Betapa Menyakitkannya Gagal di Jalan yang Dipilih Sendiri
(Muh. Syahrul Padli)
Saya dilahirkan di keluarga besar yang kebanyakan adalah abdi negara dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Almarhum kakek saya dari garis ibu dulunya adalah polisi, paman saya banyak yang jadi polisi, tante saya banyak jadi guru dan bapak saya sendiri adalah guru yang diberi amanah sebagai kepala sekolah.
Dalam tradisi keluarga macam ini, jadi abdi negara atau PNS sudah menjadi cetak biru dalam alam bawah sadar orangtua saya. Tidak hanya bagi orangtua saya, profesi ini punya tempat istimewa bagi sebagian besar anggota keluarga besar sampai-sampai muncul konsensus bahwa PNS dan abdi negara adalah profesi ideal.
Pada masa sebelum terjun ke dunia kerja, seperti banyak anak muda yang baru lulus dan begitu tergila-gila dengan konsep kebebasan, saya juga ingin banting setir dan memberontak. Saya mau berbeda dari leluhur saya, dari pendahulu saya. Saya ingin jadi CEO Startup atau pendiri perusahaan sendiri atau kerja di agensi kreatif atau jadi barista, musisi, youtuber, desainer grafis, layouter (penata letak), penulis platform digital, freelancer, editor atau pekerjaan lain yang dianggap keren oleh generasi saya; yang jauh dari kesan oldiest (generasi tua).
Saya tak melihat keadaan sekitar dan tak melihat kedalam diri sendiri. Pokoknya, saya hanya mengikuti kata-kata mutiara para milenial sukses: follow your passion, you can do it whatever your dreams as long as you never stop, think big dan semacamnya. Saya menganggap kalau mereka bisa, saya pun pasti bisa.
Kemudian, tanpa saringan, konsep tentang harapan, mimpi masa depan yang cerah yang dijejalkan orang-orang di luar sana lewat seminar motivasi dan buku-buku biografi tokoh memenuhi kepala dan jiwa saja, membuat saya merasa punya pilihan.
Saya lalu mencoba mengikuti rambu-rambu untuk mewujudkan pilihan hidup yang ingin saya jalani. Saya merasa alangkah indahnya jika saya berjalan di jalur yang memang ingin saya lalui, bukan jalur yang ditunjukkan buku panduan atau instruktur di dalam keluarga saya.
Jreng jreng jreng,yang terjadi adalah ini: saya gagal di jalur yang saya pilih. Kegagalan yang sangat menyebalkan karena saya tak bisa menyalahkan orang lain atau mencari pembenaran. Yang salah adalah diri saya sendiri. Yang gagal adalah diri saya sendiri dan kegagalan ini bersumber dari keputusan dan rangkaian sebab-akibatnya yang menjadi konsekuensinya.
Itu sangat menyakitkan. Rasanya tak bisa saya deskripsikan saking perihnya. Efeknya sangat luar biasa sampai-sampai menghadiahi saya gangguan kecemasan dan serangan panik yang mengharuskan saya melakukan terapi mandiri.
Barangkali, efeknya tak akan sebesar itu andai saya gagal di jalur yang dipilihkan orangtua saya atau di jalur yang diinginkan lingkungan sosial di mana saya berada.
Gagal di jalur yang dipilihkan orangtua saya bisa saya maknai sebagai bakti, sebagai upaya saya membantu orangtua saya meraih citra sebagai orangtua sukses dalam keluarga besar dan masyarakat. Tapi gagal dengan pilihan sendiri, di jalan yang saya pilih sendiri dengan sadar tanpa tekanan adalah sesuatu yang bisa bermakna ganda: buta kapasitas diri atau ganjaran karena tak mau mendengar nasihat orangtua.
Banyak orang sukses memberi seminar motivasi agar Anda berjuang mewujudkan impian sendiri, bukan mewujudkan mimpi orangtua Anda. Sangat menyenangkan kedengarannya. Tapi begitulah cara kerja iklan. Di antara ribuan yang gagal, ada lima yang berhasil. Lima itulah yang disorot karena berbeda dan menarik bagi kebanyakan orang. Bisa dijual. Bisa mendatangkan cuan. Saya tahu ini karena saya jurnalis dan pernah bertahun-tahun bekerja pada banyak project iklan di beberapa agensi kreatif.
Yang gagal terlihat biasa saja karena begitulah dunia ini bekerja bagi sebagian besar orang. Sayangnya Anda dan saya, mungkin, belum punya kapasitas untuk sampai ke deretan orang di puncak atau orang yang berhasil bertahan.
Orang-orang di puncak itu pasti punya salah satu dari beberapa privilese berikut: orangtua kaya dan punya banyak kenalan, mereka dibekali mental kuat, jago bersosialiasi dan jaga koneksi, keras kepala, keberuntungan, kecakapan melihat peluang dan mengambilnya dll.
Dulu, sebelum berjuang melalui jalan yang saya pilih sendiri di jalur industri kreatif, saya tak sadar kalau saya belum punya salah satu dari privilese itu.
Saya pernah bekerja untuk sebuah agensi. Saya jadi seorang copywriter yang menulis bahan iklan dalam bentuk script video dan artikel. Saya juga merangkap jadi perencana pemasaran untuk klien yang produk atau jasanya ingin diluaskan jangkauannya di media sosial atau platfrom digital lain.
Pekerjaan itu saya lakoni dengan harapan bisa mencapai puncak dan mapan untuk menjalankan agensi sendiri. Nanti setelah mencapai semua itu baru saya akan menikah dan masuk kedalam struktur masyarakat. Sayangnya, saya gagal bertahan karena sumur kreativitas saya habis digondol perasaan takut digeser copywriter lain yang idenya lebih segar. Alih-alih mencari nilai kebaruan dan mengembangkan skill, saya malah terjebak dalam kekhawatiran tak beralasan.
Saya kemudian beralih ke jalur jurnalistik. Berbekal pengalaman menulis dan koneksi orang dalam, saya diterima di kantor berita ternama di Indonesia. Saya ditugaskan sebagai jurnalis online daerah, kontributor koran cetak, bagian pemasaran iklan dan sesekali jadi freelance journalist/content writer untuk beberapa media lain.
Bukannya tanpa capaian, saya justru menjadi tumpuan kantor dan jadi top writers. Lalu beban yang bertambah dan ritme kerja yang tak ada jeda menyulap fisik dan mental saya jadi rapuh. Saya kena burnout. Saya juga pernah beberapa kali hampir mengakhiri hidup karena tak tahan dengan perasaan kesendirian akut akibat tanggungjawab yang menyita seluruh waktu.
Lagi dan lagi, dengan penuh pertimbangan saya memutuskan berhenti. Kantor sebenarnya meminta saya memikirkan ulang keputusan itu. Namun gangguan kecemasan dan panik yang tak bisa saya atasi membuat saya yakin kalau bertahan hanya akan merugikan kantor. Saya tak mau kinerja buruk saya berimbas pada banyak hal lain.
Intinya adalah, saya gagal dalam bidang yang sebenarnya saya cintai dengan sepenuh jiwa. Andai saya sadar lebih dulu, maka saya akan ikut tes CPNS dengan serius; bukannya ikut tes CPNS dengan konsentrasi yang terbagi. Saya tak menyadari kalau saya punya privilese (hak istimewa) sebagai anak yang tumbuh dengan didikan orangtua PNS sehingga saya akan punya banyak masukan dari para anggota keluarga besar saya yang dengan senang hati akan membantu saya. Bahkan, dengan menunjukkan keseriusan kepada mereka, gagal jadi PNS pun saya akan tetap mendapat apresiasi dan dorongan dari keluarga; setidaknya mereka akan menghargai upaya saya.
Tapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Berkat kegagalan-kegagalan yang telah saya alami, saya mengenal diri sendiri dan sampai pada pikiran bahwa kebebasan, harapan dan mimpi mungkin seperti obat. Untuk beberapa orang, tiga hal itu dengan dosis tinggi bisa menyembuhkan mereka. Tapi bagi beberapa orang lain, tiga hal itu dengan dosis yang sama justru membahayakan.
Pada akhirnya, jika kita belum punya privilese bahkan sekadar berupa mental kuat atau keberuntungan, mungkin kita hanya perlu menjalani kehidupan yang kita punya saja. Cukup menganggap bahwa tak ada pilihan lain selain berusaha sebaik-baiknya dan biarkan Tuhan yang menentukan ujungnya. Untuk sekarang, saya hanya perlu bertahan. Apa pun yang terjadi, termasuk gagal dalam segala hal, itu bukanlah masalah selama saya bisa menikmati hidup yang singkat ini bersama keluarga, orang terdekat serta jambu biji dan jambu air di depan rumah.