Haruki Murakami: Seni Bercerita dalam Fiksi (Bagian 1)

Muh. Syahrul Padli

--

(No 182 Wawancara dengan John Wray, Paris Review No170, Musim Panas 2004)

image source

Haruki Murakami bisa dibilang adalah novelis Jepang paling eksperimental yang karyanya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan dia juga yang paling populer, dengan penjualan mencapai jutaan kopi di seluruh dunia. Novel-novelnya yang paling menarik sering kali berada di antara batas realisme dan dongeng, cerita detektif dan fiksi ilmiah. Misalnya, Hard-Boiled Wonderland and the End of the World menampilkan tokoh utama yang secara harfiah memiliki dua pikiran, sementara The Wind-Up Bird Chronicle, mungkin karya yang paling dikenal di luar Jepang, dimulai dengan cerita yang biasa — seorang pria mencari istrinya yang hilang — lalu perlahan berubah menjadi narasi yang sangat aneh, seperti Tristram Shandy karya Laurence Sterne. Dunia Murakami adalah dunia alegoris (perumpamaan/analogi), yang dibangun dengan simbol-simbol yang familiar — sumur kosong, kota bawah tanah — tetapi makna dari simbol-simbol tersebut tetap tersembunyi sampai akhir. Meski terpengaruh oleh budaya populer (terutama budaya pop Amerika), bisa dibilang tidak ada karya penulis lain yang lebih individualis daripada dia.

Murakami lahir pada tahun 1949 di Kyoto, ibu kota kuno Jepang, dari keluarga kelas menengah yang memiliki ketertarikan pada budaya nasional: ayahnya seorang guru sastra Jepang, kakeknya seorang biksu Buddha. Ketika ia berusia dua tahun, keluarganya pindah ke Kobe, dan di kota pelabuhan yang ramai ini, dengan banyaknya orang asing (terutama pelaut Amerika), yang membentuk kepekaannya. Menolak sastra, seni, dan musik Jepang sejak usia muda, Murakami lebih merasa terhubung dengan dunia luar Jepang, dunia yang ia kenal hanya melalui rekaman jazz, film Hollywood, dan novel murah di toko buku.

Saat menjadi mahasiswa di Tokyo pada akhir tahun 60-an, Murakami mulai tertarik dengan fiksi postmodern sambil menyaksikan, dengan tenang namun penuh simpati, gerakan protes yang mencapai puncaknya. Ia menikah di usia 23 tahun dan menghabiskan beberapa tahun berikutnya menjalankan klub jazz di Tokyo, Peter Cat, sebelum publikasi novel pertamanya memungkinkan dia untuk hidup dari menulis. Novel tersebut, Hear the Wind Sing, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris namun tidak dijual di luar Jepang atas permintaan sang penulis, membawanya memenangkan Penghargaan Sastra Gunzo dan mendapatkan pembaca pertama. Dengan setiap buku yang terbit, ketenarannya semakin berkembang, hingga pada tahun 1987, dengan terbitnya novel realistis pertamanya, Norwegian Wood, menjadikannya seorang megabintang sastra dan “suara” dari generasinya — seperti J.D. Salinger versi Jepang di era 80-an. Buku tersebut terjual lebih dari dua juta cetakan di Jepang, setara dengan satu cetakan untuk setiap rumah tangga di Tokyo.

Sejak itu, Murakami menjadi selebriti yang tidak ingin dikenal di negara asalnya, sering tinggal di luar negeri untuk menjaga jarak dari citra publiknya. Ia pernah tinggal di Eropa dan AS; The Wind-Up Bird Chronicle, misalnya, ditulis saat ia mengajar di Princeton dan Tufts. Meskipun ia tidak pernah kembali ke lirikisme langsung seperti di Norwegian Wood, novel-novelnya terus menemukan audiens yang semakin luas — novel barunya, Kafka on the Shore, sudah terjual tiga ribu kopi di Jepang dan akan diterbitkan dalam bahasa Inggris akhir tahun ini. Secara internasional, Murakami kini menjadi novelis Jepang yang paling banyak dibaca dari generasinya; ia telah memenangkan hampir semua penghargaan sastra yang ada di Jepang, termasuk penghargaan tertinggi, Penghargaan Sastra Yomiuri. Ia juga seorang penerjemah yang sangat aktif, memperkenalkan penulis-penulis seperti Raymond Carver, Tim O’Brien, dan F. Scott Fitzgerald kepada pembaca Jepang, banyak di antaranya untuk pertama kalinya.

Kantor Murakami terletak di Aoyama, Tokyo, yang setara dengan SoHo di New York City, daerah penuh butik. Bangunan itu sendiri tampak rendah dan kuno, seolah perubahan di lingkungan sekitar terjadi tanpa seizin bangunan itu. Murakami menyewa sebuah suite (kumpulan benda-benda yang saling terhubung, seperti kamar-kamar yang disatukan di sebuah hotel atau apartemen — penerjemah) berukuran sedang di lantai enam gedung tersebut, dan ruangannya memberi kesan yang sama: lemari kayu sederhana, kursi putar, meja tertutup Mylar — perabot kantor, intinya. Dekorasi ruangannya terasa sangat tidak sesuai dengan gambaran studio seorang penulis, namun sekaligus entah kenapa terasa cocok: karakter-karakternya sering kali berada di lingkungan sehari-hari seperti itu ketika dunia mimpi pertama kali memanggil mereka. Ternyata, meskipun dia kadang menulis di sana, fungsi utama kantornya adalah sebagai pusat saraf untuk urusan bisnis karir Murakami. Suasana di sana terasa sibuk dengan industri yang sopan. Tidak kurang dari dua asisten bergerak dengan cekatan memakai kaus kaki tipis.

Selama wawancara berikut, yang berlangsung dua sore berturut-turut, dia menunjukkan sikap yang siap tertawa, yang terasa menyenangkan dan agak bertentangan dengan ketenangan kantornya. Dia jelas seorang yang sibuk dan, menurut pengakuannya, tidak suka berbicara, tapi begitu percakapan serius dimulai, aku merasa dia sangat fokus dan terbuka. Dia berbicara lancar, tetapi dengan jeda panjang di antara pernyataan-pernyataan, sangat berhati-hati untuk memberikan jawaban yang seakurat mungkin. Ketika pembicaraan beralih ke jazz atau maraton, dua hal yang sangat ia gemari, dia bisa dengan mudah disangka sebagai pria yang dua puluh tahun lebih muda, atau bahkan seorang remaja berusia lima belas tahun.

WAWANCARA Aku baru saja membaca After the Quake, kumpulan ceritamu yang terbaru, dan aku tertarik bagaimana kamu dengan bebas mencampur cerita yang realistik, seperti novel Norwegian Wood, dengan cerita yang lebih mirip The Wind-Up Bird Chronicle atau Hard-Boiled Wonderland and the End of the World. Apakah menurutmu ada perbedaan mendasar antara kedua bentuk itu?

HARUKI MURAKAMI Gaya penulisanku, atau yang kuanggap sebagai gaya bertuturku, sangat dekat dengan Hard-Boiled Wonderland. Aku pribadi tidak suka gaya realistis. Aku lebih suka gaya yang lebih surealis. Tapi dengan Norwegian Wood, kuputuskan untuk menulis novel yang seratus persen realistis. Aku membutuhkan pengalaman itu.

WAWANCARA Apakah kamu memikirkan buku itu sebagai latihan gaya atau kamu memang memiliki cerita tertentu yang paling baik diceritakan dengan gaya realistik?

MURAKAMI Aku bisa saja menjadi penulis kultus jika terus menulis novel-novel surealis. Tapi aku ingin masuk ke arus utama, jadi harus kubuktikan bahwa aku bisa menulis buku yang realistis. Itu sebabnya aku menulis buku itu. Buku itu menjadi best-seller di Jepang dan aku memang mengharapkan hasil itu.

WAWANCARA Jadi itu sebenarnya pilihan yang strategis.

MURAKAMI Benar. Norwegian Wood sangat mudah dibaca dan mudah dipahami. Banyak orang menyukai buku itu. Mungkin dari sana mereka kemudian tertarik dengan karyaku yang lain; jadi itu sangat membantu.

WAWANCARA Jadi pembaca Jepang itu seperti pembaca Amerika? Mereka ingin cerita yang mudah?

MURAKAMI Buku terbaruku, Kafka on the Shore, terjual tiga ratus ribu cetakan — dibagi dalam dua volume di sini. Aku terkejut mendapati buku itu terjual sebanyak itu; bukan hal biasa. Ceritanya sangat rumit dan sulit diikuti. Tapi gaya penulisanku, prosaku, sangat mudah dibaca. Ada unsur humor, drama, dan membuat pembaca ingin terus membaca. Ada semacam keseimbangan ajaib antara dua faktor itu; mungkin itu juga salah satu alasan kesuksesanku. Tapi tetap saja, itu luar biasa. Aku menulis novel setiap tiga atau empat tahun, dan orang-orang sudah menunggunya. Aku pernah mewawancarai John Irving, dan dia bilang membaca buku yang bagus itu seperti kecanduan. Begitu mereka ketagihan, mereka akan selalu menunggu.

WAWANCARA Jadi kamu ingin membuat pembaca menjadi pecandu?

MURAKAMI Itu yang dikatakan John Irving.

WAWANCARA Dua faktor itu — suara narasi yang mudah diikuti dan plot yang sering kali membingungkan — apakah itu pilihan yang sengaja kamu buat?

MURAKAMI Tidak, itu tidak sengaja. Ketika mulai menulis, aku tidak punya rencana sama sekali. Aku hanya menunggu cerita itu datang. Aku tidak memilih cerita apa yang akan kutulis atau apa yang akan terjadi. Aku hanya menunggu. Norwegian Wood adalah hal yang berbeda, karena kuputuskan menulis dengan gaya realistik. Tapi pada dasarnya, aku tidak bisa memilih.

WAWANCARA Tapi apakah kamu memilih suara cerita itu, suara yang datar, mudah diikuti itu? Apakah itu pilihanmu?

MURAKAMI Aku mendapatkan beberapa potongan gambar dan menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya. Itulah garis cerita. Kemudian kujelaskan garis cerita itu kepada pembaca. Harus sangat maksimal ketika menjelaskan sesuatu. Jika berpikir, “Ini oke, aku tahu itu,” itu adalah sikap yang sangat sombong. Kata-kata yang mudah dan metafora yang baik; alegori yang baik. Jadi itulah yang kulakukan. Aku menjelaskan dengan sangat hati-hati dan jelas.

WAWANCARA Apakah itu datang secara alami untukmu?

MURAKAMI Aku bukan orang yang pintar. Aku bukan orang yang sombong. Aku hanya seperti orang-orang yang membaca bukuku. Dulu aku punya kelab jazz, dan aku yang membuat koktail dan membuat sandwich. Aku tidak ingin menjadi penulis — semua terjadi begitu saja. Semacam hadiah, kira-kira begitu, dari langit. Jadi aku rasa aku harus sangat rendah hati.

WAWANCARA Pada usia berapa kamu mulai menjadi penulis? Apakah itu mengejutkanmu?

MURAKAMI Saat aku berusia dua puluh sembilan tahun. Oh, ya, itu mengejutkan. Tapi aku cepat terbiasa.

WAWANCARA Cepat? Dari hari pertama menulis, kamu merasa nyaman?

MURAKAMI Aku mulai menulis di meja dapur setelah tengah malam. Butuh sepuluh bulan untuk menyelesaikan buku pertama itu; kukirim ke penerbit dan aku mendapat semacam penghargaan, jadi rasanya seperti mimpi — aku terkejut melihat itu terjadi. Tapi setelah sejenak, aku berpikir, Ya, ini sudah terjadi dan aku seorang penulis; kenapa tidak? Begitu saja.

WAWANCARA Bagaimana reaksi istrimu terhadap keputusanmu untuk mulai menulis?

MURAKAMI Dia tidak mengatakan apa-apa; dan ketika kubilang, “Aku seorang penulis,” dia terkejut dan agak malu.

WAWANCARA Kenapa dia malu? Apa dia pikir kamu tidak akan berhasil?

MURAKAMI Menjadi penulis itu agak mencolok.

WAWANCARA Siapa yang menjadi panutanmu? Penulis Jepang mana yang memengaruhimu?

MURAKAMI Aku tidak banyak membaca penulis Jepang ketika aku kecil atau bahkan di masa remaja. Aku ingin melarikan diri dari budaya ini; aku merasa semua itu membosankan. Terlalu mengekang.

WAWANCARA Bukankah ayahmu seorang guru sastra Jepang?

MURAKAMI Benar. Jadi itu juga masalah hubungan ayah-anak. Aku justru lebih condong ke budaya Barat: musik jazz, Dostoevsky, Kafka, dan Raymond Chandler. Itulah duniaku, dunia fantasiku. Aku bisa pergi ke St. Petersburg atau West Hollywood kalau mau. Itu kekuatan novel — kita bisa pergi ke mana saja. Sekarang mudah untuk pergi ke AS — semua orang bisa pergi ke mana saja di dunia — tapi di tahun 1960-an itu hampir tidak mungkin. Jadi aku hanya membaca dan mendengarkan musik dan aku bisa pergi ke sana. Itu semacam kondisi di pikiran, seperti mimpi.

PENANYA Dan itu membawamu pada titik tertentu untuk mulai menulis.

MURAKAMI Benar. Saat aku berusia dua puluh sembilan, aku mulai menulis novel begitu saja. Aku ingin menulis sesuatu, tapi aku tidak tahu caranya. Aku tidak tahu cara menulis dalam bahasa Jepang — aku hampir tidak pernah membaca karya-karya penulis Jepang — jadi aku meniru gaya, struktur, semuanya, dari buku-buku yang kubaca — buku-buku Amerika atau Barat. Alhasil, aku menemukan gaya asli milikku sendiri. Jadi itulah permulaannya.

PENANYA Buku pertamamu diterbitkan, kamu memenangkan penghargaan dan bisa dibilang kamu sudah di jalur yang tepat. Apakah kamu mulai bertemu dengan penulis lain?

MURAKAMI Tidak, sama sekali.

PENANYA Kamu tidak punya teman yang seorang penulis waktu itu?

MURAKAMI Tidak ada.

PENANYA Dan seiring berjalannya waktu, apakah kamu bertemu dengan seseorang yang menjadi teman atau rekan?

MURAKAMI Tidak, sama sekali.

PENANYA Hingga sekarang, kamu nggak punya teman yang seorang penulis?

MURAKAMI Tidak. Aku rasa tidak ada.

PENANYA Apakah ada seseorang yang kamu tunjukkan karyamu saat sedang dalam proses?

MURAKAMI Tidak pernah.

PENANYA Bagaimana dengan istrimu?

MURAKAMI Ya, aku menunjukkan manuskrip awal dari novel pertamaku, tapi katanya dia tidak pernah membacanya! Jadi dia tidak punya kesan sama sekali, aku rasa begitu.

PENANYA Dia tidak terkesan.

MURAKAMI Tidak. Tapi itu adalah draf pertama dan buruk sekali. Aku menulis ulang dan menulis ulang.

PENANYA Sekarang, saat kamu sedang mengerjakan sebuah buku, apakah dia pernah penasaran tentang apa yang kamu tulis?

MURAKAMI Dia adalah pembaca pertamaku, setiap kali aku menulis buku. Aku bergantung kepadanya. Dia semacam partner-ku. Seperti Scott Fitzgerald — untuk dia, Zelda adalah pembaca pertama.

PENANYA Jadi, kamu tidak pernah merasa, pada titik mana pun dalam karirmu, bahwa kamu bagian dari komunitas penulis?

MURAKAMI Aku seorang yang penyendiri. Aku tidak suka kelompok, aliran, atau lingkaran sastra. Di Princeton, ada semacam kantin, dan aku diundang makan di sana. Joyce Carol Oates ada di sana dan Toni Morrison juga, aku begitu takut sampai tidak bisa makan sama sekali! Mary Morris juga ada, dia orang yang sangat baik, hampir seumuranku, dan kami menjadi teman, bisa dibilang begitu. Tapi di Jepang, aku tidak punya teman sesama penulis, karena aku lebih suka menjaga… jarak.

PENANYA Kamu menulis sebagian besar dari The Wind-Up Bird Chronicle di Amerika. Apakah tinggal di sana memengaruhi proses menulismu atau teks itu sendiri?

MURAKAMI Selama empat tahun menulis The Wind-Up Bird Chronicle, aku tinggal di Amerika sebagai orang asing. “Kehabisan tempat” itu selalu mengikutiku seperti bayangan, dan itu juga berlaku untuk tokoh utama dalam novel itu. Kalau kupikir-pikir, jika aku menulisnya di Jepang, mungkin bukunya akan sangat berbeda. Perasaaan asing di tempatku saat tinggal di Amerika berbeda dari perasaan asing yang aku rasakan di Jepang. Di Amerika lebih terlihat jelas dan langsung, dan itu memberi aku pemahaman yang lebih jelas tentang diriku sendiri. Proses menulis novel ini semacam proses membuat diriku telanjang, dalam arti tertentu.

PENANYA Apakah ada orang yang saat ini menulis di Jepang yang bukunya kamu baca dan nikmati?

MURAKAMI Ya, beberapa di antaranya. Ryu Murakami. Banana Yoshimoto — beberapa bukunya aku suka. Tapi aku tidak menulis ulasan atau kritik; aku tidak ingin terlibat dalam hal itu.

PENANYA Kenapa tidak?

MURAKAMI Aku rasa pekerjaanku adalah mengamati orang-orang dan dunia, bukan menghakimi mereka. Aku selalu berharap bisa menjaga jarak dari yang disebut kesimpulan. Aku ingin meninggalkan segala sesuatunya terbuka lebar untuk semua kemungkinan yang ada di dunia. Aku lebih suka menerjemahkan daripada mengkritik, karena hampir tidak ada yang perlu aku nilai saat menerjemahkan. Baris demi baris, aku membiarkan karya favoritku mengalir melalui tubuh dan pikiranku. Kita butuh kritik di dunia ini, pasti, tapi itu bukan pekerjaanku.

PENANYA Kembali ke bukumu sendiri: fiksi detektif Amerika yang keras jelas menjadi sumber yang berharga. Kapan pertama kali kamu terpapar dengan genre itu dan siapa yang memperkenalkanmu?

MURAKAMI Saat aku masih di SMA, aku jatuh cinta dengan novel kriminal. Aku tinggal di Kobe, kota pelabuhan tempat banyak orang asing dan pelaut datang dan menjual buku bekas mereka ke toko buku bekas. Aku tidak punya banyak uang, tapi aku bisa membeli buku bekas dengan harga murah. Aku belajar membaca bahasa Inggris dari buku-buku itu dan itu sangat menyenangkan.

PENANYA Apa buku pertama yang kamu baca dalam bahasa Inggris?

MURAKAMI The Name Is Archer, karya Ross MacDonald. Aku belajar banyak dari buku-buku itu. Begitu aku mulai, aku tidak bisa berhenti. Pada saat yang sama, aku juga suka membaca Tolstoy dan Dostoevsky. Buku-buku itu juga sangat seru; walau tebal, tapi aku tidak bisa berhenti membaca. Jadi buatku itu sama saja, Dostoevsky dan Raymond Chandler. Bahkan sekarang, idealismeku dalam menulis fiksi adalah menggabungkan Dostoevsky dan Chandler dalam satu buku. Itu tujuanku.

PENANYA Pada usia berapa pertama kali kamu membaca Kafka?

MURAKAMI Saat aku berusia lima belas. Aku membaca The Castle; itu buku yang luar biasa. Dan The Trial juga begitu.

PENANYA Menarik. Kedua novel itu belum selesai, yang tentu saja berarti mereka tidak pernah menyelesaikan ceritanya; novel-novelmu juga — terutama buku-buku terakhirmu, seperti The Wind-Up Bird Chronicle — sering kali tampak menghindari resolusi yang mungkin diharapkan pembaca. Mungkinkah itu berhubungan dengan pengaruh Kafka?

MURAKAMI Bukan hanya itu. Kamu pasti sudah baca Raymond Chandler, kan? Bukunya tidak benar-benar memberikan kesimpulan. Dia mungkin akan bilang, “Dia si pembunuh,” tapi tidak penting buatku siapa yang melakukannya. Ada episode menarik saat Howard Hawks membuat film The Big Sleep. Hawks tidak bisa memahami siapa yang membunuh sopir, jadi dia telepon Chandler dan bertanya, dan Chandler jawab, “Aku tidak peduli!” Sama halnya dengan aku. Kesimpulan itu tidak berarti apa-apa. Aku tidak peduli siapa sosok pembunuh di The Brothers Karamazov.

PENANYA Dan meskipun begitu, rasa ingin tahu untuk tahu siapa yang membunuh sopir adalah bagian yang membuat The Big Sleep jadi buku yang bikin penasaran.

MURAKAMI Aku sendiri, saat menulis, tidak tahu siapa yang melakukannya. Pembaca dan aku berada di posisi yang sama. Saat aku mulai menulis cerita, aku sama sekali tidak tahu bagaimana ceritanya akan berakhir atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika ada kasus pembunuhan di awal cerita, aku tidak tahu siapa pembunuhnya. Aku menulis buku itu karena aku ingin mencari tahu. Kalau aku sudah tahu siapa pembunuhnya, tidak ada tujuan menulis cerita itu.

PENANYA Apakah ada juga rasa tidak ingin menjelaskan bukumu, seperti halnya sebuah mimpi yang kehilangan kekuatannya begitu dianalisis?

MURAKAMI Hal baik tentang menulis buku adalah bisa bermimpi saat terjaga. Kalau itu mimpi nyata, kita tidak bisa mengontrolnya. Saat menulis buku, seseorang terjaga; bisa memilih waktu, tebalnya, semuanya. Aku menulis selama empat atau lima jam di pagi hari, dan saat waktunya tiba, aku berhenti. Aku bisa melanjutkan keesokan harinya. Kalau itu mimpi yang nyata, tidak bisa melakukan itu.

PENANYA Kamu bilang kamu tidak tahu siapa pembunuhnya saat menulis, tapi ada satu pengecualian yang terlintas dalam pikiranku: karakter Gotanda di Dance Dance Dance. Ada semacam pembangunan yang sengaja menuju momen saat Gotanda mengaku — dalam gaya klasik novel kriminal, dia diperkenalkan kepada kita sebagai orang terakhir yang patut dicurigai. Apakah kamu mungkin sudah tahu Gotanda bersalah sebelumnya?

Lanjut ke Part 2

--

--

No responses yet