Haruki Murakami: Seni Bercerita dalam Fiksi (Bagian 2)

Muh. Syahrul Padli

--

(No 182 Wawancara dengan John Wray, Paris Review No170, Musim Panas 2004)

image source

MURAKAMI Pada draf pertama, aku tidak tahu kalau itu Gotanda. Mendekati akhir — sekitar dua pertiga cerita — aku baru tahu. Saat menulis draf kedua, aku menulis ulang adegan Gotanda, dengan tahu bahwa dia memang pelakunya.

INTERVIEWER Apakah itu salah satu tujuan utama dari revisi, yaitu mengambil apa yang kamu pelajari dari akhir draf pertama dan mengubah bagian awal untuk memberi kesan bahwa itu tak terhindarkan?

MURAKAMI Betul. Draf pertama itu berantakan; aku harus merevisi dan mengubahnya berkali-kali.

INTERVIEWER Berapa banyak draf yang biasanya kamu tulis?

MURAKAMI Empat atau lima. Aku menghabiskan enam bulan untuk menulis draf pertama, dan kemudian tujuh atau delapan bulan untuk menulis ulang.

INTERVIEWER Itu cepat sekali.

MURAKAMI Aku pekerja keras. Aku sangat fokus pada pekerjaanku. Jadi, ya, itu mudah. Dan aku tidak melakukan apa-apa selain menulis fiksi saat menulis.

INTERVIEWER Bagaimana biasanya struktur hari kerjamu?

MURAKAMI Saat aku sedang menulis novel, aku bangun jam empat pagi dan bekerja selama lima sampai enam jam. Siang harinya, aku berlari sepuluh kilometer atau berenang seribu lima ratus meter (atau keduanya), kemudian membaca sedikit dan mendengarkan musik. Aku tidur jam sembilan malam. Aku menjalani rutinitas ini setiap hari tanpa variasi. Pengulangan itu sendiri yang menjadi hal penting; semacam bentuk hipnosis. Aku menghipnotis diri sendiri untuk mencapai keadaan pikiran yang lebih dalam. Tapi untuk mempertahankan pengulangan seperti itu — selama enam bulan hingga setahun — memerlukan banyak kekuatan mental dan fisik. Dalam hal ini, menulis novel tebal seperti latihan bertahan hidup. Kekuatan fisik sama pentingnya dengan kepekaan artistik.

INTERVIEWER Aku ingin bertanya tentang para tokoh fiksimu. Seberapa nyata mereka menjadi bagimu saat kamu bekerja? Apakah penting bagimu bahwa mereka memiliki kehidupan yang independen dari narasi?

MURAKAMI Saat aku membuat karakter-karakter dalam bukuku, aku suka mengamati orang-orang yang nyata dalam hidupku. Aku tidak suka banyak bicara; aku lebih suka mendengarkan cerita orang lain. Aku tidak memutuskan seperti apa orang-orang itu; aku hanya mencoba berpikir tentang apa yang mereka rasakan, ke mana mereka pergi. Aku mengumpulkan beberapa pengaruh dari sini, beberapa pengaruh dari sana. Aku tidak tahu apakah ini “realistis” atau “tidak realistis,” tapi bagiku, karakternya lebih nyata daripada orang-orang nyata. Selama enam atau tujuh bulan aku menulis, orang-orang itu ada di dalam diriku. Dengan dunianya tersendiri.

INTERVIEWER Protagonismu seringkali tampak sebagai proyeksi pandanganmu sendiri ke dalam dunia fantastis dari narasi-narasimu — seperti seorang pemimpi dalam mimpinya.

MURAKAMI Coba pikirkan begini: Aku punya saudara kembar. Dan ketika aku berusia dua tahun, salah satu dari kami — saudaraku yang lain — diculik. Dia dibawa ke tempat yang jauh dan kami belum bertemu lagi sejak itu. Aku pikir protagonisku adalah dia. Sebagian dari diriku, tapi bukan aku, dan kami sudah lama tidak bertemu. Semacam bentuk alternatif dari dirikulah. Secara genetik, kami sama, tapi lingkungan kami berbeda. Jadi cara berpikir kami akan berbeda. Setiap kali menulis buku, aku memakai sepatu yang berbeda. Karena kadang-kadang aku lelah menjadi diriku sendiri. Dengan cara ini aku bisa melarikan diri. Semacam fantasi. Jika tidak bisa memiliki fantasi, apa gunanya menulis buku?

INTERVIEWER Pertanyaan lain tentang Hard-Boiled Wonderland. Buku itu memiliki simetri tertentu, kualitas formal tertentu, dan juga cirikhas penyelesaian konflik yang membedakannya dengan buku-buku lain seperti The Wind-Up Bird Chronicle, misalnya. Apakah pandanganmu tentang fungsi dan pentingnya struktur dalam novel berubah pada suatu titik?

MURAKAMI Ya. Dua bukuku yang pertama tidak diterbitkan di luar Jepang; aku tidak menginginkannya. Mereka adalah karya yang belum matang, menurutku — buku-buku yang sangat singkat. Mereka rapuh, jika itu kata yang tepat.

INTERVIEWER Apa kekurangannya?

MURAKAMI Apa yang coba kulakukan di dua buku pertamaku adalah mendekonstruksi novel Jepang tradisional. Dengan mendekonstruksi, maksudku menghapus semua yang ada di dalamnya, meninggalkan hanya kerangkanya. Kemudian aku harus mengisi kerangka itu dengan sesuatu yang segar dan otentik. Aku baru menemukan cara melakukannya dengan sukses setelah bukuku yang ketiga, A Wild Sheep Chase, pada tahun 1982. Dua novel pertama itu berguna dalam proses pembelajaran — tidak lebih dari itu. Aku menganggap A Wild Sheep Chase sebagai awal sejati dari gayaku. Sejak saat itu, bukuku semakin tebal; struktur-strukturnya lebih rumit. Setiap kali aku menulis buku baru, aku suka menghancurkan struktur sebelumnya, membuat sesuatu yang baru. Dan aku selalu memasukkan tema baru, atau pembatasan baru, atau visi baru ke dalam buku baru. Aku selalu sadar dengan struktur. Jika aku mengubah struktur, aku harus mengubah gaya prosa dan karakter-karakternya agar sesuai. Jika melakukan hal yang sama setiap waktu, aku akan bosan.

INTERVIEWER Dan meskipun beberapa elemen dalam tulisanmu telah berubah, ada beberapa yang tetap bertahan. Novelmu selalu diceritakan dalam sudut pandang orang pertama. Dalam setiap buku, seorang pria berputar antara berbagai hubungan yang penuh gairah dengan wanita; dia umumnya pasif terhadap wanita-wanita ini, yang tampaknya berfungsi sebagai manifestasi dari ketakutan dan fantasinya.

MURAKAMI Dalam buku dan ceritaku, wanita adalah medium, dalam pengertian tertentu; fungsi dari medium ini adalah untuk membuat sesuatu terjadi melalui dirinya. Itu semacam sistem yang harus dialami. Protagonis selalu dibimbing ke suatu tempat oleh medium dan visi yang dilihatnya ditunjukkan oleh wanita tersebut.

INTERVIEWER Apakah medium dalam pengertian Viktoria? Medium psikis?

MURAKAMI Aku pikir seks adalah suatu tindakan… semacam komitmen jiwa. Jika seks itu baik, lukamu akan sembuh, imajinasimu akan terbangun. Semacam jalan menuju tempat yang lebih tinggi, tempat yang lebih baik. Dalam pengertian itu, dalam ceritaku, wanita adalah medium — penanda dunia yang akan datang. Itulah mengapa mereka selalu datang kepada protagonisku; dia tidak pergi kepada mereka.

INTERVIEWER Sepertinya ada dua tipe wanita yang berbeda dalam novel-novelmu: mereka yang memiliki hubungan serius dengan protagonis — sering kali ini adalah wanita yang menghilang dan kenangannya menghantuinya — dan jenis wanita lain, yang datang belakangan dan membantunya dalam pencariannya, atau malah sebaliknya — untuk melupakan. Wanita kedua ini cenderung vokal, eksentrik, dan terbuka secara seksual, dan protagonis berinteraksi dengannya dengan cara yang jauh lebih hangat dan humoris dibandingkan dengan wanita yang menghilang itu, dengan siapa dia tidak pernah terhubung dengan baik. Apa tujuan dari dua arketipe ini?

MURAKAMI Protagonisku hampir selalu terjebak antara dunia spiritual dan dunia nyata. Di dunia spiritual, wanita — atau pria — tenang, cerdas, rendah hati. Bijaksana. Di dunia nyata, seperti yang kamu katakan, wanita sangat aktif, lucu, positif. Mereka memiliki rasa humor. Pikiran protagonis terbagi antara dua dunia yang sangat berbeda dan dia tidak bisa memilih mana yang akan dipilih. Aku pikir itu salah satu motif utama dalam karyaku. Sangat jelas dalam Hard-Boiled Wonderland, di mana pikirannya benar-benar, secara fisik, terbelah. Dalam Norwegian Wood, juga ada dua gadis dan dia tidak bisa memutuskan antara mereka, dari awal hingga akhir.

INTERVIEWER Simpatiku selalu cenderung kepada gadis yang memiliki rasa humor. Lebih mudah untuk mengizinkan pembaca masuk ke dalam hubungan di mana humor adalah mata uang utamanya; lebih sulit untuk memikat pembaca dengan deskripsi serius tentang hubungan cinta. Dalam Norwegian Wood, aku selalu mendukung Midori.

MURAKAMI Aku pikir sebagian besar pembaca akan mengatakan hal yang sama. Kebanyakan akan memilih Midori. Dan protagonis, tentu saja, memilihnya di akhir. Tapi sebagian dari dirinya selalu ada di dunia lain dan dia tidak bisa meninggalkannya. Itu bagian dari dirinya, bagian yang esensial. Semua manusia memiliki penyakit dalam pikiran mereka. Ruang itu adalah bagian dari mereka. Kita memiliki bagian dari pikiran kita yang sehat dan bagian yang tidak sehat. Kita bernegosiasi antara kedua bagian itu; itu yang kupercaya. Aku bisa melihat bagian tidak sehat dari pikiranku terutama saat menulis — tidak sehat bukanlah kata yang tepat. Tidak biasa, tidak nyata. Aku harus kembali ke dunia nyata, tentu saja, dan mengambil bagian yang sehat. Tapi jika aku tidak memiliki bagian yang tidak sehat, bagian yang sakit, aku tidak akan ada di sini. Dengan kata lain, protagonis didukung oleh dua wanita; tanpa salah satunya, dia tidak bisa melanjutkan. Dalam pengertian tersebut, Norwegian Wood adalah contoh yang sangat langsung dari apa yang aku lakukan.

INTERVIEWER Karakter Reiko dalam Norwegian Wood menarik dalam hal itu. Aku tidak tahu harus menempatkannya di mana; dia tampaknya memiliki kaki di kedua dunia.

MURAKAMI Dia memiliki pikiran yang setengah sehat, setengah tidak sehat. Seperti topeng Yunani: jika kamu melihatnya dari sisi ini, adalah karakter tragis; jika kamu melihatnya dari sisi lainnya, maka itu komedi. Dalam pengertian tersebut, dia sangat simbolis. Aku sangat menyukai karakter ini. Aku senang saat menulisnya, Reiko-San.

INTERVIEWER Apakah kamu merasa lebih suka karakter-karakter ceria dan lucumu — Midori dan May Kasahara — daripada Naoko-Naokomu?

MURAKAMI Aku suka menulis dialog yang diselipi humor; itu menyenangkan. Tapi jika semua karakternya punya sisi humor, itu akan membosankan. Karakter-karakter lucu berguna sebagai penstabil untuk pikiranku; rasa humor adalah hal yang sangat stabil. Seseorang harus keren untuk bisa menjadi humoris. Ketika serius, kita bisa menjadi tidak stabil; itulah masalah dengan keseriusan. Tapi ketika kita humoris, kita stabil. Tentu saja kita tidak bisa berperang sambil tersenyum.

INTERVIEWER Hanya sedikit novelis yang menulis dan menulis ulang obsesi mereka dengan begitu kompulsif, aku rasa, seperti yang kamu lakukan. Hard-Boiled Wonderland, Dance Dance Dance, The Wind-Up Bird Chronicle, dan Sputnik Sweetheart hampir harus dibaca sebagai variasi dari satu tema: seorang pria telah ditinggalkan oleh, atau kehilangan, objek keinginannya, dan ditarik oleh ketidakmampuannya untuk melupakan dia ke dunia paralel yang tampaknya menawarkan kemungkinan untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang, kemungkinan yang tidak bisa diberikan oleh kehidupan seperti yang dia (dan pembaca) ketahui. Apakah kamu setuju dengan karakterisasi ini?

MURAKAMI Ya.

INTERVIEWER Seberapa sentral obsesi ini dalam fiksimu?

MURAKAMI Aku tidak tahu mengapa aku terus menulis hal-hal itu. Aku merasa bahwa dalam karya John Irving, setiap bukunya, ada seseorang dengan bagian tubuh yang hilang. Aku tidak tahu mengapa dia terus menulis tentang bagian yang hilang itu; mungkin dia sendiri tidak tahu. Bagiku, sama saja. Protagonisku selalu kehilangan sesuatu, dan dia mencari sesuatu yang hilang itu. Seperti Cawan Suci (cawan yang diyakini digunakan Yesus Kristus saat Perjamuan Terakhir — penerjemah), atau Philip Marlowe (detektif fiksi— penerjemah).

INTERVIEWER Kamu tidak bisa memiliki detektif jika sesuatu tidak hilang.

MURAKAMI Benar. Ketika protagonisku kehilangan sesuatu, dia harus mencarinya. Dia seperti Odysseus. Dia mengalami begitu banyak hal aneh dalam pencariannya…

INTERVIEWER Dalam usaha untuk pulang.

MURAKAMI Dia harus bertahan melalui pengalaman-pengalaman tersebut, dan pada akhirnya menemukan apa yang dia cari. Namun, dia tidak yakin apakah itu hal yang sama. Kurasa itulah motif dalam buku-bukuku. Dari mana hal-hal itu datang? Aku tidak tahu. Itu cocok denganku. Itu adalah kekuatan pendorong cerita-ceritaku: kehilangan, pencarian, dan penemuan. Dan kekecewaan, semacam kesadaran baru tentang dunia.

INTERVIEWER Kekecewaan sebagai sebuah rite of passage (serangkaian ritual atau upacara yang menandai perubahan status sosial seseorang dalam masyarakat — penerjemah)?

MURAKAMI Betul. Pengalaman itu sendiri adalah makna. Protagonis telah berubah selama perjalanan pengalamannya — itu hal yang utama. Bukan apa yang dia temukan, tetapi bagaimana dia berubah.

INTERVIEWER Aku ingin bertanya tentang proses penerjemahan berkaitan dengan buku-bukumu. Sebagai seorang penerjemah juga, kamu pasti sadar akan tantangan yang terlibat. Bagaimana kamu memilih penerjemah Anda?

MURAKAMI Aku memiliki tiga penerjemah — Alfred Birnbaum, Philip Gabriel, Jay Rubin — dan aturannya adalah “siapa cepat, dia dapat.” Kami teman, jadi mereka sangat jujur. Mereka membaca buku-bukuku, dan salah satu dari mereka berpikir, “Ini hebat! Aku ingin mengerjakannya.” Jadi, dia mengambilnya. Sebagai penerjemah, aku tahu bahwa antusiasme adalah bagian utama dari penerjemahan yang baik. Jika seseorang adalah penerjemah yang baik tetapi tidak begitu menyukai bukunya, selesai sudah. Penerjemahan adalah pekerjaan yang sangat sulit dan memerlukan waktu.

INTERVIEWER Apakah para penerjemah tidak pernah bertengkar satu sama lain?

MURAKAMI Bukan begitu. Mereka memiliki preferensi masing-masing; mereka orang yang berbeda, dengan karakter yang berbeda. Terkait dengan Kafka on the Shore, Phil menyukainya dan mengambilnya. Jay tidak begitu antusias. Phil adalah orang yang sangat rendah hati dan lembut, sedangkan Jay adalah penerjemah yang sangat teliti dan presisi. Dia memiliki karakter yang kuat. Alfred adalah tipe bohemian; aku tidak tahu dia di mana sekarang. Dia menikah dengan seorang wanita dari Myanmar, dan dia seorang aktivis. Kadang-kadang mereka ditangkap oleh pemerintah. Dia adalah tipe orang seperti itu. Dia cukup bebas sebagai penerjemah; kadang-kadang dia mengubah prosa. Itulah gayanya.

INTERVIEWER Bagaimana kamu berkolaborasi dengan para penerjemahmu? Bagaimana prosesnya, tepatnya?

MURAKAMI Mereka bertanya banyak hal kepadaku ketika mereka menerjemahkan, dan ketika draf pertama selesai, aku membacanya. Kadang-kadang aku memberikan beberapa saran. Versi bahasa Inggris dari buku-bukuku sangat penting; negara-negara kecil, seperti Kroasia atau Slovenia, menerjemahkannya dari bahasa Inggris, bukan dari bahasa Jepang. Jadi harus sangat tepat. Tetapi di sebagian besar negara, mereka menerjemahkan dari teks asli bahasa Jepang.

INTERVIEWER Kamu sendiri tampaknya lebih suka menerjemahkan penulis realis — Carver, Fitzgerald, Irving. Apakah itu mencerminkan seleramu sebagai pembaca, atau apakah itu membantu penulisanmu dengan cara tertentu untuk terjun ke sesuatu yang sangat berbeda?

MURAKAMI Orang-orang yang kuterjemahkan semuanya menulis buku-buku yang mana aku bisa belajar sesuatu. Itu yang utama. Aku banyak belajar dari penulis realis. Karya mereka memerlukan pembacaan yang sangat teliti untuk diterjemahkan, dan aku bisa melihat rahasia mereka. Jika aku harus menerjemahkan penulis postmodern seperti Don DeLillo, John Barth, atau Thomas Pynchon, akan terjadi tabrakan — kegilaanku dengan kegilaan mereka. Aku mengagumi karya mereka, pastinya; tetapi ketika menerjemahkan, aku memilih penulis realis.

INTERVIEWER Tulisanmu sering dibicarakan sebagai sastra Jepang yang paling mudah diakses oleh pembaca Amerika, sampai-sampai kamu sendiri digambarkan sebagai penulis Jepang yang paling Barat di antara penulis Jepang kontemporer. Aku penasaran bagaimana kamu melihat hubunganmu dengan budaya Jepang.

MURAKAMI Aku tidak ingin menulis tentang orang asing di negara asing; aku ingin menulis tentang kami. Aku ingin menulis tentang Jepang, tentang kehidupan kami di sini. Itu penting bagiku. Banyak orang mengatakan bahwa gayaku mudah diakses oleh orang Barat; mungkin itu benar, tetapi ceritaku adalah milikku sendiri, dan mereka tidak ter-westernisasi (ter-Barat-kan — penerjemah).

INTERVIEWER Dan banyak referensi yang tampaknya sangat Barat bagi orang Amerika — seperti Beatles, misalnya — merupakan bagian integral dari lanskap budaya Jepang juga.

MURAKAMI Ketika aku menulis tentang orang yang makan hamburger McDonald’s, orang Amerika akan bertanya, “Mengapa karakter ini makan hamburger, bukan tofu (tahu)?” Tetapi makan hamburger itu sangat alami bagi kami, hal sehari-hari.

INTERVIEWER Apakah kamu akan mengatakan bahwa novel-novelmu menggambarkan kehidupan Jepang urban kontemporer dengan akurat?

MURAKAMI Cara orang bertindak, cara orang berbicara, cara orang bereaksi, cara orang berpikir, itu sangat Jepang. Hampir tidak ada pembaca Jepang yang mengeluh bahwa ceritaku berbeda dari kehidupan kami. Aku mencoba menulis tentang orang Jepang. Aku ingin menulis tentang siapa kami, kemana kami pergi, mengapa kami di sini. Itu temaku, mungkin.

INTERVIEWER Kamu pernah mengatakan di tempat lain, merujuk pada The Wind-Up Bird Chronicle, bahwa kamu tertarik pada cerita terkait ayahmu, apa yang terjadi kepadanya, dan pada seluruh generasi ayahmu; tetapi tidak ada figur ayah dalam novel tersebut, atau memang hampir tidak ada di fiksimu. Di mana dalam buku itu ketertarikan ini terlihat?

MURAKAMI Hampir semua novelku ditulis dalam sudut pandang orang pertama. Tugas utama protagonisku adalah mengamati hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dia melihat apa yang harus dia lihat, atau apa yang seharusnya dia lihat, dalam waktu nyata. Jika aku boleh mengatakan, dia mirip dengan Nick Carraway dalam The Great Gatsby. Dia netral, dan untuk menjaga netralitasnya, dia harus bebas dari hubungan kekeluargaan, dari sistem keluarga vertikal.

Lanjut ke Part 3

Kembali ke Part 1

--

--

No responses yet