Boston, Dari Salah Satu Warga Dunia yang Menyebut Dirinya Seorang Pelari

Muh. Syahrul Padli
5 min readJun 18, 2020

--

(Penerjemah: Muh. Syahrul Padli)

image source: https://hips.hearstapps.com/

Dalam tiga puluh tahun terakhir, saya telah berlari penuh di tiga puluh tiga maraton. Saya pernah mengikuti maraton di seluruh dunia, tapi setiap kali ada orang bertanya mana yang saya favoritkan, saya tidak pernah ragu menjawab: Marathon Boston, yang telah enam kali saya ikuti. Apa luar biasanya maraton Boston? Sederhana saja: maraton Boston adalah salah satu maraton tertua; pemandangan di sekitar lintasan larinya cukup indah; dan — yang paling penting — segala sesuatu tentang perlombaan ini alami, bebas. Marathon Boston bukan tipe perlombaan top-down (keputusan-keputusan yang menyangkut jalannya lomba — termasuk pilihan lintasan, tantangan-tantangan — dirancang oleh beberapa orang yang punya otoritas) tapi bottom-up (keseluruhan lomba dirancang oleh banyak orang yang tergolong masyarakat biasa); maraton Boston selalu dirancang dengan serius oleh warga Boston sendiri dalam rentang waktu yang cukup lama. Setiap kali saya ikut berpartisipasi, perasaan orang-orang yang merancangnya selama bertahun-tahun seolah-olah dipajang untuk dihargai oleh semua orang, dan saya seperti dibungkus cahaya hangat, sebuah perasaan ingin kembali ke tempat yang saya rindukan. Ajaib. Maraton lain juga menakjubkan — Marathon Kota New York, Marathon Honolulu, Marathon Athena. Boston, pastinya (tanpa mengurangi rasa hormat kepada penyelenggara maraton-maraton lainnya), memiliki keunikan sendiri.

Yang menarik dari maraton pada umumnya adalah kurangnya persaingan. Bagi pelari kelas dunia, mereka bisa saling bertanding dengan sengit, tentu saja. Tapi untuk pelari seperti saya (dan saya membayangkan ini benar juga untuk sebagian besar pelari-pelari lainnya), seorang pelari biasa yang waktunya tidak istimewa, sebuah maraton tidak pernah menjadi sebuah kompetisi. Kau memasuki perlombaan untuk menikmati pengalaman berlari sejauh dua puluh enam mil, dan kau benar-benar menikmatinya di sepanjang lintasan yang kau lalui. Kemudian perlahan-lahan mulai terasa sedikit menyakitkan, kemudian menjadi sangat menyakitkan, dan pada akhirnya rasa sakit itulah yang mulai kau nikmati. Dan bagian dari kenikmatan itu adalah manakala kau berbagi proses membingungkan ini dengan pelari-pelari di sekitarmu. Cobalah berlari sejauh dua puluh enam mil dan kau hanya akan merasakan tiga, empat, atau lima jam penyiksaan fisik dan mental belaka. Saya pernah melakukannya sebelumnya, dan saya berharap pengalaman itu tidak terulang. Tapi berlari dengan jarak yang sama di samping pelari-pelari lainnya membuat semuanya terasa tidak terlalu melelahkan. Memang sulit secara fisik, jelaslah — bagaimana mungkin tidak? — tapi ada perasaan solidaritas dan kesatuan yang membawamu sampai ke garis finish. Jika maraton adalah pertempuran, itu adalah pertempuran yang harus kau hadapi sendiri.

Manakala kau mengikuti Marathon Boston, saat berbelok di jalan Hereford Street ke Boylston, dan melihat ke ujung jalan yang lurus dan luas itu, panji-panji di Copley Square, kegembiraan dan kelegaan yang kau alami sulit dijelaskan. Kau memang telah akan menuntaskannya sendiri, tapi pada saat bersamaan capaian terjauhmu adalah dampak dari dorongan psikologis orang-orang sekitar yang membuatmu terus berlari. Relawan-relawan tidak digaji yang mengambil cuti kerja untuk membantu terlaksananya kegiatan, orang-orang yang berjejer di jalan untuk memberi semanat, para pelari di depan dan juga di belakangmu. Tanpa dorongan dan dukungan mereka, kau mungkin tak akan menyelesaikan maraton sama sekali. Saat kau melewati lintasan terakhir di jalanan Boylston, semua jenis emosi muncul. Kau meringis dalam ketegangan, tapi kau juga tersenyum.

Saya tinggal selama tiga tahun di pinggiran kota Boston. Saya pernah menjadi dosen tamu di Tufts selama dua tahun, dan kemudian, setelah istirahat sejenak, saya mengajar di Harvard selama setahun. Selama masa-masa itu, saya berlari menyusuri tepian Sungai Charles setiap pagi. Saya mengerti betapa pentingnya maraton ini bagi orang-orang Boston, betapa acara ini merupakan kebanggaan bagi kota dan warganya. Banyak teman-teman saya yang sering mengikuti maraton dan ada juga yang berpartisipasi sebagai relawan. Jadi, bahkan dari jauh, saya bisa membayangkan betapa hancurnya hati mereka atas tragedi ledakan di jalan Bolyston tahun ini. Banyak orang yang fisiknya terluka di titik ledakan dan sekitarnya, tapi bahkan yang lebih pasti mereka juga terluka dalam bentuk berbeda. Sesuatu yang dirancang dengan ketulusan murni telah dinodai, dan saya juga — sebagai warga dunia, yang menyebut diri sebagai pelari — telah terluka.

Gabungan antara kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan keputusasaan ini tidak mudah hilang. Saya mengerti hal tersebut ketika saya sementara dalam proses menulis buku “Underground,” tentang serangan gas 1995 di kereta bawah tanah Tokyo, dan mewawancarai korban serangan dan anggota keluarga para korban mereka yang meninggal. Kau bisa mengatasi rasa sakit yang cukup dalam untuk menjalani kehidupan “normal”. Tapi, jauh di dasar hatimu, kau masih berdarah. Beberapa rasa sakit akan hilang seiring berjalannya waktu, namun itu juga menimbulkan rasa sakit lainnya. Kau harus menuntaskan semuanya, mengaturnya, memahaminya, dan menerimanya. Kau harus membangun kehidupan dari pemaknaan baru di atas rasa sakit itu.

Tentunya bagian paling terkenal dari Marathon Boston adalah Heartbreak Hill, satu di antara serangkaian lereng yang membentang selama empat mil menuju titik finish. Di Heartbreak Hill, para pelari merasa sangat kelelahan. Dalam sejarah perlombaan yang berusia seratus tujuh belas tahun, segala jenis mitos-mitos berkembang di sekitar bukit. Tapi, ketika kau benar-benar melaluinya, kau menyadari bahwa bukit itu tidak sesulit dan tak semenakutkan yang kau pikirkan sebelumnya karena orang-orang telah berhasil melaluinya. Kebanyakan pelari membuat jalur Heartbreak Hill tampak lebih mudah dari perkiraan awal mereka sendiri. “Hei,” kata mereka pada diri mereka, “tidak terlalu buruk.” Persiapkan mentalmu untuk lereng panjang yang menunggumu di dekat akhir lintasan, hemat energimu untuk mengatasinya, dan entah bagaimana kau berhasil melewatinya. Rasa sakit yang sebenarnya baru terasa setelah kau menaklukkan Heartbreak Hill, berlari menuruni bukit, dan sampai di bagian jalan yang datar, di jalan-jalan kota. Kau mengalami hal yang terburuk, dan kau bisa langsung menuju garis finish — dan tiba-tiba tubuhmu mulai menjerit. Otot-ototmu kram, dan kedua kakimu terasa seperti besi yang kaku dan sulit dikendalikan. Setidaknya itulah yang pernah saya alami setiap kali berlari di Marathon Boston. Bekas luka mungkin berpola serupa. Dalam arti tertentu, rasa sakit yang sebenarnya dimulai hanya beberapa saat setelah kau melaluinya, setelah kau mengatasi kejutan awal dan segala sesuatunya mulai terasa sangat melelahkan. Saat pertama kali kau mendaki lereng curam dan sampai ke permukaan jalan yang datar, kau mulai merasakan betapa kau telah terluka bahkan ketika kau telah melewati titik yang paling sulit. Pemboman di Boston sangat mungkin telah meninggalkan penderitaan panjang seperti itu. Mengapa? Saya harus bertanya. Mengapa acara damai dan tenang seperti maraton harus diinjak-injak dengan cara yang mengerikan dan berdarah-darah? Meski pelaku telah teridentifikasi, jawaban atas pertanyaan tersebut masih belum jelas. Tapi kebencian dan kebejatan moral mereka telah menghancurkan hati dan pikiran kita. Bahkan jika kita mendapat jawaban, kemungkinan besar itu tidak akan membantu sama sekali. Untuk mengatasi trauma semacam ini jelas membutuhkan waktu di mana kita perlu melihat ke depan dengan pandangan positif. Menyembunyikan luka, atau mencari penyembuhan instan, bukanlah solusi nyata. Melakukan balas dendam juga tidak akan membawa kelegaan. Kita perlu mengingat luka-luka itu, tidak mengalihkan tatapan kita dari rasa sakit, dan — sejujurnya, dengan hati-hati, diam-diam — mengumpulkan sejarah kita sendiri. Mungkin butuh beberapa jenak, tapi waktu adalah sekutu kita. Bagi saya, dengan berlari, berlari setiap hari, saya bersedih atas orang-orang yang hidupnya hilang dan bagi mereka yang telah terluka di Jalan Boylston. Inilah satu-satunya pesan pribadi yang bisa saya kirimkan. Saya tahu ini tidak panjang, tapi saya harap pesan ini berhasil sampai. Saya berharap juga, bahwa Marathon Boston akan pulih dari luka-lukanya, dan bahwa dua puluh enam mil itu akan kembali tampak indah, alami, bebas.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet