Cara Haruki Murakami Menggambarkan Depresi
(Muh. Syahrul Padli)
Haruki Murakami adalah orang yang menyelami perasaan yang dihindari manusia normal kebanyakan. Dia adalah seorang arsitek yang menggambarkan struktur dan rangka kesepian, kehampaan, kekosongan dan ketakberartian manusia modern.
Ia membangun dunia yang terasa sunyi namun penuh makna, tempat tokoh-tokohnya berkeliaran dalam keheningan, bertanya-tanya tentang diri mereka sendiri, bertarung dengan trauma, merenungi masa lalu yang tak bisa diubah, dan berkompromi dengan masa depan yang samar.
Jika kamu pernah membaca Norwegian Wood atau Kafka on the Shore, pasti menyadari bahwa karakter-karakter Murakami sering kali tidak berkata banyak, tetapi dalam diam mereka menyimpan deburan kesedihan. Kita cukup berdiri di tepi lautan kata dan mendengar ombak maknanya.
Jika pembelajaran ibarat ikan, maka apa yang kita tangkap bergantung pada umpan apa yang kita investasikan. Semakin bagus umpan, lokasi mancing dan teknik kita cocok dengan ikan yang diburu maka kita akan dapatkan tangkapan yang menarik. Intinya adalah sabar.
Saya tidak meng-klaim sebagai si paling mengerti Haruki Murakami. Saya memang ketua dua klub pembaca Haruki Murakami: Harukist Chapter Sulselbar dan Komunitas Penghayat Sumur (dua komunitas yang aneh sejak dalam pikiran. Pembaca Haruki Murakami jenis apa yang berkerumun dan berkomunitas? Pembaca Haruki Murakami kan introvert?).
Saya hanya ingin berbagi ikan yang berhasil saya tangkap. Siapa tahu Anda bisa meniru atau malah justru saya yang meniru Anda.
Murakami dan Depresi
Hampir semua tokoh buatan Haruki Murakami mengalami depresi. Bisa karena trauma, kejadian masa lalu atau situasi yang dihadapi.
Murakami tidak menggambarkan depresi tokohnya secara langsung. Dia menggunakan simbol-simbol, seperti sumur, kucing, hujan, hingga musik, untuk membuat pembaca ikut merasakan perasaan kosong yang dirasakan tokohnya.
Mari kita lihat beberapa simbol yang sering muncul dalam dunia Murakami dan bagaimana mereka merefleksikan depresi.
1. Sumur: Lubang Gelap dalam Pikiran
Bayangkan kamu berdiri di tepi sumur tua. Kamu melihat ke dalamnya, tapi yang terlihat hanya kegelapan yang dalam.
Sumur pada karya Murakami sering kali seperti ini — bukan sekadar lubang di tanah, tapi cerminan dari kekosongan batin tokohnya.
Di The Wind-Up Bird Chronicle, tokoh utama, Toru Okada, turun ke dalam sumur untuk mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya sendiri. Ia duduk di dasar sumur yang gelap, tanpa suara, tanpa cahaya, hanya berhadapan dengan pikirannya sendiri.
Bukankah depresi juga seperti itu?
Kita tenggelam dalam pikiran sendiri, merasa terisolasi, dan sulit menemukan jalan keluar.
Bahkan tanpa sadar kita masuk kedalam sumur pikiran sendiri dan merasa itulah takdir yang seharusnya. Padahal kita yang dari awal memutuskan masuk sendiri dan kita juga bisa kembali menaiki anak tangga untuk keluar dari sana — atau kalau capek minimal berteriak minta bantuan.
2. Kucing: Kesepian yang Tak Bersuara
Pernah merasa hidupmu baik-baik saja, tapi ada sesuatu yang hilang, seperti kunci rumah yang entah di mana, atau perasaan yang tak bisa dijelaskan?
Dalam novel-novel Murakami, kucing sering kali melambangkan kehilangan dan keterasingan.
Persentuhan Haruki Murakami dengan kucing sudah terjadi ketika dia masih SD. Setidaknya ada dua peristiwa yang dia ceritakan sendiri di orbituari tentang ayahnya.
Pertama saat dia menyaksikan kucing yang memanjat pohon dan tidak tahu cara turun. Kucing itu seolah menghilang di atas sana. Padahal kucing itu mungkin berhasil turun atau malah mati.
Kedua saat dia dan ayahnya berniat membuang kucing tua karena takut tidak bisa merawatnya. Uniknya kucing itu kembali ke rumah lebih dulu daripada mereka. Momen itu berkesan hingga muncul di beberapa tulisan fiksinya dalam bentuk berbeda.
Di Kafka on the Shore, ada karakter yang bisa berbicara dengan kucing, seolah-olah hanya kepada merekalah ia bisa mencurahkan isi hatinya. Ini mencerminkan bagaimana orang yang mengalami depresi sering kali merasa lebih mudah berbicara dengan makhluk yang tak bisa menghakimi mereka.
Di The Wind-Up Bird Chronicle, hilangnya kucing milik istri Toru menjadi simbol retaknya hubungan dan kehampaan dalam hidupnya.
Kehilangan seekor kucing tampaknya sepele, tetapi dalam dunia Murakami, itu bisa berarti kehilangan sesuatu yang lebih dalam — mungkin harapan, mungkin kebahagiaan.
3. Laut: Kesedihan yang Luas dan Tak Terjelaskan
Laut dalam novel Murakami adalah tempat di mana karakter-karakternya sering termenung, memandang ombak tanpa tujuan, seolah-olah mencoba memahami sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Di Kafka on the Shore, Kafka Tamura duduk di tepi laut, merenungkan identitasnya. Laut adalah metafora dari perasaan melankolis yang dalam, seperti depresi yang tak selalu punya alasan yang jelas. Kita tahu itu ada, kita merasakannya, tetapi kita tak tahu bagaimana cara menghentikan ombak yang datang bergulung-gulung.
4. Musik: Suara dari Masa Lalu
Setiap kali mendengar lagu lama, pernahkah kamu merasa seperti ditarik kembali ke suatu waktu di masa lalu?
Di Norwegian Wood, lagu Norwegian Wood dari The Beatles bukan sekadar lagu, tetapi mesin waktu yang membawa Toru Watanabe kembali ke kenangan tentang orang-orang yang telah pergi. Musik dalam dunia Murakami sering menjadi jembatan antara masa kini dan masa lalu, mengingatkan tokohnya pada perasaan yang tak bisa mereka tinggalkan.
Sama seperti ketika kita sedang merasa sedih, lagu-lagu tertentu bisa membuat kita menangis tanpa alasan yang jelas. Murakami paham betul bahwa depresi sering kali muncul dalam bentuk nostalgia yang menyakitkan.
5. Hujan dan Kabut: Perasaan yang Tak Bisa Diungkapkan
Dalam novel-novel Murakami, hujan sering turun saat tokohnya sedang berpikir atau berada dalam kondisi emosional yang rumit. Hujan adalah metafora dari kesedihan yang turun perlahan, tanpa suara, tapi meresap ke dalam hati.
Kabut, di sisi lain, melambangkan kebingungan dan ketidakjelasan. Seperti depresi yang membuat kita merasa tersesat, kabut dalam novel Murakami sering kali menyelimuti tokohnya, membuat mereka sulit melihat jalan keluar.
Kesimpulan: Kesedihan yang Indah dalam Karya Murakami
Murakami tidak menulis tentang depresi dengan cara yang dramatis atau penuh air mata atau diungkapkan dengan metafora yang lebay. Sebaliknya, ia membiarkan kesedihan itu mengalir perlahan dalam bentuk sumur yang gelap, kucing yang hilang, laut yang luas, atau lagu yang tak bisa dilupakan.
Karya-karya Murakami mengingatkan kita bahwa kesedihan bukan sesuatu yang harus selalu dilawan, tetapi sesuatu yang bisa kita pahami, renungkan, dan terima sebagai bagian dari perjalanan hidup. Karena pada akhirnya, seperti dalam novel-novelnya, kita semua adalah orang-orang yang berjalan di bawah hujan karena tidak punya pilihan lain, mencari jalan keluar dalam kabut, dan berharap suatu hari nanti, kita akan sampai pada tujuan.
Jadi, jika kamu sedang merasa hampa, mungkin kamu hanya perlu duduk, mendengar lagu lama, atau membaca Murakami. Karena siapa tahu, dalam kisahnya, kamu akan menemukan potongan kecil dari dirimu sendiri.