Industri Perbukuan Indonesia dan Korean Hiphop

Muh. Syahrul Padli
4 min readApr 24, 2021

--

(Muh. Syahrul Padli)

www.flickr.com/photos/69101012@N04

Apa kabar industri perbukuan di masa pandemi? Sehat kan? Sehat dong yah. Toh industri perbukuan ini garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau sakit, masa depan literasi akan suram.

Apa kabar para Hyung dan Hying bakul buku? Apakah masih semangat beriklan? Ya harus semangat. Tanpa modal semangat, budget iklan yang mungkin hanya bermodal kuota unlimited sosmed akan terbuang tanpa hasil.

Begini Hyung dan Hying sekalian.

Sebagai pembaca dan pembeli buku yang punya sedikit latar belakang dalam dunia periklanan, saya pikir industri perbukuan masih menawarkan iklan dengan pakem lama. Hanya menampilkan foto buku, cuplikan menarik, quote, rekomendasi dan kadang sedikit dipoles dengan foto buku yang
dilengkapi ornamen tertentu atau dengan mencantumkan testimoni atau review di koran.

Hal ini tentu saja bagus pada masa beberapa tahun lalu, saat di mana para penikmat buku tujuan utamanya hanya membeli buku dan tidak terlalu peduli pada pengaruh iklan. Namun sekarang, cara-cara seperti itu mungkin hanya akan menyasar penggemar akar rumput, yang memang dari kecil suka baca buku dan punya kemampuan finansial memadai, yang sekarang mungkin sudah menikah, memikirkan kelangsungan pendidikan anak-anak dan mesti mengurungkan nafsu belanja buku demi kebutuhan primer.

Keras kepala menyasar ceruk pasar yang itu-itu saja, justru hanya akan membuat jangkauan melempem. Jalan di tempat. Dan kalau tak ada perluasan penggemar bisa jadi itu pertanda buruk pada perkembangan industri ini.

Dengan hampir seluruh orang yang akrab bersosial media, beberapa bakul buku, bagian pemasaran penerbit indie dan penerbit mayor mulai menggarap secara serius iklan-iklan onlen. Hasilnya, bisa dibilang, cukup menunjukkan progress yang menjanjikan. Sementara podcaster buku, youtuber literasi atau youtuber penerbitan walaupun jumlahnya sedikit dan kualitas kontennya belum sampai pada taraf produk-produk komersial lain, juga terus menunjukkan perkembangan signifikan.

Gramedia KPG bahkan selangkah lebih maju dengan mulai merambah podcast dan YouTube. Dan itu cukup menggembirakan bagi pembaca seperti saya yang butuh referensi dari medium selain iklan di Instagram dan Facebook.

Para pelaku dalam industri ini, sebagiannya, mulai menyadari bahwa selain kualitas, pemasaran adalah ujung tombaknya. Isi produk bagus, kemasannya bagus, tapi pemasarannya itu-itu saja tentu jangkauannya akan itu-itu saja.
Perilaku pengonsumsi buku saat ini tak selalu bisa diprediksi dengan akurat loh.

Satu yang pasti, mereka digerakkan oleh hype, oleh booming, oleh citra yang akan terbentuk jika mereka mempunyai buku itu. Marchela FP menunjukkan cara kreatif menulis dan menjual bukunya. Pertama-tama dia mengamati sasaran pasarnya. Dia tahu persis bahwa masyarakat generasi paling baru
kurang nyaman dengan buku berisi penuh tulisan, yang topiknya berat dan dipenuhi kata sastrawi tinggi hingga menembus awan.

Dia mengombinasikan tulisan pendek mirip quote dengan ilustrasi yang seperti digambar sendiri oleh pembacanya (ilustrasinya tidak rumit, tapi mengena).

Topik yang dia pilih adalah motivasi hidup, proses memaafkan diri sendiri dan tentang berharap masa depan yang mungkin lebih baik. Dia tahu kalau pasarnya sedang gandrung dengan isu kesehatan mental dan upaya menemukan jalan menikmati sisa hidup. Dia mengamati dan memanfaatkan informasi dengan brilian.

Entah mengapa saya tetiba mengingat industri K-Hiphop. Pada masa dulu, di Korea, K-Pop dan K-Ballad mendominasi. Namun belakangan, ketika mindset pelaku industri K-Hiphop berubah dengan ekspansi AOMG (label musik milik Jay Park eks member 2PM) ke bursa saham, maka perusahaan rekaman K-Hiphop kini mulai bersaing dengan perusahaan rekaman besar K-Pop.

Jay Park beradaptasi dengan kecenderungan masyarakat Korea yang tidak berpatokan pada skill dan musikalitas belaka, melainkan seberapa sering sang musisi muncul di TV Show, Realit Show, Radio Show, Music Show, Konser dan semacamnya. Dan dengan mendorong artis di labelnya go public, Jay Park bersama artis di bawah naungan AOMG kemudian menggiring masyarakat Korea melihat kualitas musik mereka.

Lambat laun metode ini ditiru label K-Hiphop lain. Itulah mengapa kita sekarang mulai bisa melihat banyak seniman-seniman Hip-hop Korea
hidup layak dengan berkompromi.

Saya pikir, industri perbukuan pun bisa belajar taktik serupa. Tidak harus meniru mereka sepenuhnya, tetapi hanya perlu ambil sisi baiknya.

Yang terakhir, ini hanya kritik. Jangan diambil hati!

Sebagai penikmat buku, saya ingin sekali buku-buku dari penulis baru juga bisa terjun ke dunia yang keras ini tanpa perlu dipangkas duluan kenyataan. Saya berharap mereka diberi kesempatan muncul di iklan-iklan yang digarap serius agar bisa punya peluang dilihat pembaca potensial dan tak tertutupi sosok-sosok raksasa sastra yang namanya sering nangkring sebagai juri sayembara.

Tapi tentu, segala hal baik yang dicita-citakan dalam dunia perbukuan ini mustahil jika sumber daya manusianya belum sampai pada level itu. Dan mohon maaf. Saran tentang iklan dan beberapa paragraf tulisan yang membahas tentang ekspansi pasar di atas candaan belaka. Percuma juga beriklan jor-joran kalau ujung-ujungnya industri ini dihantam pembajakan — dan pemerintah tak terlalu peduli soal ini.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet