Cuplikan Novel Murakami, Kishidanco goroshi
(Terjemahan ini adalah versi kasar yang belum melalui proses edit serius)
Lanjutan Sub Bagian 2, Mereka Semua Mungkin Pergi Ke Bulan
Aku pertama kali bertemu istriku tepat sebelum aku berusia tiga puluh. Dia tiga tahun lebih muda dariku. Dia bekerja di sebuah perusahaan arsitektur kecil di Yotsuya, dengan sertifikat keahlian arsitek madya, dan mantan teman sekelas SMA dari gadis yang kukencani saat itu. Dia punya rambut lurus, memakai sedikit riasan, dan punya sikap yang tampak tenang (kepribadiannya tidak setenang itu, tetapi aku baru memahaminya kemudian). Pacarku dan aku sedang berkencan dan kebetulan bertemu dengannya di sebuah restoran. Kami berkenalan, dan dengan sendirinya aku jatuh cinta kepadanya di sana.
Dia tidak benar-benar mempesona dalam hal penampilan. Tidak ada yang salah dengan penampilannya, tetapi tidak ada juga sesuatu yang membuat seseorang tertarik memalingkan kepala ke arahnya. Dia memiliki bulu mata yang lebat, hidung kecil, dan rambutnya yang tepat di atas tulang belikat ditata dengan indah. (Dia sangat memerhatikan rambutnya.) Di sisi kanan bibirnya ada tahi lalat kecil, yang bergerak dengan cara luar biasa setiap kali ekspresinya berubah. Itu membuatnya sedikit sensual, tapi sekali lagi kau hanya bisa menyadarinya jika memerhatikannya sungguh-sungguh. Kebanyakan orang akan melihat gadis yang aku ajak kencan jauh lebih cantik. Tapi meski begitu, hanya sekali melihatnya aku langsung jatuh cinta kepadanya, secara instan. Mengapa? Aku juga penasaran. Butuh beberapa minggu untuk tahu alasannya. Tapi kemudian tiba-tiba aku sadar. Dia mengingatkanku pada adik perempuanku, yang telah meninggal. Mengingatkanku dengan sangat jelas kepadanya.
Mereka tidak mirip secara fisik. Jika membandingkan foto mereka berdua, kebanyakan orang akan kesulitan menemukan ada kemiripan. Itulah sebabnya pada awalnya aku tidak melihat kemiripan keduanya. Tidak ada sesuatu yang spesifik pada penampilannya yang membuatku mengingat adikku, tetapi cara ekspresinya berubah, terutama cara matanya bergerak dan berbinar, sungguh luar biasa seperti mata adikku. Itu seperti sihir atau sesuatu yang membawa kembali masa lalu, tepat di depan mataku.
Adikku juga tiga tahun lebih muda dariku, dan punya masalah katup jantung bawaan. Dia sudah banyak dioperasi ketika masih kecil, dan meskipun operasi-operasi itu berhasil, masih ada efek samping pasca operasi yang belum teratasi. Dokter yang menanganinya tidak tahu apakah efek sampingnya akan berkurang seiring waktu, atau jsutru menyebabkan beberapa masalah yang mengancam jiwanya. Pada akhirnya, dia meninggal saat aku berusia lima belas tahun. Dia baru saja masuk SMP. Dalam hidupnya yang singkat dia telah berjuang melawan cacat genetik itu, tetapi justru tidak pernah menyerah dan selalu bersikap baik dan ceria. Sampai akhir hayatnya tidak pernah menggerutu atau mengeluh, dan selalu membuat rencana terperinci untuk masa depan. Mati di usia yang sangat muda bukanlah sesuatu yang dia perhitungkan dalam rencananya. Dia cerdas dari sononya, selalu dengan nilai pelajaran yang sangat luar biasa (jauh lebih baik daripada aku). Dia memiliki kemauan yang kuat, dan selalu kekeuh pada apa pun yang dia putuskan untuk lakukan, apa pun yang terjadi. Jika dia dan aku bertengkar —itu cukup langka — aku selalu kalah. Menjelang kematiannya dia sangat kurus dan pucat, namun matanya tetap bercahaya, dan dia masih punya semangat hidup.
Mata istriku juga memiliki hal serupa, mengingatkanku kepada adikku. Ada sesuatu yang aku bisa lihat jauh di dalamnya. Ketika aku pertama kali melihat mata itu, aku tersentak. Aku tidak berpikir kalau dengan menjalin hubungan dengannya aku dapat menghidupkan ingatan tentang adikku yang sudah meninggal atau apalah. Bahkan sebenarnya, terlintas anggapan kalau pada akhirnya satu-satunya hal yang kudapat adalah keputusasaan. Apa yang aku inginkan, atau butuhkan, adalah percikan kemauan positif itu. Sumber kehangatan yang kubutuhkan untuk hidup. Dulu itu sesuatu yang aku mengerti dengan sangat baik, tetapi kemungkinan besar, hal itu telah hilang dalam diriku.
Aku berhasil mendapatkan nomor kontaknya, dan mengajaknya berkencan. Dia tentu saja terkejut, dan ragu-ragu. Bagaimanapun, aku adalah pacar temannya. Tapi aku terus melakukannya. Aku hanya ingin melihatmu, dan berbicara, itu yang kukatakan. Hanya bertemu dan berbicara, itu saja. Aku tidak perlu yang lain. Kami makan malam di restoran dengan tenang, dan berbicara tentang semua hal. Kami awalnya agak gugup dan canggung, tapi seiring waktu menjadi lebih akrab. Ada begitu banyak yang ingin aku ketahui tentangnya, dan aku punya banyak hal untuk dibicarakan. Aku mengetahui bahwa ulang tahunnya dan ulang tahun adikku hanya beda tiga hari.
“Apakah kau keberatan jika aku membuat sketsamu?” tanyaku.
“Di sini?” tanyanya, melihat sekeliling. Kami duduk di restoran, dan baru saja memesan makanan penutup.
“Aku akan menyelesaikannya sebelum mereka kembali dengan hidangan penutup,” kataku.
“Kalau begitu, kurasa aku tidak keberatan,” jawabnya ragu.
Aku mengeluarkan buku sketsa kecil yang selalu kubawa, dan langsung menggambar wajahnya dengan pensil 2B. Seperti yang kujanjikan, gambar sketsanya selesai sebelum makanan penutup kami tiba. Bagian yang penting, pastinya, adalah matanya. Itulah yang paling ingin kugambar. Di dalam matanya adalah dunia yang sebenarnya, dunia yang melampaui waktu.
Aku menunjukkan kepadanya sketsa itu, dan dia sepertinya menyukainya.
“Sketsa ini sangat penuh aura kehidupan.”
“Itu karena kau,” kataku.
Dia menatap sketsa itu untuk waktu yang lama, melihatnya lebih dekat. Seperti melihat orang lain yang belum dia kenal sebelumnya.
“Jika kau suka, ambillah.”
“Aku bisa membawanya pulang?” tanyanya.
“Tentu saja. Itu hanya sketsa cepat. “
“Terima kasih.”
Setelah itu, kami berkencan lebih banyak lagi, dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. Semuanya terjadi begitu alami. Pacarku, bagaimanapun, terkejut karena temanya selingkuh denganku. Dia mungkin berpikir kami bisa menikah. Jadi tentu saja dia kesal (meskipun aku ragu aku akan menikahinya). Istriku juga pacaran dengan orang lain saat itu, dan perpisahan mereka juga tidak mudah. Ada kendala lain yang harus diatasi, tetapi hasilnya adalah bahwa setengah tahun kemudian kami menikah.
Kami mengadakan pesta kecil dengan mengundang beberapa teman dekat untuk merayakannya, lalu kami menetap di sebuah kondominium di Hiroo. Pamannya memiliki kondominium dan memberi kami harga sewa yang murah. Aku menggunakan satu kamar kecil sebagai studioku dan fokus melukis karya potraitku di sana. Meluki potrait bukan lagi hanya pekerjaan sampingan. Sekarang aku sudah menikah dan butuh penghasilan tetap, dan selain melukis potrait aku tidak punya cara lain untuk mencari nafkah yang layak. Istriku pulang pergi dari rumah kami dengan kereta bawah tanah ke perusahaan arsitektur di Yotsuya. Dan dengan sendirinya aku adalah orang yang melakukan pekerjaan rumah sehari-hari, yang aku tidak keberatan sama sekali. Aku tidak pernah keberatan melakukan pekerjaan rumah, dan menjadikannya jeda yang bagus dari melukis. Bagaimanapun jauh lebih menyenangkan melakukan pekerjaan rumah daripada berangkat setiap hari ke kantor dan dipaksa bekerja di belakang meja.
Aku pikir bagi kami berdua beberapa tahun pertama pernikahan kami tenang dan menggembirakan. Tak lama kemudian kami duduk dalam ritme harian yang menyenangkan. Di akhir pekan dan hari libur aku akan berhenti melukis dan kami akan jalan-jalan. Terkadang ke pameran seni, terkadang mendaki di luar kota. Lain waktu kami hanya keluyuran di sekitar kota. Kami mengobrol dari hati ke hati, dan bagi kami berdua, penting untuk memperbarui cinta satu sama lain secara teratur. Kami berbicara dengan jujur, dan terbuka, tentang apa yang sedang terjadi dalam hidup kami, bertukar pendapat, berbagi perasaan.
Tentu saja ada satu hal yang kusembunyikan: fakta bahwa matanya sangat mengingatkanku pada adikku yang telah meninggal di usia dua belas, dan itulah alasan utamaku tertarik kepadanya. Tanpa mata itu aku mungkin tidak akan pernah bersemangat mencoba untuk mendapatkan cintanya. Tapi aku merasa lebih baik tidak mengatakan itu kepadanya, dan sampai akhirnya aku tidak melakukannya. Itulah satu-satunya rahasia yang aku simpan darinya. Mungkin ada rahasia yang dia simpan dariku — dan aku menduga ada beberapa — entahlah.
Nama istriku adalah Yuzu, nama dari buah jeruk yang sering dipakai sebagai bahan masakan. Terkadang ketika kami berada di ranjang aku memanggilnya Sudachi, sejenis buah jeruk juga, sebagai lelucon. Aku akan membisikkan kata itu di telinganya. Dia selalu tertawa, tapi itu membuatnya kesal.
“Aku bukan Sudachi, tapi Yuzu. Mereka serupa tetapi tidak sama, “katanya bersikeras.
Kapan hal-hal mulai berjalan ke arah yang salah? Ketika aku melaju, dari satu restoran pinggir jalan ke yang lain, satu hotel bisnis ke yang lain, bergerak secara acak dari titik A ke titik B, aku memikirkan hal ini. Tetapi aku tidak bisa menentukan di titik mana segala sesuatu memburuk. Untuk waktu yang lama aku yakin kami baik-baik saja. Tentu saja, seperti banyak pasangan lain, kami punya beberapa masalah dan ketidaksepakatan. Masalah utama kami adalah apakah memiliki anak atau tidak. Tapi kami masih punya waktu sebelum kami harus membuat keputusan akhir. Selain itu satu masalah (yang bisa kami tunda pada saat itu), pada dasarnya kehidupan pernikahan kami baik-baik saja, baik secara emosional dan seksual. Aku yakin akan hal itu.
Apa aku terlalu optimis? Atau sangat bodoh yah? Sepertinya aku dilahirkan dengan titik buta, dan selalu melupakan sesuatu. Dan apa yang aku rindukan selalu hal yang paling penting dari semuanya.
Di pagi hari, setelah aku melihat istriku pergi bekerja, aku akan fokus melukis, lalu setelah makan siang akan jalan-jalan di sekitar rumahku, berbelanja sebelum pulang, dan kemudian bersiap-siap makan malam. Dua atau tiga kali seminggu aku akan berenang di cabang klub olahraga terdekat. Ketika istriku pulang, kami akan minum bir atau anggur bersama. Jika dia meneleponku itu artinya dia harus bekerja lembur dan akan makan di dekat kantor, aku akan duduk sendiri dan makan malam sendirian. Enam tahun kami bersama sebagian besar merupakan pengulangan dari semua hari-hari itu. Dan sebenarnya aku baik-baik saja dengan itu.
Kesibukannya semakin menggunung di firma arsitektur, dan dia sering harus bekerja lembur. Perlahan-lahan aku harus makan malam sendirian lebih sering. Terkadang dia tidak akan kembali sampai hampir tengah malam. “Banyak yang harus kuselesaikan di tempat kerja,” jelasnya. Salah satu rekannya tiba-tiba berganti pekerjaan, katanya, dan dia harus mengambilalih. Perusahaan itu enggan untuk mempekerjakan staf baru. Setiap dia pulang terlambat, dia kelelahan dan hanya mandi lalu pergi tidur. Jadi berapa kali kami melakukan hubungan seks ketika pekerjaannya agak longgar. Kadang-kadang dia bahkan harus pergi di hari libur juga untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja aku percaya padanya. Tidak ada alasan untuk meragukannya.
Tapi mungkin dia sama sekali tidak bekerja lembur. Saat aku sedang menyantap makan malam sendirian di rumah, dia mungkin menikmati waktu intim di kasur hotel dengan kekasih baru.
Istriku mudah akrab dengan orang. Dia tampak tenang dan lembut tetapi kritis dan cerdas, dan dia butuh kondisi di mana dia bisa lebih menjalin relasi dan hubungan dekat. Dan aku tidak bisa memenuhinya. Jadi Yuzu pergi makan dengan banyak teman wanitanya (dia punya banyak teman) dan mau pergi minum dengan rekan kerja (dia peminum yang lebih baik daripada aku). Dan aku tidak pernah mengeluh soal dia pergi sendiri dan menikmati waktunya sendiri. Bahkan aku mungkin mendorongnya melakukan apa yang dia mau.
Ketika kupikir-pikir lagi, adikku dan aku memiliki jenis hubungan yang sama. Aku tipe orang yang senang tinggal di rumah, dan ketika pulang sekolah, aku akan betah di kamarku membaca atau menggambar. Adikku jauh lebih ramah dan supel. Jadi minat dan kegiatan sehari-hari kami tidak banyak tumpang tindih. Tapi kami saling memahami dengan baik, dan menghargai kualitas diri unik masing-masing. Itu mungkin sangat tidak biasa untuk seorang kakak laki-laki dan perempuan sepantaran kami, tetapi kami berbicara lebih banyak hal bersama. Musim panas atau musim dingin, kami akan memanjat ke balkon di lantai atas tempat kami menggantung pakaian kami, dan terus mengobrol. Kami suka berbagi cerita lucu, dan sering merajut bersama.
Aku tidak mengatakan itu alasannya, tapi aku merasa aman dengan hubunganku dan istriku. Aku menerima peranku dalam pernikahan kami — sebagai pasangan pendiam dan penyokong — secara alami, berjalan dengan sendirinya. Tapi mungkin Yuzu tidak. Pasti ada aspek pernikahan kami yang tidak sesuai harapannnya. Bagaimanapun, dia dan adik perempuanku adalah orang yang berbeda dengan kepribadian yang berbeda. Dan tentu saja, aku bukan anak remaja lagi.
Pada bulan Mei aku mulai lelah mengemudi setiap hari. Dan muak dengan pikiran yang sama dan berputar-putar tanpa henti di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan berputar di otakku, tanpa secuil jawaban yang terlihat. Duduk sepanjang hari di kursi kemudi telah memberiku sakit punggung. Mobil Peugeot 205 adalah mobil ekonomis, dan joknya tidak berkualitas tinggi, peredam hentakannya mulai usang. Memoloti jalan berjam-jam memberiku kelelahan mata kronis. Aku menyadari kalau aku terlalu sering mengemudi tanpa henti selama lebih dari satu setengah bulan, dengan gelisah pindah dari satu tempat ke tempat lain seolah-olah ada sesuatu yang mengejarku.
Aku melintasi mata air panas kecil pedesaan di pegunungan dekat perbatasan antara Miyagi dan Iwate, dan memutuskan untuk beristirahat. Mata air panas yang tersembunyi di dalam lembah, dengan sebuah penginapan kecil tempat penduduk setempat akan tinggal selama berhari-hari untuk beristirahat dan memulihkan diri. Tarif perkamarnya murah, dan ada dapur umum tempat tamu bisa memasak makanan sederhana. Aku menikmati berendam di kamar mandi dan tidur sebanyak yang kuinginkan. Aku berbaring di tatami, membaca, dan pulih dari semua kelelahan karena mengemudi terlalu lama. Ketika aku bosan membaca aku akan mengeluarkan buku sketsaku dan menggambar. Sudah lama aku tidak menggambar. Aku mulai membuat sketsa bunga dan pohon di taman, lalu menggambar kelinci yang mereka pelihara di sana. Hanya sketsa pensil kasar, tapi orang-orang terkesan. Beberapa meminta aku untuk menggambar potrait mereka. Sesama tamu penginapan, dan orang-orang yang bekerja di sana. Orang-orang hanya numpang lewat di hidupku, orang-orang yang tidak akan pernah kulihat lagi. Dan jika mereka meminta, aku akan memberikannya.
Saatnya kembali ke Tokyo, kataku kepada diri sendiri. Tetap seperti ini tak akan membuatku ke mana-mana. Dan aku ingin melukis lagi. Bukan lagi melukis potrait, atau sketsa kasar, tetapi lukisan di mana aku benar-benar dapat berkonsentrasi, dan mengerjakannya sendiri. Apakah ini akan berhasil atau tidak, entahlah, tapi sudah waktunya untuk mengambil langkah pertama.
Aku telah berencana mengendarai Peugeot melintasi wilayah Tohoku dan kembali ke Tokyo, tetapi tepat sebelum Iwaki, di sepanjang Highway 6, mobilku menghembuskan nafas terakhir. Ada celah di saluran bahan bakar dan mobil tidak bisa nyala. Aku belum menyervis mobil sampai saat ini, jadi aku tidak seharunya mengeluh ketika ini terjadi. Salah satu keberuntunganku adalah mobilku mogok tepat di dekat garasi di mana seorang mekanik yang ramah bekerja. Sulit untuk mendapatkan suku cadang untuk Peugeot tua di tempat seperti itu, dan akan memakan banyak waktu. Bahkan jika kami memperbaikinya, kata si mekanik, mobilku akan mogok lagi. Sabuk kipas tampak samar, bantalan rem sudah habis, dan suspensi hampir tidak berfungsi.
“Saranku? Hentikan kesengsaraannya,” katanya. Mobil itu bersamaku selama satu setengah bulan di jalan, dan sekarang sudah hampir tujuh puluh lima ribu mil di odometer. Sangat berat mengucapkan selamat tinggal pada Peugeot, tetapi aku harus meninggalkannya. Rasanya seperti mobilku mati demi kepentinganku.
Untuk berterima kasih padanya karena telah membuang mobil untukku, aku memberikan simekanik itu tenda, kantong tidur, dan peralatan berkemah. Aku membuat satu sketsa terakhir Peugeot, dan kemudian, memanggul tas olahragaku, naik kereta Joban dan kembali ke Tokyo. Dari stasiun aku menelepon Masahiko Amada dan menjelaskan keadaanku. Pernikahanku berantakan dan aku pergi berlibur sementara waktu, ucapku, tapi sekarang aku kembali ke Tokyo. Apakah kau tahu rumah yang bisa kutempati? tanyaku.
Aku tahu tempat yang bagus, katanya. Itu rumah tempat ayahku tinggal lama sendirian. Dia di panti jompo di Izu Kogen, dan rumah itu kosong untuk sementara waktu. Rumah itu lengkap dan memiliki semua yang kau butuhkan, jadi kau tidak perlu melakukan apa pun lagi. Daerah itu sebenarnya bukan lokasi yang nyaman, tetapi masih bisa menelepon. Jika itu terdengar bagus, kau sebaiknya mencobanya.
Sempurna, kataku padanya. Itu sudah cukup.
Begitu juga dengan kehidupan baruku, di tempat baru, bermula.
Baca cuplikan sebelumnya di sini