Einstein dan Hal-hal Gaib Setelah Kematiannya
(Muh. Syahrul Padli)
Ya, kau juga tahu, Minggu 18 April 1955 adalah tanggal yang akan tercatat selamanya. Pada tanggal tersebut Einstein telah bergabung dalam keseimbangan yang baru; ia telah berada di sisi Allah.
Sudah 65 tahun peristiwa itu berlalu namun masih memiliki gema aneh di kepalaku. Pada hari itu, sebuah cahaya aneh terpancar dari ruh Einstein yang belum terbang ke langit. Hanya aku yang bisa melihatnya. Jadi, sangat tak keliru jika kukatakan bahwa sebuah hal gaib sedang terjadi.
Bau kematian rumah sakit memang belum hilang. Jejak suara terakhir Einstein sebelum mangkat bahkan belum terhapus dari ingatan. Tetapi perwakilan pemerintah membentangkan tangan akan mengangkut mayat Einstein menuju mobil kehormatan yang akan membawanya ke pemakaman istimewa. Aku bersikeras menolak. Entah seberapa tidak berartinya diriku yang hanya sebagai murid, sebagaimana keinginannya, akan kubawa beliau ke krematorium lalu abunya akan kutuang di sungai agar mengendap di delta-delta. Tanpa daya pun, aku tetap ingin mengantar Einstein ke peristirahatan yang ia dambakan.
Sementara dalam pandangan anak sulung Einstein, Hans Albert yang masih sangat awas, ketika ketegangan terjadi dan perwakilan pemerintah memaksa mayat Einstein agar segera naik mobil kehormatan, di kedua bahu ruh Einstein tumbuh sayap putih terang yang menyilaukan mata. Sayap-sayap itu seakan tak sabar menerbangkan sang manusia terpilih ke langit suci tempat di mana Tuhan bersemayam di Arys-nya. Namun di luar dugaan, ruh Einstein menanggalkan bulu-bulu indah yang barangkali diberikan oleh Malaikat Jibril itu. Bahkan dia memberi isyarat padaku agar tak terpesona pada setiap keajaiban yang mengucur setelah seseorang khusyuk berjuang demi menelusuri keagungan sang pencipta melalui hukum gravitasi. Lewat bisikan batin dari ruh agungnya, aku hampir tidak sadarkan diri. Untunglah aku bisa menguasai pikiranku dan menanamkan dalam kepalaku bahwa sisi keimananku tak perlu takjub pada segala peristiwa tak masuk akal yang menyelimuti rumah sakit bahkan seluruh bumi itu.
Aku sangat bersyukur ada di sana dalam keheningan yang menggetarkan. Namaku Dr. Haji Bolongan Daeng Ngalle Ph.D dari Makassar. Aku murid terakhir Einstein yang telah mengerti betapa kegaiban bisa menghunjam kepada siapa pun yang dipilih Allah. Bahkan untuk seorang pemikir yang sering dicap tak percaya Tuhan. Tak peduli apa pun, ketika semua keganjilan datang, kita hanya mampu mengangguk dan percaya bahwa rahmat Tuhan bisa muncul dari sosok yang tak terduga.
Sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir, aku juga memberi isyarat kepada istri Einstein, Bu Elsa, dan anak-anaknya agar tak meracau. Aku tak ingin pekikan kesedihan atau ratapan itu akan mengganggu takdir Allah yang telah tergariskan. Aku tak ingin mereka bersedih karena Einstein telah berbahagia dan ada dalam ketenangan yang sebenarnya.
Tentu beberapa orang tak melihat tanda-tanda itu. Tentu mereka tak terlatih menangkap isyarat-isyarat dari Allah. Ya, memang tak semua orang dikaruniai kepekaan hati. Maka sangat wajar mereka tak bisa menghargai keinginan terakhir Einstein. Karena itu aku harus melawan kepongahan mereka.
”Mengapa saya tidak diperkenankan membiarkan Einstein pulang dengan sesederhana yang dimaunya, Tuan-tuan? Apa lagi yang harus saya lakukan di sini untuk meyakinkan kalian? Saya akan melawan dengan sepenuh jiwa semata-mata untuk memastikan guru saya, Professor Einstein, pergi sebagaimana fisikawan harusnya tak diistimewakan layaknya orang-orang yang dianggap suci lalu dibikinkan monumen atau petilasan.”
”Jangan menghalangi kami, orang asing. Semua yang kami lakukan demi menghormati jasa beliau,” kata perwakilan pemerintah dengan tatapan meremehkan.
”Jadi, Anda semua ingin melakukan penghormatan atas mayat beliau dengan melakukan hal-hal seremonial yang jauh dari kemurnian? Jika Anda betul-betul menghargai Einstein, ikutilah keinginan terakhir beliau. Biarkanlah semua prosesi kremasi berjalan khidmat tanpa pengistimewaan yang berlebihan.”
Setelah itu, kau tahu, ruh agung Einstein melesat dengan kecepatan cahaya, terbang ke langit, membumbung menembus kabut, menuju sisi terluar galaksi Bimasakti dan gugus galaksi, menghilang dari pandanganku yang tak lagi takjub.
Mengapa aku menguburkan ketakjuban pada ruh yang terbang ke penciptanya? Karena memang tak semua hal harus ditakjubi. Takjublah pada mengapa Einstein ingin menyingkap rahasia alam semesta melalui sebuah rumus bernama Teori Segala Sesuatu. Takjublah mengapa dia menentang pandangan kaku orang-orang yang dibutakan sains dan logika materialistik. Ketahuilah, andaikata seisi rumah sakit paham apa yang kualami, maka bangunan itu akan dipenuhi pekik keagungan Tuhan. Sayangnya hanya aku yang mengerti semua hal tak terjelaskan akal sehat yang terjadi saat itu. Dan sayangnya lagi, aku tak punya daya, untuk memenuhi keinginan terakhir Einstein.
Aku coba berpasrah. Sambil menggamit tangan Hans Albert, aku menyingkir dari kamar baring yang kian tampak sebagai ruangan jagal. ”Jangan katakan kepada siapa pun apa yang aku lihat. Aku percaya kau tak akan menyebarkan sesuatu yang mungkin bisa menyesatkan umat ilmiah. Ketakjuban, kau tahu, kadang-kadang bisa disalahartikan orang yang kotor jiwanya.”
Hans Albert tak membalas ucapanku dan hanya menatap dengan mata yang kosong. Mungkin kesedihan masih menumpuk dalam batinnya.
Detil kejadian itu masih terbayang di kepalaku. Aku bisa menceritakannya lebih panjang jika aku mau. Tapi aku pikir, itu tidak perlu saat ini. Aku akan menuliskannya lain kali jika masih diberi kesehatan oleh Allah. Karena itu, untuk mengakhiri orbituari ini, aku ingin mengatakan kalimat-kalimat berikut:
“Tak ada kematian, tak ada kehilangan. Yang ada hanyalah pergantian wujud. Aku tidak percaya Einstein menghilang dari dunia. Ia hanya meninggalkan kita menuju tempat lebih baik. Aku juga percaya ia telah menyatu dengan alam semesta; dengan pohon, dengan bunga, dengan hujan dengan angin dan dengan awan. Einstein telah bergabung dalam keseimbangan yang baru. Ia telah berada di sisi Allah SWT dalam keabadian.”
Takalar, 5 Desember 2019