Haruki Murakami: Seni Bercerita dalam Fiksi (Bagian 3)

Muh. Syahrul Padli
10 min readFeb 9, 2025

--

(No 182 Wawancara dengan John Wray, Paris Review No170, Musim Panas 2004)

MURAKAMI: Bisa dianggap begitulah tanggapanku terhadap fakta bahwa “keluarga” telah memainkan peran yang terlalu signifikan dalam sastra Jepang tradisional. Aku ingin menggambarkan karakter utamaku sebagai individu yang mandiri dan absolut. Statusnya sebagai penghuni kota juga ada kaitannya dengan itu. Dia adalah tipe orang yang memilih kebebasan dan kesendirian daripada keintiman dan ikatan pribadi.

INTERVIEWER: Saat aku membaca “Super-Frog Saves Tokyo” dalam koleksi cerita terbarumu, di mana cacing raksasa bawah tanah yang hidup dalam-dalam di bawah Tokyo mengancam dengan kehancuran, aku tidak bisa tidak berpikir tentang manga, atau film monster gaya lama Jepang. Lalu ada juga mitos tradisional tentang ikan lele raksasa yang tidur di Teluk Tokyo yang, menurut legenda, terbangun setiap lima puluh tahun dan menyebabkan gempa bumi. Apakah asosiasi-asosiasi ini masuk akal bagimu? Bagaimana dengan manga, misalnya? Apakah kamu melihat hubungan dengan karyamu?

MURAKAMI: Tidak, aku rasa tidak. Aku bukan penggemar berat komik manga. Aku tidak terpengaruh oleh hal-hal itu.

INTERVIEWER: Bagaimana dengan cerita rakyat Jepang?

MURAKAMI: Ketika masih kecil, aku sering mendengar banyak cerita rakyat Jepang dan cerita-cerita lama. Cerita-cerita itu sangat penting ketika kita tumbuh dewasa. Misalnya, sosok Super-Frog mungkin berasal dari kumpulan cerita itu. Kamu memiliki kumpulan cerita rakyat Amerika, orang Jerman memiliki milik mereka, orang Rusia punya milik mereka. Tetapi ada juga kumpulan bersama yang bisa kita ambil dari sana: The Little Prince, McDonald’s, atau Beatles.

INTERVIEWER: Kumpulan budaya pop global.

MURAKAMI: Narasi sangat penting sekarang dalam menulis buku. Aku tidak peduli dengan teori-teori. Aku tidak peduli dengan kosakata. Yang penting adalah apakah narasinya bagus atau tidak. Kita memiliki semacam cerita rakyat baru, sebagai hasil dari dunia internet ini. Ini adalah semacam metafora. Aku sudah menonton film The Matrix — itu adalah cerita rakyat dari pikiran kontemporer. Tetapi semua orang di sini bilang itu membosankan.

INTERVIEWER: Apakah kamu sudah menonton film anime Hayao Miyazaki Spirited Away? Sepertinya ada kesamaan tertentu dengan buku-bukumu, karena dia juga memanipulasi materi rakyat dengan cara kontemporer. Apakah kamu menikmati film-filmnya?

MURAKAMI: Tidak. Aku tidak suka film animasi. Aku hanya menonton sedikit bagian dari film itu, tetapi itu bukan gayaku. Aku tidak tertarik dengan hal semacam itu. Ketika menulis buku, aku mendapatkan sebuah gambaran, dan gambaran itu sangat kuat.

INTERVIEWER: Apakah kamu sering pergi ke bioskop?

MURAKAMI: Oh, ya. Selalu. Sutradara favoritku berasal dari Finlandia — Aki Kaurismäki. Setiap filmnya kusukai. Dia sangat luar biasa.

INTERVIEWER: Dan lucu.

MURAKAMI: Sangat lucu.

INTERVIEWER: Kamu mengatakan sebelumnya bahwa humor itu menstabilkan. Apakah itu berguna dengan cara lain?

MURAKAMI: Aku ingin pembacaku tertawa sesekali. Banyak pembaca di Jepang membaca buku-bukuku di kereta saat bepergian. Rata-rata pekerja kantoran menghabiskan dua jam sehari untuk bepergian dan mereka menghabiskan waktu itu dengan membaca. Itulah sebabnya buku tebalku dicetak dalam dua jilid: Jika dalam satu jilid, akan terlalu berat. Beberapa orang menulis surat kepadaku, mengeluh bahwa mereka tertawa saat membaca bukuku di kereta! Itu sangat memalukan bagi mereka. Itu adalah surat-surat yang paling kusukai. Aku tahu mereka tertawa saat membaca bukuku; itu bagus. Aku suka membuat orang tertawa setiap sepuluh halaman.

INTERVIEWER: Apakah itu formula rahasiamu?

MURAKAMI: Aku tidak menghitungnya. Tetapi jika aku bisa mengaturnya, itu akan bagus. Aku suka membaca Kurt Vonnegut dan Richard Brautigan saat masih mahasiswa. Mereka memiliki rasa humor, dan pada saat yang sama, apa yang mereka tulis itu serius. Aku suka buku-buku semacam itu. Pertama kali membaca Vonnegut dan Brautigan, aku terkejut menemukan bahwa ada buku-buku seperti itu! Rasanya seperti menemukan Dunia Baru.

INTERVIEWER: Tapi kamu tidak pernah tergoda untuk menulis sesuatu dengan gaya seperti itu?

MURAKAMI: Aku rasa dunia itu sendiri adalah semacam komedi, kehidupan perkotaan ini. TV dengan lima puluh saluran, orang-orang bodoh di pemerintah — itu adalah komedi. Jadi aku berusaha serius, tetapi semakin keras mencoba, semakin komikal aku. Kami sangat serius saat aku berusia sembilan belas tahun, pada tahun 1968 dan 1969. Itu adalah masa yang serius, dan orang-orang sangat idealis.

INTERVIEWER: Menarik bahwa Norwegian Wood, yang berlatar waktu itu, mungkin adalah bukumu yang paling sedikit mengandung unsur komedi.

MURAKAMI: Dalam arti itu, generasi kami adalah generasi yang serius. Tetapi melihat kembali masa itu, itu sangat komikal! Itu adalah waktu yang ambigu. Jadi kami — generasiku— mungkin sudah terbiasa dengan itu.

INTERVIEWER: Salah satu aturan dasar dalam realisme magis adalah tidak menyoroti unsur-unsur fantastis dari cerita. Bagaimanapun, mengabaikan aturan ini: karakter-karakter sering berkomentar tentang keanehan alur cerita, bahkan menarik perhatian pembaca kepadanya. Apa tujuan dari ini? Kenapa?

MURAKAMI: Itu pertanyaan yang sangat menarik. Aku ingin memikirkannya… Nah, aku rasa itu adalah pengamatan jujurku tentang betapa anehnya dunia ini. Para protagonisku sedang mengalami apa yang kualami saat aku menulis, yang juga merupakan apa yang pembaca alami saat mereka membaca. Kafka atau García Márquez, apa yang mereka tulis lebih ke sastra, dalam pengertian klasik. Cerita-ceritaku lebih nyata, lebih kontemporer, lebih kepada pengalaman postmodern. Pikirkan seperti set film, di mana segala sesuatu — semua properti, buku-buku di dinding, rak-rak — semuanya palsu. Dindingnya terbuat dari kertas. Dalam jenis realisme magis klasik, dinding dan buku itu nyata. Jika sesuatu itu palsu dalam fiksiku, aku suka mengatakan itu palsu. Aku tidak ingin berpura-pura itu nyata.

INTERVIEWER: Untuk melanjutkan metafora set film, apakah menarik mundurnya kamera dimaksudkan untuk menunjukkan cara kerja studio?

MURAKAMI: Aku tidak ingin meyakinkan pembaca bahwa itu adalah hal yang nyata; aku ingin menunjukkan apa adanya. Dalam arti tertentu, aku memberi tahu pembaca bahwa ini hanya cerita — ini palsu. Tetapi ketika mengalami yang palsu sebagai yang nyata, itu bisa menjadi nyata. Itu tidak mudah untuk dijelaskan.
Pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, penulis menyajikan hal yang nyata; begitulah tugas mereka. Dalam War and Peace, Tolstoy menggambarkan medan perang dengan begitu mendetail sehingga pembaca percaya itu adalah hal yang nyata. Tetapi aku tidak. Aku tidak berpura-pura itu nyata. Kita hidup di dunia palsu; kita menonton berita malam yang palsu. Kita sedang berperang dalam perang yang palsu. Pemerintah kita palsu. Tetapi kita menemukan kenyataan di dunia palsu itu. Jadi cerita kita sama; kita berjalan melalui adegan palsu, tetapi kita sendiri, saat kita berjalan melalui adegan itu, adalah nyata. Situasinya nyata, dalam arti bahwa itu adalah komitmen, itu adalah hubungan yang nyata. Itu yang ingin kutulis.

INTERVIEWER: Dalam tulisan Anda, Anda sering kembali ke detail sehari-hari berulang kali.

MURAKAMI: Aku sangat suka detail. Tolstoy ingin menulis deskripsi total; deskripsiku fokus pada area yang sangat kecil. Ketika menggambarkan detail hal-hal kecil, fokusmu semakin mendekat, dan yang terjadi sebaliknya dari Tolstoy — menjadi semakin tidak realistis. Itulah yang ingin kulakukan.

INTERVIEWER: Untuk mengambil fokus begitu dekat sehingga kamu melewati zona realisme, dan yang sehari-hari dan biasa menjadi aneh lagi?

MURAKAMI: Semakin dekat itu, semakin tidak nyata jadinya. Itulah gayaku.

INTERVIEWER: Tadi kamu menyebut García Márquez dan Kafka sebagai penulis sastra, berbeda dengan karyamu; apakah kamu tidak menganggap dirimu sebagai penulis sastra?

MURAKAMI: Aku adalah penulis sastra kontemporer, yang sangat berbeda. Pada saat Kafka menulis, kita hanya memiliki musik, buku, dan teater; sekarang kita memiliki internet, film, video sewa, dan masih banyak lagi. Kita memiliki begitu banyak kompetisi sekarang. Masalah utama adalah waktu: pada abad kesembilan belas, orang — aku berbicara tentang kelas yang punya waktu luang — memiliki begitu banyak waktu untuk dihabiskan, jadi mereka membaca buku-buku tebal. Mereka pergi ke opera dan duduk selama tiga atau empat jam. Tetapi sekarang semua orang sangat sibuk, dan tidak ada kelas yang benar-benar punya waktu luang. Memang baik untuk membaca Moby-Dick atau Dostoevsky, tetapi orang terlalu sibuk untuk itu sekarang. Jadi fiksi itu sendiri telah berubah drastis — kita harus menarik orang dan membawa mereka masuk. Penulis fiksi kontemporer menggunakan teknik dari bidang lain — jazz, video game, semuanya. Kupikir video game lebih dekat dengan fiksi daripada apapun saat ini.

INTERVIEWER: Video game?

MURAKAMI: Ya. Aku pribadi tidak suka bermain video game, tetapi aku merasakan kesamaannya. Terkadang saat menulis, aku merasa seperti desainer video game, dan pada saat yang sama, seorang pemain. Aku membuat programnya, dan sekarang aku ada di tengahnya; tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan. Semacam keterlepasan. Sebuah perasaan terpecah.

INTERVIEWER: Apakah itu caramu mengatakan bahwa meskipun kamu tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya saat menulis, bagian lain darimu tahu persis apa yang akan datang?

MURAKAMI: Secara tidak sadar, aku rasa begitu. Ketika terfokus menulis, aku tahu apa yang dirasakan oleh penulis dan aku tahu apa yang dirasakan oleh pembaca. Itu bagus — itu memberi kecepatan pada tulisanku. Karena aku ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya sebanyak yang pembaca ingin tahu. Tetapi juga harus menghentikan arusnya terkadang. Jika terlalu cepat, orang menjadi lelah dan bosan. Harus membuat mereka berhenti pada titik tertentu.

INTERVIEWER: Dan bagaimana kamu melakukannya?

MURAKAMI: Aku hanya merasakannya. Aku tahu itu saatnya untuk berhenti.

INTERVIEWER: Bagaimana dengan jazz dan musik secara umum? Seberapa bergunakah itu bagimu dalam pekerjaan?

MURAKAMI: Aku sudah mendengarkan jazz sejak berusia tiga belas atau empat belas tahun. Musik adalah pengaruh yang sangat kuat: kord-kord, melodi-melodi, ritme, sensasi blues sangat membantu saat aku menulis. Aku ingin menjadi musisi, tetapi aku tidak bisa bermain alat musik dengan baik, jadi aku menjadi penulis. Menulis buku itu seperti bermain musik: pertama aku memainkan tema, lalu aku berimprovisasi, lalu ada kesimpulan, semacam itu.

INTERVIEWER: Dalam sebuah karya jazz tradisional, tema awal akan dikembalikan lagi menjelang akhir. Apakah kamu juga begitu?

MURAKAMI: Terkadang. Jazz adalah perjalanan bagiku, perjalanan mental. Tidak berbeda dengan menulis.

Interviewer: Siapa musisi jazz favoritmu?

Murakami: Banyak sekali! Aku suka Stan Getz dan Gerry Mulligan. Waktu aku remaja, mereka musisi paling keren yang pernah ada. Aku juga suka Miles Davis dan Charlie Parker, pastinya. Kalau ditanya siapa yang paling sering aku putar di turntable (meja putar), jawabannya pasti Miles dari tahun lima puluhan sampai enam puluhan. Miles itu selalu berinovasi, orang yang terus mengikuti revolusi dirinya sendiri — aku sangat mengaguminya.

Interviewer: Kamu suka Coltrane?

Murakami: Ah, sekadarnya. Kadang-kadang dia terlalu berlebihan. Terlalu memaksa.

Interviewer: Kalau jenis musik lain?

Murakami: Aku juga suka musik klasik, terutama musik Barok (metal, alternatif, penuh kebaruan dan berbeda dari musik di era sebelumnya). Dan di buku baruku, Kafka on the Shore, tokoh utamanya, si anak laki-laki, mendengarkan Radiohead dan Prince. Aku kaget sekali: ternyata ada personel Radiohead yang suka buku-bukuku!

Interviewer: Aku tidak kaget.

Murakami: Aku baca Japanese liner notes (berisi informasi tambahan yang tidak ada dalam rilis internasional, seperti lirik yang diterjemahkan ke bahasa Jepang, esai dari kritikus musik Jepang, serta detail tentang proses pembuatan album— penerjemah) beberapa hari lalu, dan dia bilang dia suka buku-bukuku, dan aku sangat bangga.

Interviewer: Bisa ceritakan sedikit tentang Kafka on the Shore?

Murakami: Ini buku paling rumit yang pernah kutulis, bahkan lebih rumit dari The Wind-Up Bird Chronicle. Hampir tidak mungkin untuk dijelaskan.

Ada dua cerita yang berjalan paralel. Tokoh utamaku seorang anak laki-laki berumur lima belas tahun. Namanya, nama depannya, Kafka. Di alur cerita yang lain, tokoh utamanya seorang pria berumur enam puluh tahun. Dia buta huruf; dia tidak bisa menulis atau membaca. Dia semacam orang udik, tapi dia bisa bicara dengan kucing. Si anak laki-laki, Kafka, dikutuk oleh ayahnya, semacam kutukan Oedipus: kamu akan membunuhku, ayahmu, dan bercinta dengan ibumu. Dia kabur dari ayahnya, untuk menghindari kutukannya, dan dia pergi ke tempat yang jauh, tapi dia mengalami dunia yang sangat aneh, sangat tidak realistis, hal-hal seperti mimpi.

Interviewer: Kalau dari strukturnya, mirip Hard-Boiled Wonderland and the End of the World, di mana bolak-balik, bab demi bab, dari satu alur cerita ke alur cerita yang lain?

Murakami: Betul. Awalnya, aku mencoba menulis sekuel Hard-Boiled Wonderland, tapi aku memutuskan untuk menulis cerita yang sama sekali berbeda. Tapi gayanya sangat mirip. Jiwanya sangat mirip. Temanya adalah dunia ini dan dunia lain; bagaimana bisa datang dan pergi di antara keduanya.

Interviewer: Aku sangat senang mendengarnya, karena Hard-Boiled Wonderland adalah buku favoritku.

Murakami: Begitu juga aku. Ini buku yang sangat ambisius, yang baru ini, karena tokoh utama dalam buku-bukuku selalu berumur dua puluhan atau tiga puluhan. Kali ini umurnya lima belas tahun.

Pewawancara: Lebih mirip Holden Caulfield?

Murakami: Betul. Agak seru juga menulis cerita itu. Ketika aku menulis tentang anak laki-laki itu, aku bisa ingat bagaimana rasanya ketika aku berumur lima belas tahun. Aku rasa ingatan adalah aset terpenting manusia. Ini semacam bahan bakar; ia membakar dan menghangatkan. Ingatanku seperti peti: Ada banyak laci di peti itu, dan ketika aku ingin menjadi anak laki-laki berumur lima belas tahun, aku membuka laci tertentu dan aku menemukan pemandangan yang aku lihat ketika aku masih kecil di Kobe. Aku bisa mencium baunya, dan aku bisa menyentuh tanahnya, dan aku bisa melihat hijaunya pepohonan. Itu sebabnya aku ingin menulis buku.

Interviewer: Untuk kembali ke persepsi anak lima belas tahun itu?

Murakami: Misalnya. Iya.

Interviewer: Seberapa penting tumbuh besar di Kobe dan bukan di tempat lain di Jepang terhadap gaya yang kamu kembangkan? Kobe punya reputasi sebagai kota yang mendunia, dan mungkin sedikit eksentrik.

Murakami: Orang-orang di Kyoto lebih aneh daripada di Kobe! Mereka dikelilingi pegunungan, jadi mentalitas mereka berbeda.

Interviewer: Tapi kamu lahir di Kyoto. Benar kan?

Murakami: Ya, tapi ketika berumur dua tahun kami pindah ke Kobe. Jadi di sanalah aku berasal. Kobe ada di tepi laut dan bersebelahan dengan pegunungan, di semacam jalur sempit. Aku tidak suka Tokyo; terlalu datar, terlalu lebar, terlalu luas. Aku tidak suka di sini.

Interviewer: Tapi kamu tinggal di sini! Aku yakin kamu bisa tinggal di mana pun kamu suka.

Murakami: Itu karena aku bisa anonim di sini. Sama seperti di New York. Tidak ada yang mengenaliku; aku bisa pergi ke mana saja. Aku bisa naik kereta dan tidak ada yang menggangguku. Aku punya rumah di sebuah kota kecil di pinggiran Tokyo, dan semua orang mengenalku di sana. Setiap kali aku berjalan-jalan, aku dikenali. Dan kadang-kadang itu menjengkelkan.

Interviewer: Kamu menyebut Ryu Murakami sebelumnya. Dia sepertinya punya agenda yang sangat berbeda sebagai seorang penulis.

Murakami: Gayaku agak postmodern; gayanya lebih mainstream. Tapi ketika membaca Coin Locker Babies untuk pertama kalinya, aku terkejut; aku memutuskan aku ingin menulis novel sekuat itu. Lalu aku mulai menulis A Wild Sheep Chase. Jadi ini semacam persaingan.

Interviewer: Kalian berteman?

Murakami: Kami punya hubungan yang baik. Kami tidak bermusuhan, setidaknya begitu. Dia punya bakat alami yang sangat kuat. Seolah-olah dia punya sumur minyak tepat di bawah permukaan. Tapi dalam kasusku, minyakku sangat dalam sehingga aku harus menggali dan menggali dan menggali. Benar-benar harus bekerja keras. Dan butuh waktu untuk sampai ke sana. Tapi begitu aku sampai di sana, aku kuat dan percaya diri. Hidupku tersistematis. Senang rasanya menggali selama ini.

Kembali ke Part 2

Kembali ke Part 1

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet