Bagian Tiga Memoar Haruki Murakami
(Penerjemah: Muh. Syahrul Padli — versi 20% fix)
1 September 2005, Kauai, Hawaii
Athena di Midsummer-Running 26,2 Miles untuk Pertama Kalinya
Sabtu adalah hari terakhir bulan Agustus. Selama bulan itu (tiga puluh satu hari), aku berlari total 217 mil.
Juni 156 mil (36 mil per minggu)
Juli 186 mil (43 mil per minggu)
Agustus 217 mil (50 mil per minggu)
Tujuanku adalah maraton Kota New York pada 6 November. Aku harus melakukan beberapa penyesuaian sebagai persiapan; sejauh ini lancar. Aku memulai berlari lima bulan lebih awal dari hari H-nya, meningkatkan, secara bertahap, jarak yang kutempuh.
Cuaca di Kauai pada Agustus sangat menakjubkan, dan tidak pernah turun hujan. Ketika hujan, itu akan jadi siraman menyenangkan yang mendinginkan tubuhku yang terlalu panas. Cuaca di pantai utara Kauai umumnya bagus di musim panas, tapi jarang cuaca enak begini terus. Terimakasih untuk hal ini, aku bisa berlari sebanyak yang kumau. Aku merasa dalam keadaan baik, jadi meski aku sedikit demi sedikit menambah jarak yang kutempuh, tubuhku tidak mengeluh. Tiga bulan ini aku sudah bisa berlari tanpa rasa sakit, tanpa cedera, dan tanpa merasa terlalu lelah.
Musim panas yang kering juga tidak membuatku drop. Aku tidak melakukan apapun untuk menjaga energiku tetap di level teratas selama musim panas. Kurasa satu-satunya yang kulakukan secara khusus adalah mencoba untuk tidak terlalu banyak menenggak minuman dingin. Dan makan lebih banyak buah dan sayuran. Ketika menyoal makanan, Hawaii adalah tempat yang ideal bagiku untuk tinggal di musim panas karena aku dapat dengan mudah mendapatkan banyak buah segar — mangga, pepaya, alpukat — benar benar di seberang jalan. Aku bukan penggemar buah-buah itu, hanya untuk mencegah kehausan di musim panas, dan tubuhku secara alami sangat membutuhkan mereka. Menjadi aktif setiap hari membuatku lebih mudah untuk mendengar suara batinku.
Salah satu cara lain agar tetap sehat adalah dengan tidur siang. Aku benar-benar tidur siang. Biasanya aku mengantuk setelah makan siang, berbaring di sofa, dan tertidur. Tiga puluh menit kemudian aku terbangun. Begitu aku terbangun tubuhku tidak lamban dan pikiranku benar-benar jernih. Inilah yang mereka sebut tidur siang Eropa selatan. Kupikir aku belajar kebiasaan ini saat aku tinggal di Italia, tapi mungkin aku salah ingat, sejak dulu aku selalu suka tidur siang. Pokoknya, aku tipe orang yang, tiba-tiba mengantuk, bisa tertidur di mana saja. Pasti bakat yang bagus untuk dimiliki jika ingin tetap sehat, tapi masalahnya adalah aku terkadang tertidur lelap dalam situasi di mana seharusnya tidak tidur.
Aku sudah turun beberapa kilogram juga, dan wajahku tampak lebih kencang. Senang melihat tubuh berubah, meski perubahan tubuhku tidak terjadi secepat saat masih muda. Perubahan yang biasa memakan waktu satu setengah bulan sekarang memakan waktu tiga bulan. Penurunan yang sangat drastis, sangat tidak efisien secara proses, dan kira-kira adakah yang bisa kulakukan untuk mengatasinya? Aku hanya harus menerima itu, dan melakukannya apa yang bisa kulakukan. Itulah salah satu realitas kehidupan. Ditambah, aku tidak berpikir kita harus menilai nilai hidup kita dengan seberapa efisien olahraga-olahraga itu. Gym di dekat tempatku bekerja di Tokyo memiliki sebuah poster bertuliskan, “Otot sulit didapat dan mudah hilang. Lemak mudah didapat dan sulit dikalahkan. “Sebuah kenyataan yang menyakitkan, tapi semua kenyataan rasanya sama saja.
Bersama rutinitasku, Agustus melambaikan tangan (sepertinya benar-benar melambai), September berguling-guling, dan gaya pelatihanku telah mengalami transformasi lain. Dalam tiga bulan sampai sekarang sebenarnya aku mencoba untuk menambah jarak tempuh, tidak mengkhawatirkan apa pun, tapi terus meningkatkan kecepatanku dan berlari sampai batasku. Dan itu membantuku membangun kekuatan keseluruhan tubuhku: aku mendapat lebih banyak stamina, aku membentuk otot-ototku, mendorong diriku maju secara fisik dan mental. Tugas yang paling penting disini adalah membiarkan tubuhku tahu dengan jelas kalau berlari sekeras ini hanya sebagai latihan. Ketika aku katakan membiarkannya tahu dengan jelas aku berbicara secara kiasan, pastinya. Tidak peduli berapa banyak bisa memerintahkan tubuh untuk bekerja, jangan mengharapkannya segera patuh. Tubuh adalah sebuah sistem yang sangat praktis. Harus dibiarkan mengalami nyeri intermiten dari waktu ke waktu, dan kemudian tubuh akan mengerti maksudnya. Hasilnya, tubuhku dengan rela akan menerima (atau mungkin tidak) peningkatan latihan yang dilakukan. Setelah itu, secara bertahap meningkatkan batas terjauhdari latihan yang sering dilakukan. Melakukannya secara bertahap sangat penting agar tidak kelelahan fisik dan mental (burnout).
Sekarang September dan maratonnya tinggal dua bulan lagi, latihanku memasuki periode penyesuaian. Melalui olahraga modulasi — kadang panjang kadang pendek, kadang ringan, kadang berat — aku bertransisi dari latihan kuantitas ke latihan kualitas. Intinya adalah mencapai puncak kelelahan sekitar satu bulan sebelum maraton, jadi itu adalah masa kritis. Untuk membuat kemajuan, aku harus mendengarkan dengan sangat hati-hati sinyal dari tubuhku.
Pada Agustus aku bisa menetap di satu tempat, Kauai, dan kereta api, tapi pada bulan September aku akan melakukan beberapa perjalanan jauh, kembali ke Jepang dan kemudian dari Jepang ke Boston. Di Jepang aku akan sangat sibuk untuk fokus berlari seperti dulu. Meskipun aku harus bisa berkompromi agar tidak berlari seperti biasa, aku akan tetap membuat program pelatihan yang lebih efisien.
Aku lebih suka tidak membicarakan hal ini — aku lebih suka menyembunyikannya rapat-rapat — tapi terakhir kali aku berlari maraton penuh yang terjadi cukup mengerikan. Aku telah ikut banyak maraton, tapi tidak pernah satu pun berakhir seburuk itu.
Lomba ini berlangsung di Prefektur Chiba. Sampai sekitar seperdelapan belas mil aku berlari dikelilingi tempat yang cukup indah, dan aku yakin aku akan berlari dengan catatn waktu yang bagus. Aku punya banyak stamina yang tersisa, jadi aku yakin bisa menyelesaikan sisa lomba tanpa masalah. Tapi saat aku memikirkan hal itu, kedua kakiku tiba-tiba berhenti mengikuti perintah. Mereka mulai kram, dan itu sangat buruk sehingga aku tidak bisa berlari lagi. Aku mencoba meregangkannya, tapi bagian belakang pahaku tidak berhenti gemetar, dan akhirnya keram dengan kejang-kejang yang aneh. Aku bahkan tidak bisa berdiri, dan sebelum aku tahu itu aku melakukan squat (latihan menaikturunkan paha dengan tubuh tegak) di samping jalan. Aku punya kram di maraton lain, tapi selama peregangan sebentar, kira-kira lima menit ototku kembali normal dan aku kembali bisa berlari. Tapi sekarang tidak peduli berapa banyak waktu berlalu, keram tidak akan hilang. Pada satu titik aku pikir menjadi lebih baik dan aku mulai berlari. Sekali lagi, dengan pasti kram itu kembali. Jadi sejauh tiga mil terakhir aku harus berjalan. Ini pertama kali aku berjalan di maraton dan tidak berlari. Sampai saat itu aku menganggap capaianku sebagai sebuah kebanggaan bahwa seberapa sulitnya keadaanku aku tidak pernah berjalan. Sebuah maraton adalah kegiatan berlari, pastinya, bukan kegiatan berjalan. Tapi dalam maraton itu, bahkan berjalan pun menjadi masalah. Pikiran itu melintas dalam benakku beberapa kali kalau mungkin aku harus menyerah dan menumpang naik salah satu bus antar jemput peserta yang menyerah. Semakin lama akan menjadi lebih buruk, aku pikir, jadi mengapa tidak menyerah saja? Tapi menyerah adalah yang hal terakhir yang ingin kulakukan. Aku mungkin harus berkompromi dan berjalan pelan-pelan, tapi aku akan berhasil mencapai garis finish dengan tenagaku sendiri.
Pelari lain terus melewatiku, tapi aku terpincang-pincang, meringis kesakitan. Jam digitalku tanpa ampun terus berdetak. Angin bertiup dari laut, dan keringat di bajuku menjadi dingin dan terasa beku. Bagaimanapun ini adalah maraton musim dingin. Sebaiknya kau percaya dinginnya bertambah saat angin menerpamu dan kau berpakaian hanya dengan tank top dan celana pendek. Tubuh menghangat sama seperti saat berlari, dantidak merasa kedinginan; Aku terkejut dengan betapa dinginnya tubuhku begitu aku berhenti berlari. Tapi apa yang kurasakan jauh lebih banyak daripada dingin yang melukai kebanggaan, dan betapa menyedihkan diriku kelihatannya yang terhuyung-huyung menuruni jalur maraton. Kira-kira satu mil dari garis finish kramku akhirnya berhenti dan aku bisa berlari lagi. Aku perlahan-lahan berlari sebentar sampai aku kembali melaju dengan kecepatan biasa, lalu mempercepat bagian akhir semampuku. Catatan waktuku, begitulah, seperti yang diperkirakan.
Ada tiga alasan aku gagal. Tidak cukup latihan. Tidak cukup latihan. Dan tidak cukup latihan. Itu saja. Latihanku tidak cuktp secara keseluruhan, dan berat badanku tidak turun. Tanpa memahami itu, aku telah mengembangkan semacam sikap sombong, yakin kalau hanya latihan dengan tingkat yang lumayan sudah cukup bagiku untuk mendapat hasil yang baik. Tipis sekali dinding yang memisahkan kepercayaan diri yang sehat dengan kebanggaan yang tidak sehat. Ketika aku masih muda, mungkin hanya sejumlah pelatihan sedang sudah cukup bagiku untuk berlari maraton. Tanpa melatih diri terlalu keras dalam latihan, aku bisa berharap dengan yakin kalau daya tahan yang telah kulatih untuk datang dan membantuku. Sayangnya, aku tidak lagi muda. Aku sampai ke usia di mana benar-benar hanya mendapatkan apa yang diusahakan.
Saat berlari di maraton ini, aku merasa tidak akan pernah berlari dengan keadaan mengecewakan seperti itu lagi. Sedikit saja mendinginkan tubuh dan aku akan rasakan kesedihan itu lagi? Tidak, aku akan melewatinya. Saat itu juga aku memutuskan sebelum maraton berikutnya aku akan mulai dari awal, mulai dari hal-hal kecil, dan lakukan yang terbaik yang aku bisa. Berlatih dengan giat dan temukan kembali apa yang aku mampu secara fisik. Kencangkan semua sekrup longgar, satu per satu. Lakukan semua itu dan lihat apa yang terjadi. Inilah yang kupikirkan saat aku menyeret kakiku yang keram melewati angin yang membeku, satu persatu pelari melewatiku.
Seperti yang sudah kukatakan, aku bukan tipe orang yang sangat kompetitif. Sampai batas tertentu, aku pikir, terkadang sulit menghindari kekalahan. Tidak ada yang akan menang sepanjang waktu. Di jalan raya kehidupan kita tidak bisa selalu berada di jalur cepat. Meski begitu, aku tentu saja tidak ingin terus melakukan kesalahan yang sama lagi dan lagi. Belajar yang terbaik dari kesalahanku dan mempraktikkan pelajaran itu di kesempatan lain. Itu akan kulakukan ketika aku masih memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Ini mungkin alasan mengapa, sementara aku berlatih untuk maraton berikutnya — Marathon Kota New York — aku juga menulis tulisan ini. Sedikit demi sedikit aku mengingat hal-hal yang terjadi saat aku memulai berlari lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Memutar ulang ingatanku, membaca kembali jurnal sederhana yang kubuat (aku tidak pernah bisa menyimpan catatan harian biasa untuk waktu yang lama, tapi aku terus menulis catatan berlariku) dan mengolahnya menjadi bentuk esai, membantuku mempertimbangkan jalan yang telah kuambil dan menemukan kembali perasaanku saat itu. Yang kedua, aku melakukan ini untuk menegur dan mendorong diriku sendiri. Ini juga dimaksudkan sebagai alarm motivasi yang, di suatu masa, tertidur. Aku menulis, dengan kata lain, untuk menempatkan pikiranku sebagai beberapa perintah. Dan dalam refleksi — dalam kesimpulan akhir itu selalu sebagai refleksi — ini mungkin sangat baik berakhir semacam memoar yang berpusat pada berlari.
Ini tidak berarti kalau apa yang menguasaiku saat ini adalah keinginan menulis sejarah pribadi. Aku jauh lebih peduli dengan pertanyaan praktis bagaimana aku bisa menyelesaikan Marathon Kota New York dua bulan dari sekarang, dengan catatan waktu tempuh setengah jarak total yang bagus. Tugas utamaku sekarang adalah bagaimana aku bisa berlatih untuk mencapainya.
Pada 25 Agustus majalah AS Runner’s World datang untuk melakukan pemotretan kepadaku. Kameramen muda bernama Greg terbang dari California dan menghabiskan hari memotretku. Dengan antusias dia membawa truk berisi peralatan dengan pesawat sampai ke Kauai. Majalah itu telah mewawancaraiku sebelumnya, dan foto itu untuk melengkapi wawancara tersebut. Tampaknya tidak banyak novelis yang mengikuti maraton (ada beberapa, tentu saja, tapi tidak banyak), dan majalah itu tertarik pada hidupku sebagai “Novelis Pelari”. Runner’s World adalah majalah yang sangat populer di kalangan pelari Amerika, jadi aku membayangkan banyak pelari akan menyapaku saat berada di New York. Itu membuatku bahkan lebih tegang lagi, berpikir kalau sebaiknya aku tidak melakukan sesuatu yang buruk dalam maraton.
Mari kita kembali ke tahun 1983. Era nostalgia sekarang, kembali saat Duran Duran dan Hall dan Oates ngetop dengan lagu-lagu hits-nya.
Pada bulan Juli tahun itu aku pergi ke Yunani dan berlari sendiri dari Athena ke kota Marathon. Itu arah yang berlawanan dengan rute pembawa pesan asli (dalam mitologi Yunani) yang menjadi asal-sul Marathon dan pergi ke Athena. Aku memutuskan untuk berlari sebaliknya karena aku pikir bisa mulai pagi-pagi sekali dari Athena, sebelum jam sibuk (dan sebelum udara menjadi terlalu tercemar), meninggalkan kota, dan langsung menuju arena Marathon, yang akan membantuku menghindari lalu lintas. Ini bukan lomba resmi dan aku menjalankan semuanya sendirian, jadi tentu saja aku tidak bisa mengandalkan siapa pun untuk mengalihkan rute kendaraan hanya untukku.
Mengapa aku pergi jauh-jauh ke Yunani dan berlari sejauh dua puluh enam mil? Aku pernah ditawarkan oleh seorang pria dari majalah untuk pergi ke Yunani untuk menulis tentang perjalanan. Itu resmi diajukan oleh majalah perjalanan, disponsori oleh Dewan Pariwisata pemerintah Yunani. Banyak majalah lain juga mensponsori tur ini, termasuk kunjungan turis yang khas untuk melihat reruntuhan, kapal pesiar di Laut Aegea, dll., tapi begitu selesai aku punya tiket khusus dan bisa tinggal selama yang kuinginkan dan melakukan apa pun yang kusenangi. Paket tur semacam itu tidak menarik minatku, tapi aku menyukai gagasan untuk menjadi diriku sendiri saja. Yunani adalah tempat latihan maraton yang asli (karena maraton pertama kali dilakukan di Yunani ribuan tahun lalu — penerjemah), dan aku sangat ingin melihatnya dengan mataku sendiri. Kupikir aku harus bisa berlari sendiri di sana meskipun cuma sebagian jalur saja. Untuk pelari pemula sepertiku, ini pasti akan menjadi pengalaman yang menggairahkan.
Tunggu sebentar, pikirku. Mengapa hanya satu bagian saja? Mengapa tidak seluruhnya?
Ketika aku menyarankan hal ini kepada editor majalah tersebut, mereka menyukai gagasan tersebut. Jadi akhirnya aku menjalankan maraton penuh pertama (atau sesuatu yang dekat dengannya) dengan tenang, sendirian. Tidak ada banyak orang, tidak ada pemotret di akhir garis, tidak ada sorakan hangat dari orang-orang di sepanjang jalan. Tidak ada semua itu. Tapi tidak apa-apa, karena ini adalah latihan maraton yang asli. Mau minta apa lagi?
Sebenarnya, jika lari langsung dari Athena ke Marathon, itu bukan jarak tempuh maraton kebanyakan, yang berada di 26,2 mil. Sekitar satu mil lebih pendek. Aku baru tahu tentang itu bertahun-tahun kemudian ketika aku berlari dalam lomba resmi yang mengikuti jalur asli, dimulai di Marathon dan berakhir di Athena. Mereka yang menyaksikan siaran TV maraton di Olimpiade Athena sadar, setelah kejadian tersebut pelari meninggalkan Marathon, pada satu titik mereka pergi di sisi jalan ke kiri, berlari melewati sedikit reruntuhan agung, lalu kembali ke jalan utama. Begitulah cara mereka membuat jarak ekstra. Pada saat itu, aku tidak menyadari hal ini, dan mendapat kesan kalau langsung berlari Athena ke Marathon akan menjadi 26,2 mil penuh. Sebenarnya itu baru 25 mil. Tapi di Athena dengan sendirinya aku mengambil beberapa jalan memutar, dan karena odometer di van yang menyertaiku menunjukkan dua puluh enam mil, kurasa aku berlari dengan cukup dekat dengan jarak maraton penuh. Itu sangat penting akhirnya.
Saat itu tengah musim panas di Athena saat aku berlari. Seperti seluruh penduduk di sana tahu, panasnya bisa luar biasa. Penduduk setempat, kecuali mereka tidak bisa menahannya, tidak keluar sore. Mereka tidak beraktivitas, tetap tenang di tempat teduh untuk beristirahat. Hanya sekali matahari terbenam yang disaksikan para turis. Hanya beberapa orang yang bisa terlihat berjalan di luar pada suatu sore musim panas di Yunani dan kebanyakan adalah turis. Bahkan anjing pun berbaring di tempat teduh dan tidak bergerak. Kita harus melihat mereka dalam waktu lama sebelum bisa mengetahui apakah anjing-anjing itu masih hidup. Begitulah sangking panasnya. Berlari dua puluh-enam mil di panas seperti itu singkatnya adalah kegilaan.
Ketika aku memberi tahu orang Yunani rencanaku untuk lari sendiri dari Athena ke Marathon, mereka semua mengatakan hal yang sama: “Itu gila. Tidak ada orang waras yang pernah memikirkannya.” Sebelum aku datang, aku tidak tahu bagaimana musim panas yang ganas di Athena, jadi aku cukup santai tentang hal itu. Yang harus aku lakukan adalah berlari dua puluh enam mil, kupikir, dan sesuatu yang mengkhawatirkan hanyalah jarak. Suhu tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Begitu aku sampai di Athena, panasnya sangat ganas sehingga mulai membuatku gugup. Mereka benar, pikirku. Kamu pastilah gila jikai ngin melakukannya. Meski begitu, aku telah membuat isyarat meyakinkan ini, berjanji akan menjalankan maraton asli dan menulis artikel tentang itu, dan aku telah terbang sampai ke Yunani untuk mencapainya. Aku tidak bisa mundur sekarang. Aku memutar otak untuk mengemukakan gagasan tentang bagaimana cara tidak dehidrasi gegara panas yang meyengat, dan akhirnya aku dapat ide untuk meninggalkan Athena pada pagi hari, saat itu masih gelap, dan mencapai Maraton sebelum matahari tinggi. Semakin lama aku memulai, semakin panas menyengat nantinya. Persis seperti cerita “Run, Melos!,” tentang sebuah kompetisi untuk berlari lebih cepat melarikan diri dari matahari.
Fotografer dari majalah tersebut, Masao Kageyama, akan mengendarai mobil bersama van itu menemaniku. Dia akan memotret dari atas mobil. Itu bukan maraton sebenarnya, dan memang tidak ada stasiun air, jadi kadang-kadang aku berhenti untuk mengambil air dari van. Musim panas Yunani benar-benar ganas, dan aku tahu aku harus berhati-hati agar tidak mengalami dehidrasi.
“Tuan Murakami,” kata Pak Kageyama, terkejut saat melihat aku bersiap untuk berlari, “Kau tidak benar-benar berpikir untuk melewati seluruh rute, kan?”
“Tentu saja aku akan melakukannya. Karena itulah aku datang ke sini.”
“Yakin? Tapi ketika kami melakukan project semacam ini kebanyakan orang tidak berlari jauh. Kami hanya mengambil beberapa foto, dan kebanyakan dari mereka tidak menyelesaikan keseluruhan rute. Jadi kau benar-benar akan menempuh seluruhnya?”
Terkadang dunia membuatku bingung. Aku tidak percaya kalau orang benar-benar akan melakukan hal seperti itu.
Bagaimanapun, aku memulai perjalananku pada pukul lima tiga puluh pagi di stadion yang kemudian digunakan di Olimpiade Athena tahun 2004, dan berangkat ke Marathon. Hanya ada satu jalan raya utama. Sekali kamu lari di sepanjang jalan di Yunani Kau akan mengerti, tapi mereka diaspal berbeda. Alih-alih kerikil, mereka mencampur bubuk marmer, yang membuat jalan berkilau di bawah sinar matahari dan cukup licin. Saat hujan kau harus sangat berhati-hati. Bahkan saat tidak hujan telapak sepatumu membuat suara melengking, dan kakimu bisa merasakan betapa mulusnya permukaan jalan.
Berikut ini adalah bentuk singkat dari artikel yang aku tulis untuk majalah yang meliput lari Athens-Marathon yang kulakukan.
Matahari naik lebih tinggi dan lebih tinggi. Jalan di dalam batas kota Athena sangat sulit untuk dilalui. Jaraknya kira-kira tiga mil dari stadion ke pintu masuk jalan tol, dan terlalu banyak lampu jalan di sepanjang jalan, yang mengacaukan langkahku. Ada juga banyak tempat konstruksi dan mobil dengan jejeran mobil terparkir menghalangi jalan, dan aku harus melangkah keluar ke tengah jalan. Dengan mobil-mobil yang meluncur di sekitar pagi-pagi, berlari di sini bisa berbahaya.
Matahari mulai muncul tepat saat memasuki Marathon Avenue, dan lampu jalan semuanya padam sekaligus. Waktu ketika matahari musim panas terbenam di atas bumi dengan cepat mendekat. Orang sudah mulai muncul di halte bus Orang Yunani tidur siang di siang hari, jadi mereka cenderung bekerja pagi-pagi sekali. Mereka semua menatapku dengan rasa ingin tahu. Tidak bisa kubayangkan banyak dari mereka pernah melihat orang oriental yang berlari di jalan menurun di subuh hari di Athena sebelumnya. Athena bukan jenis kota dengan banyak orang yang mulai berlari di subuh hari.
Empat mil berlari aku menanggalkan kemeja lariku dan telanjang dari pinggang ke atas. Aku selalu lari tanpa kbaju, jadi rasanya enak untuk melepasnya (meski kemudian aku akan mati dengan sengatan matahari yang mengerikan). Sampai mil kedelapan aku berlari menanjak secara bertahap. Hampir tidak menghirup udara. Saat aku sampai di puncak kemiringan rasanya aku baru saja meninggalkan kota. Aku lega, tapi pada saat bersamaan inilah di mana Trotoar lenyap, hanya diganti dengan garis putih yang dicat di sepanjang jalan, menandai jalur sempit. Jam sibuk sudah dimulai, dan jumlah mobil telah meningkat. Bus besar dan truk mendesing tepat di sampingku, melaju dengan kecepatan sekitar lima puluh mil per jam. Kau mendapatkan rasa samar-samar pada sejarah ketika melewati jalan bernama Marathon Avenue, tapi pada dasarnya jalan itu hanya jalan raya komuter biasa.
Pada titik inilah aku menemukan anjing mati pertama. Seekor anjing coklat besar. Aku tidak melihat cedera luar apa pun. Hanya berbaring di tengah jalan. Kupikir ini anjing nyasar yang tertabrak mobil yang melaju kencang di tengah malam. Tubuhnya masih terlihat hangat, jadi sepertinya tidak mati. Lebih seperti hanya tidur saja. Pengemudi truk yang melesat melewatinya tidak meliriknya.
Sedikit lebih jauh lagi, aku berlari melintasi seekor kucing yang dilindas oleh mobil. Kucing itu benar-benar rata, seperti beberapa pizza yang terpotong aneh, dan mengering. Kejadian itu pasti berlangsung sudah cukup lama.
Itulah jenis jalan yang sedang aku bicarakan.
Pada titik ini aku benar-benar mulai bertanya-tanya mengapa, setelah terbang jauh-jauh dari Tokyo sampai ke negara indah ini, aku harus menuruni jalan komuter suram ini. Pasti ada hal lain yang bisa aku lakukan. Jasad yang terhitung dari semua hewan malang yang kehilangan nyawa mereka di Marathon Avenue adalah, pada hari ini, tiga ekor anjing dan sebelas kucing. Aku menghitung semuanya, yang agak suram untuk dilihat.
Aku terus berlari. Matahari sudah terbit, dan dengan kecepatan yang luar biasa semakin tinggi di langit. Aku sangat kehausan, tidak punya waktu untuk berkeringat, karena udara sangat kering sehingga keringat segera menguap, meninggalkan lapisan garam putih. Tampak ada butiran keringat, tapi di sini keringat lenyap bahkan sebelum bisa membentuk tetesan. Seluruh tubuhku mulai pedih karena residu asin keringat. Saat aku menjilat bibirku rasanya seperti pasta ikan teri. Aku mulai bermimpi tentang bir dingin, yang sangat dingin dan meredakan panas. Tidak ada bir di sekitar sini, begitulah, jadi aku mengakalinya dengan meminta minum dari editor di van setiap tiga mil atau lebih. Aku tidak pernah minum air begitu banyak saat berlari.
Aku merasa cukup baik. Banyak energi tersisa. Aku hanya memakai sekitar 70 persen kapasitas fisikku, tapi aku mengatur kecepatan dengan baik. Ternyata jalannya menanjak, lalu menurun. Ketika aku menuju ke tanah yang menghadap ke laut, jalannya, secara keseluruhan, sedikit menurun. Aku meninggalkan kota, lalu ke pinggiran kota, dan secara bertahap memasuki desa. Saat melewati desa kecil Nea Makri, orang-orang tua duduk di sebuah kafe outdoor yang menghirup kopi pagi dari cangkir mungil diam-diam mengawasiku saat aku lewat seperti menyaksikan pemandangan dari sejarah daerah terpencil.
Di sekitar tujuh belas mil ada lereng, dan sekali lagi aku melihat sekilas bukit-bukit Marathon. Kupikir aku sekitar dua pertiga akhir. Aku menghitung mundur waktu di kepalaku dan menganggap kalau pada tingkat ini aku harus bisa menyelesaikannya dalam tiga setengah jam. Tapi semuanya tidak berjalan dengan baik. Setelah aku melewati sembilan belas mil, angin laut mulai bertiup, dan semakin dekat aku ke Marathon semakin kencang terpaannya. Angin begitu kuat sehingga menyengat kulitku. Rasanya seperti jika aku terlalu santai aku akan terdorong mundur. Aroma laut yang asin menerpa saat menanjak. Hanya ada satu jalan menuju Marathon, dan lurus seperti penggaris. Inilah saatnya aku mulai merasa benar-benar kelelahan. Tidak peduli berapa banyak air yang aku minum, beberapa menit kemudian aku haus lagi. Minum bir dingin yang menyegarkan pasti akan luar biasa.
Tidak — lupakan soal bir. Dan lupakan matahari. Lupakan angin. Lupakan artikel yang harus kutulis. Hanya fokus menggerakkan kakiku ke depan, satu demi satu. Itulah satu-satunya hal penting.
Aku melewati dua puluh dua mil. Aku tidak pernah berlari lebih dari dua puluh dua mil, jadi ini terra incognita (tanah tak dikenal, sesuatu yang ada di luar prediksiku — penerjemah). Di bagian kiriku adalah bentangan pegunungan yang tandus dan gersang. Kenapa bisa begitu yah? Di sebelah kanan, sebuah deretan kebun zaitun yang tak ada habisnya. Semuanya tampak tertutup lapisan debu putih. Dan angin kencang dari laut tidak pernah berhenti. Ada apa dengan angin ini? Mengapa harus bertiup kencang?
Sekitar dua puluh tiga mil aku mulai membenci segalanya. Sudah cukup! Energiku telah terkuras habis, dan aku tidak mau lari lagi. Aku merasa seperti sedang mengendarai mobil kehabisan bensin. Aku butuh minum, tapi kalau aku berhenti di sini untuk minum air, kurasa aku tidak bisa berlari lagi. Aku sangat kehausan tapi bahkan sudah kekurangan tenaga untuk minum air lagi. Saat pikiran-pikiran itu melintas dalam benakku, aku mulai sedikit demi sedikit menjadi marah. Marah pada domba yang dengan senang mengunyah rumput di tempat kosong di samping jalan, marah pada fotografer yang memotret foto dari dalam van. Suara jepretan kamera menempel di sarafku. Siapa yang perlu domba sebanyak ini? Tapi menjempret adalah pekerjaan fotografer, sama seperti mengunyah rumput adalah pekerjaan domba, jadi aku tidak punya hak untuk menghalanginya. Tetap saja, semuanya benar-benar menggangguku tanpa henti. Kulitku mulai melepuh karena panas. Ini mulai menggelikan. Ada apa dengan panas ini sih?
Aku melewati tanda dua puluh lima mil.
“Satu mil lagi. Tunggu di sana! “Editor memanggil dengan riang dari van. Aku ingin menyahut, mudah saja bagimu bilang begitu, tapi aku urungkan. Matahari di langit cerah sangat terik. Baru pukul sembilan pagi, tapi aku merasa sedang dalam oven. Keringat turun ke mataku. Residu garamnya membuat mataku perih, dan untuk sementara aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku menyeka keringat dengan tanganku, tapi tangan dan wajahku juga asin, dan itu membuat mataku semakin perih.
Di balik rumput musim panas yang tinggi aku bisa melihat garis finish, monumen Marathon di pintu masuk ke desa dengan nama yang sama. Garis finish tampak begitu tiba-tiba yang pada awalnya aku tidak yakin apakah itu benar-benar garis finish. Aku senang melihat garis akhir, tidak ada pertanyaan tentang hal itu, tapi tiba-tiba hal itu membuatku marah karena beberapa alasan. Karena ini adalah langkah terakhir dari lari, aku ingin melakukan usaha terakhir yang putus asa untuk dilakukan secepat mungkin, tapi kakiku memiliki pikiran mereka sendiri. Aku sudah lupa bagaimana cara memindahkan tubuhku. Semua ototku terasa seperti dicukur dengan pisau berkarat.
Garis finish.
Akhirnya aku sampai di akhir. Anehnya, aku tidak memiliki perasaan bangga. Satu-satunya hal yang aku rasakan adalah perasaan lega karena tidak harus lari lagi. Aku menggunakan keran di pompa bensin untuk mendinginkan badanku yang terlalu panas dan membersihkan garam yang menempel di tubuhku. Aku tertutupi dengan garam, ladang garam manusia yang sesungguhnya. Ketika seorang pria tua di pompa bensin mendengar apa yang telah aku lakukan, dia mengambil beberapa bunga dari tanaman pot dan memberikan aku buket. Kau melakukannya dengan baik, dia tersenyum. Selamat. Aku merasa sangat bersyukur dengan sedikit sikap baik ini dari orang asing. Marathon adalah sebuah desa kecil yang ramah, sepi dan tenang dan damai. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana di sinilah, beberapa ribu tahun yang lalu, orang Yunani mengalahkan tentara Persia yang menginvasi dari pantai dalam pertempuran yang mengerikan. Aku duduk di sebuah kafe di desa dan meneguk dinginnya bir Amstel. Rasanya luar biasa, tapi tidak sebagus bir yang aku bayangkan saat berlari. Tidak ada sesuatu di dunia nyata yang seindah ilusi seseorang yang hampir hilang kesadaran. Berlari dari Athena ke Marathon memerlukan tiga jam lima puluh satu menit. Itu bukan catatan waktu yang terlalu bagus, tapi setidak-tidaknya aku bisa menyelesaikan keseluruhannya sendiri, ditemani kemacetan, panas yang tak terbayangkan, dan kehausan yang mengerikan. Kurasa aku harus bangga dengan apa yang telah kulakukan, tapi sekarang aku tidak peduli. Yang membuatku bahagia saat ini adalah mengetahui kalau aku tidak harus berlari lagi.
Wah! — Aku tidak perlu lari lagi.
Ini adalah pengalaman pertama aku yang berlari (hampir) dua puluh enam mil. Dan, yang menyenangkan, ini terakhir kalinya aku harus berlari sejauh dua puluh enam mil dalam kondisi yang sangat melelahkan. Pada bulan Desember tahun yang sama aku berlari Marathon Honolulu dengan catatan waktu yang cukup lumayan. Hawaii panas sekali, tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Athena. Jadi Honolulu adalah maraton penuh resmi pertama yang kuselesaikan. Sejak saat itu sudah aku praktekkan untuk menyelesaikan satu penuh maraton dalam setahun.
Saat membaca ulang artikel yang aku tulis pada saat itu di Yunani, aku mendapati kalau setelah dua puluh-lebih sedikit, dan begitu banyak maraton berikutnya, perasaan yang aku miliki saat berlari sejauh dua puluh enam mil adalah sama seperti saat itu. Bahkan sekarang, setiap kali aku mengikuti maraton, pikiranku berjalan melalui proses yang sama persis. Menuju sembilan belas mil, aku yakin bisa berlari dengan baik, tapi sejauh dua puluh dua mil aku kehabisan tenaga dan mulai kesal dalam segala hal. Dan pada akhirnya aku merasa seperti mobil yang kehabisan bensin. Tapi setelah aku selesai dan beberapa waktu berlalu, aku lupa semua rasa sakit dan kesengsaraan dan aku sudah merencanakan bagaimana aku bisa berlari dengan catatan waktu yang lebih baik di balapan berikutnya. Lucunya, tidak peduli berapa banyak pengalaman yang telah kulalui, tidak peduli berapa umurku, semua hanya pengulangan apa yang terjadi sebelumnya.
Aku pikir beberapa jenis proses tidak memungkinkan variasi apapun. Jika harus menjadi bagian dari proses itu, yang bisa dilakukan hanyalah mengubah — atau mungkin mendistorsi — dirimu melalui pengulangan terus-menerus, dan membuat proses itu menjadi bagian dari kepribadianmu sendiri.
Wah!