Cuplikan Novel Murakami, Kishidanco goroshi

Muh. Syahrul Padli
7 min readMay 3, 2020

--

(Terjemahan ini adalah versi kasar yang belum melalui proses edit serius)

Sub Bagian 2, Mereka Semua Mungkin Pergi Ke Bulan

https://metropolisjapan.com

“Maafkan aku, tapi aku rasa aku tidak bisa hidup bersamamu lagi,” kata istriku dengan suara nyaris berbisik. Kemudian dia terdiam sejenak.

Pengakuannya mengejutkanku. Itu sangat tak terduga dan aku tidak tahu cara meresponnya, lalu aku menunggu apa yang dia ucapkan berikutnya. Apa yang akan dia katakan selanjutnya pasti bukan hal yang enak didengar— aku yakin — tetapi menunggu lanjutan pengakuannya adalah yang paling mungkin aku lakukan.

Kami duduk berhadapan di meja dapur. Pada minggu sore di pertengahan Maret. Ulang tahun pernikahan kami adalah di pertengahan bulan depan. Hujan yang dingin turun sejak pagi. Hal pertama yang aku lakukan ketika mendengar ucapannya itu adalah berbalik ke jendela dan memperhatikan hujan. Hujan yang tenang, hujan yang lembut, dengan angin sepoi-sepoi. Pastinya, itu jenis hujan yang membawa serta dingin yang perlahan tapi pasti meresap ke dalam kulit. Dingin seperti itu berarti musim semi masih jauh. Menara jingga Tokyo terlihat dari jauh di antara hujan yang berkabut. Langit kehilangan burung-burung. Mereka semua pasti diam-diam mencari tempat bernaung. “Aku tidak ingin kau bertanya kenapa. Bisa kan?” tanya istriku.

Aku menggelengkan kepalaku sedikit. Bukan ya atau tidak. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, dan hanya refleks menggelengkan kepala saja.

Dia mengenakan sweter tipis berwarna ungu muda dengan garis leher lebar. Tali kamisol putih lembutnya terlihat di samping tulang selangkanya. Itu terlihat seperti beberapa jenis pasta khusus yang digunakan dalam resep tertentu.

Akhirnya, aku bisa ngomong. “Tapi aku benar-benar punya satu pertanyaan,” kataku, menatap kosong pada tali kamisol itu. Suaraku kaku, kering, dan datar.

“Akan kujawab, kalau bisa.”

“Apa ini salahku?”

Dia memikirkannya. Lalu, seperti seseorang yang telah lama menyelam, dia akhirnya menyembul ke permukaan dan mengambil napas dalam-dalam, perlahan-lahan.

“Secara tidak langsung, bukan.”

“Secara tidak langsung?”

“Kurasa bukan.”

Aku mempertimbangkan nada suaranya yang lembut. Seperti memeriksa berat sebutir telur di telapak tangan. “Maksudnya aku adalah sebabnya, secara tak langsung?”

Dia tidak menjawab.

“Beberapa hari yang lalu, tepat sebelum fajar, aku bermimpi,” jelasnya. “Mimpi yang sangat realistis, jenis mimpi yang tidak bisa kau bedakan apakah itu nyata atau hanya ada dalam pikiranmu. Dan ketika aku bangun itulah yang aku pikirkan. Maksudku, aku yakin dengan pesan dari mimpi itu. Bahwa aku tidak bisa hidup bersamamu lagi.”

“Mimpi macam apa itu?”

Dia menggelengkan kepalanya. “Maaf, tapi aku tidak bisa memberitahumu soal mimpi itu.”

“Karena mimpi itu sangat personal?”

“Kurasa.”

“Apa aku ada dalam mimpimu?” tanyaku.

“Tidak, kau tidak ada di dalam mimpiku itu. Jadi bisa dibilang, semua ini bukan salahmu. ”

Hanya untuk memastikan aku memahami semua maksudnya, aku merangkum apa yang baru saja dikatakannya. Ketika aku tidak tahu harus berkata apa, aku memiliki kebiasaan meringkas. (Kebiasaan itu, tentu saja, bisa sangat menjengkelkan.)

“Jadi, beberapa hari yang lalu kau memiliki mimpi yang sangat realistis. Dan ketika kau bangun, kau yakin kau tidak bisa hidup bersamaku lagi. Tapi kau tidak dapat memberitahuku apa mimpi itu, karena mimpi itu sangat personal. Begitu, kan?”

Dia mengangguk. “Iya. Kurang lebih.”

“Tapi itu tidak menjelaskan apa-apa.”

Dia meletakkan tangannya di atas meja, menatap dasar cangkir kopinya, seolah-olah seperti cenayang yang mendapat penglihatan di permukaan air kopinya dan dia mulai menafsir pesan di baliknya. Dari sorot matanya, pastinya kata-kata itu sangat simbolis dan ambigu.

Istriku sangat percaya mimpi. Dia sering membuat keputusan berdasarkan mimpinya, atau mengubah keputusannya karena mimpi juga. Tapi tidak peduli seberapapun pentingnya kau berpikir tentang mimpi, kau tidak bisa mereduksi masa enam tahun pernikahan lalu menganggapnya hanya sebagai omong kosong karena satu mimpi yang terasa nyata, tidak peduli betapapun mengesankannya mimpi itu.

“Mimpi itu hanya pemicu, kira-kira,” katanya, seolah membaca pikiran. “Bermimpi membuat banyak hal menjadi jelas bagiku.”

“Jika kau menarik pelatuk, peluru akan melesat.”

“Maksudmu?”

“Pemicu adalah bagian penting dari senjata. ‘Hanya pemicu’ itu bukan respon yang tepat.”

Dia menatapku diam-diam, seolah-olah dia tidak bisa mengerti apa yang kukatakan. Aku tidak menyalahkannya. Aku sendiri pun tidak bisa memahami kata-kataku.

“Apakah kau mencintai laki-laki lain?” tanyaku.

Dia mengangguk.

“Dan kau tidur dengannya?”

“Ya, dan aku merasa menyesal karenanya.”

Mungkin aku seharusnya bertanya kepadanya siapa laki-laki itu, dan kapan perselingkuhannya bermula. Tetapi aku tidak ingin tahu. Aku tidak ingin memikirkan hal-hal itu. Jadi aku menatap lagi ke luar jendela ke arah hujan yang turun. Kenapa aku tidak memperhatikan semua ini sebelumnya?

“Ini hanya satu elemen di antara banyak elemen,” kata istriku.

Aku melihat sekeliling ruangan. Aku sudah lama tinggal di sini, dan memang seharusnya sangat familiar, tetapi sekarang telah berubah menjadi sebuah adegan dari tempat yang jauh, di sebuah pulau aneh.

Hanya satu elemen?

Apa artinya itu, hanya satu? Aku memikirkannya. Dia berhubungan seks dengan beberapa pria selain aku. Tapi itu “hanya satu elemen.” Lalu apa yang lainnya?

“Aku akan pindah beberapa hari lagi,” kata istriku. “Jadi kau tidak perlu melakukan apa pun. Aku yang bertanggung jawab, jadi aku yang harus pergi.”

“Kau sudah memutuskan ke mana kau akan pergi?”

Dia tidak menjawab, tetapi sepertinya dia sudah memutuskan mau ke mana. Dia pasti telah membuat segala macam persiapan sebelum membahas ini denganku. Ketika aku menyadari hal ini, aku merasa tidak berdaya, seolah-olah aku kehilangan pijakan dalam kegelapan. Berbagai hal terus bergerak maju, dan aku telah benar-benar lupa.

“Aku akan menyelesaikan prosedur perceraian secepat yang aku bisa,” kata istriku, “dan aku ingin semuanya lancar. Aku egois, kusadari itu.”

Aku berbalik dari memperhatikan hujan dan menatapnya. Dan sekali lagi aku tersadar. Kami telah hidup di bawah satu atap yang sama selama enam tahun, namun aku tidak tahu apa-apa tentang wanita ini. Dengan cara yang sama saat orang menatap langit melihat bulan setiap malam, namun hampir tetap tidak mengerti tentang itu. “Aku punya satu permintaan,” aku memberanikan diri. “Jika kau menuruti kemauanku, aku akan mengikuti kemauanmu. Dan aku akan menandatangani surat cerai. “

“Apa itu?”

“Kalau akulah yang pergi dari sini. Dan aku akan pergi hari ini. Aku ingin kau tetap di sini.”

“Hari ini?” tanyanya, terkejut.

“Semakin cepat semakin baik, kan?”

Dia berpikir. “Kalau itu maumu,” katanya.

“Itu saja, dan hanya itu yang aku mau.”

Itu adalah perasaan jujurku. Selama aku tidak ditinggal sendirian di tempat yang kejam dan keras ini, di tengah hujan bulan Maret yang dingin, aku tidak peduli apa pun yang terjadi.

“Dan aku akan membawa mobil. Kau tak keberatan, kan?”

Aku benar-benar tidak perlu bertanya. Mobil itu model lama, dengan gigi manual yang temanku berikan sebelum aku menikah. Mobil itu sudah menempuh lebih dari enam puluh ribu mil. Dan selain itu, istriku bahkan tidak memiliki SIM.

“Aku akan kembali lagi nanti untuk mengambil bahan lukisan dan pakaian dan beberapa barang lain. Apa kau tak keberatan?”

“Tentu, tidak apa-apa. Tapi kata ‘nanti’, berapa lama yang kau maksud? “

“Aku tidak tahu,” kataku. Aku tidak bisa memastikan pikiranku di masa depan.

Aku nyaris tak punya pijakan. Hanya tersisa sedikit hal yang bisa kukuasai dalam diriku.

“Aku mungkin tidak akan tinggal di sini selama itu,” kata istriku, terdengar enggan.

“Semua orang mungkin pergi ke bulan,” kataku.

Dia sepertinya tidak menangkap maksudku. “Maksudmu?”

“Tidak apa. Itu tidak penting.”

Pada pukul tujuh malam itu, aku memasukkan barang-barangku kedalam tas gym yang besar dan melemparkannya ke bagasi merah Peugeot 205-ku. Beberapa pakaian ganti, perlengkapan mandi, beberapa buku dan buku harian. Aku punya perlengkapan alat berkemah untuk mendaki. Buku sketsa dan satu set pensil menggambar. Selain beberapa barang itu, aku tidak tahu harus mengambil apa lagi. Tidak apa-apa, kataku pada diri sendiri, jika aku butuh sesuatu aku bisa membelinya di suatu tempat.

Sementara aku mengemasi tas olahraga dan keluar-masuk apartemen, dia masih duduk di meja dapur. Cangkir kopi masih di atas meja, dan dia terus menatap ke dalamnya …

“Aku juga punya permintaan,” katanya. “Bahkan jika kita berpisah seperti ini, bisakah kita tetap berteman? “

Aku tidak bisa memahami apa yang dia katakan. Aku sudah selesai mengikat tali sepatuku, telah memanggul tas, dan berdiri, satu tangan di atas kenop pintu, lalu aku menatapnya.

“Jadi teman?”

“Aku ingin bertemu dan berbicara sesekali. Jika memungkinkan, maksudku.”

Aku masih tidak mengerti apa yang dia maksud. Jadi teman? Bertemu dan bicara sesekali? Apa yang akan kami bicarakan? Sikapnya penuh teka-teki. Apa yang berusaha dia sampaikan kepadaku? Apa dia tidak punya perasaan buruk terhadapku? Benarkah itu?

“Aku tidak yakin sih,” kataku. Aku tidak bisa memikirkan hal lain lagi untuk dikatakan. Jika aku berdiri di sana seminggu penuh, memikirkan semua ini di kepalaku, aku ragu aku akan bisa menyimpulkan sesuatu. Jadi aku membuka pintu dan melangkah keluar.

Ketika aku meninggalkan apartemen, aku tidak memikirkan apa yang kupakai. Jika aku memakai jubah mandi dengan dalaman piyama, aku mungkin tidak akan peduli. Kemudian, ketika aku melihat diriku di cermin besar di toilet drive-in, aku menyadari aku mengenakan sweter yang aku sukai saat bekerja, jaket oranye mencolok, celana jeans, dan sepatu bot kerja. Dan topi rajut tua. Ada noda cat putih di sana-sini di sweter berjumbai leher hijauku. Satu-satunya pakaian baru yang aku miliki adalah jeans, berwarna biru terang yang sangat mencolok. Satu setel pakaian acak, tapi tidak terlalu aneh. Salah satu penyesalanku adalah tidak membawa syal.

Ketika aku mengendarai mobil keluar dari tempat parkir di bawah gedung apartemen, hujan dingin bulan Maret masih turun. Suara tonggeret terdengar seperti batuk serak lelaki tua.

Kamu bisa dukung saya untuk terus berkarya di https://saweria.co/muhsyahrulpadli

Berapa pun donasi kamu akan sangat membantu saya membeli kopi saset.

Bersambung ke sini

Baca cuplikan sebelumnya di sini

*Catatan: cuplikan ini diterjemahkan dari novel panjang terbaru Murakami, Kishidanco goroshi (Killing Commendatore).

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet