dunia yang bisa punya perasaan hangat, atau sesuatu seperti itu, kepada orang yang tidak berkompromi, yang bisa dibilang, kapan pun ada masalah muncul, mengunci diri sendirian di lemari? Tapi apakah mungkin seorang penulis profesional untuk disukai orang? Aku tidak tahu. Mungkin di suatu tempat di dunia ini. Tak bisa digeneralisasi. Bagiku, paling tidak, karena aku telah menulis novel selama bertahun-tahun, aku tidak bisa membayangkan seseorang menyukaiku di tingkat pribadi. Karena tidak disukai oleh seseorang, dibenci dan dianggap hina, entah bagaimana nampaknya lebih alami. Bukan berarti aku lega saat itu terjadi. Bahkan aku tidak senang saat seseorang tidak suka kepadaku.

Tapi itu lain cerita. Ayo kembali bicara soal berlari. Aku sudah kembali ke gaya hidup berlari lagi. Aku mulai berlari serius dan sekarang tetap ketat berlari. Yang artinya adalah, sekarang aku di akhir usia lima puluhan, aku belum tahu. Tapi aku pikir itu harus berarti sesuatu. Mungkin tidak apa-apa bermakna lebih filosofis, tapi harus ada tujuan untuk itu. Pokoknya, sekarang aku berlari kencang. Aku akan menunggu sampai nanti untuk memikirkan apa artinya semua itu. (Menunda memikirkan sesuatu adalah salah satu spesialisasiku, sebuah keterampilanku yang telah terasah seiring bertambahnya usiaku.) Aku menjemur sepatu lariku, menggosokkan beberapa losyen anti matahari di wajah dan leherku, mengatur jam tangan sportiku, dan mulai berlari. Dengan angin yang menerpa wajahku, seekor bangau putih terbang di atasku, kakinya membentuk garis lurus saat melintasi langit, dan aku mendengarkan musik favorit lamaku, Lovin’ Spoonful.

Saat aku berlari, aku terpukau oleh sebuah pikiran: biarpun waktu tempuhku dalam berlari tidak semakin pendek, tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk mengatasinya. Aku sudah bertambah tua, dan waktu telah memangsa tumbalnya. Itu bukan salah siapa-siapa. Itulah aturan permainannya. Sama seperti sungai yang mengalir ke laut, semakin tua dan melambat hanya bagian dari skenario alam, dan aku harus menerimanya. Ini mungkin bukan proses yang menyenangkan, dan apa hasil yang kudapatkan mungkin tidak semuanya meggembirakan. Tapi pilihan apa yang kumiliki? Dengan caraku sendiri, aku sudah menikmati hidupku sejauh ini, bahkan jika aku tidak dapat mengatakan kalau aku telah benar-benar menikmatinya.

Aku tidak mencoba untuk membual atau apa pun — siapa di dunia ini yang akan membual tentang sesuatu seperti itu? — tapi aku bukan orang yang paling cemerlang. Aku adalah tipe orang yang harus mengalami sesuatu secara fisik, benar-benar merasakan sesuatu, sebelum aku memiliki perasaan yang jelas. Tidak peduli apa pun itu, kecuali jika aku melihatnya dengan mata sendiri aku baru yakin. Aku tipe fisik, bukan intelektual. Tentu saja aku punya kecerdasan tertentu — paling tidak menurutku. Jika aku benar-benar tidak punya kecerdasarn tertentu tidak mungkin aku bisa menulis novel. Tapi aku bukan tipe yang beroperasi lewat teori atau logika murni, bukan tipe orang yang sumber kekuatannya berasal dari spekulasi intelektual. Hanya saat aku diberi beban fisik dan ototku yang sebenarnya mulai mengerang (dan kadang menjerit) maka kedalaman pemahamanku meningkat drastis dan akhirnya aku mampu menangkap sesuatu. Tak perlu dikatakan lagi, dibutuhkan sedikit waktu, ditambah usaha, untuk melewati masing-masing tahap demi tahap, dan sampai pada suatu kesimpulan. Terkadang dibutuhkan waktu terlalu lama, dan pada saat aku yakin, sudah terlambat. Tapi apa yang akan bisa dilakukan? Begitulah tipe orang sepertiku.

Saat berlari aku berkata pada diri sendiri untuk memikirkan sebuah sungai. Dan awan. Tapi intinya aku tidak memikirkan apa-apa. Semua yang kulakukan adalah terus berlari menuju kekosonganku yang nyaman, keheningan buatanku, nostalgia kesendirianku. Dan ini adalah sebuah hal yang sangat indah. Tidak peduli apa kata orang lain.

--

--

Muh. Syahrul Padli

A Science Teacher, Head of Penghayat Sumur Community and Digital-Creative worker. co-Founder YT Bawah Pohon Science (an alternative education platform).