Kakek Saya (yang Aneh) dan Burung Gereja
(Muh. Syahrul Padli — seri refleksi)
Sewaktu kecil, bapak membelikan saya sapi untuk digembalakan. Sapi tersebut dibeli dengan harga relatif terjangkau. Rencananya setelah dua tahunan melalui masa penggemukan, sapi itu akan dipakai untuk lauk acara sunatan saya sendiri.
Kata bapak, itu semacam latihan kepemimpinan dan kemandirian. Saya harus belajar bertanggungjawab sejak dini. Tradisi menggembala sendiri sapi yang akan dipotong untuk acara sunatan sendiri ini telah dimulai di masa kakek buyut saya. Dan sebagai generasi terbaru, saya harus juga melaluinya.
Kakek mengelola kebun beberapa hektar di perbatasan Takalar-Gowa. Di sanalah sumber pakan ternak saya. Setiap pagi saya harus membawa sapi ke kebun. Pulang sekolah saya ke sana untuk membawa sapi ke sungai lalu berteduh. Sebelum maghrib, saya akan menggiring sapi itu kembali ke kandangnya.
Semasa menggembala sapi itulah saya dan kakek terpaksa sering berinteraksi. Kakek mengajarkan saya simpul mengikat tali sapi, memasang tali kekang di leher sapi dan skills dasar beternak sapi.
Kakek juga menunjukkan cara bertani, memasang perangkap ikan dan cara survival di alam. Pokoknya kemampuan dasar minimum untuk bertahan hidup dijelaskan oleh kakek.
Saya ingat prinsip kakek: tidak semua orang bisa jadi PNS seperi bapakmu atau jadi Polisi seperti pamanmu. Kalau kau tidak jadi apa-apa, setidaknya kau tidak mati karena kelaparan.
Kakek memang agak pesimis melihat sesuatu. Tapi itu ternyata yang saya butuhkan. Beliau memberi point of view berbeda di tengah masyarakat yang optimis dan naif.
Owh yah, hampir lupa. Sebenarnya orang yang saya panggil kakek bukanlah kakek kandung. Beliau adalah ipar dari nenek kandung saya.
Bisa dibilang, saya adalah figur cucu pertama beliau dan sebaliknya beliau figur kakek saya. Cucu-cucu kandungnya ada di Kalimantan. Anak-anak yang sering berinteraksi dengan beliau praktis hanya saya saja. Selain itu, saya tidak dekat sama sekali dengan kakek kandung. Konflik internal antara nenek-kakek kandung yang berujung perceraian menjadi penyebabnya. Ditambah warisan dendam nenek semakin menjauhkan saya dengan kakek kandung.
Ipar dari nenek kandung yang saya panggil “kakek” ini lumayan tertutup kepada manusia lain. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu sendirian. Sesekali beliau ajak ngobrol orang yang melewati kebun. Tapi itu bisa dihitung jari saja.
Tak banyak yang bisa saya deskripsikan tentang kakek secara personal. Yang bisa saya jelaskan dengan lancar justru efek kehadirannya. Beliau adalah salah satu orang yang ikut berkontribusi dalam membentuk diri saya yang sekarang.
Ada satu momen yang mungkin jadi titik balik saya sebagai anak-anak dalam melihat dunia. Begini ceritanya!
Di kampung, anak laki-laki sering berburu burung. Perangkap kami adalah ranting yang dipasangi getah pohon khusus.
Suatu waktu, perangkap saya berhasil menangkap burung geraja. Burung tersebut tidak dianggap berharga oleh orang di kampung.
Kata orang burung itu pahit dan bisa bikin orang yang memakannya masuk kristen. Saya yang masih kelas 4 SD percaya akan hal itu.
Kakek yang melihat saya akan melepas burung gereja, berteriak dari jauh. “Tunggu dulu!”
Saya masukkan kembali burung gereja itu kedalam sangkar.
“Kata orang, pahit kalau dimakan, kek. Mending kulepas saja”
“Siapa bilang? Memangnya kamu pernah coba? Kenapa tidak membuktikan sendiri? Kamu tidak akan masuk Neraka hanya karena memakan burung gereja.”
“Saya takut masuk Kristen. Burung gereja kan burung orang Kristen”
“Tinggal syahadat lagi.”
Saya diam lama sambil mengerutkan kening. Ada benarnya juga yah. Syarat masuk Islam kan cuma bersyahadat dengan sepenuh jiwa dan keyakinan.
“Kalau kamu penasaran, panggang saja. Kalau kamu memang tidak penasaran, tak apa dilepaskan. Burung gereja penting untuk memakan beberapa jenis serangga hama.”
Tanggapan kakek waktu itu terasa sangat aneh. Otak anak-anak saya menangkap sebuah anomali. Kenapa dia menyuruh saya memakan apa yang disepakati sebagai burung pahit dan haram? Sudah jelas penambahan kata ‘gereja’ sebagai ciri burung itu sudah sebuah tanda bahaya kan? Begitu yang terlintas di kepala kanak-kanak saya.
Di masa kanak-kanak saya, semua hal yang menyangkut agama lain terasa menakutkan dan berbahaya. Bahkan algoritma berpikir anak-anak saya sampai pada kesimpulan bahwa seseorang bisa jadi kristen setelah makan burung gereja. Diskusi dengan sesama anak yang juga paranoid juga mempertegasnya.
Di sisi lain, rasa penasaran saya justru besar. Saya ingin tahu seberapapahit burung gereja itu.
Kakek tersenyum melihat saya dengan polosnya bilang, “jangan bilang kepada bapak dan ibuku ya kek.”
Singkat cerita, kakek menyembelih burung gereja itu. Saya kemudian menguliti, mengeluarkan jeroan lalu membakarnya.
Tahap menuntaskan rasa penasaran saya tak semudah yang saya bayangkan. Burung gereja yang sudah dipanggang kini menghantui saya dengan pertanyaan baru.
Apakah ini hal yang benar?
Bukankah apa yang disepakati masyarakat sudah pasti sebuah kebenaran?
Apakah kakek saya sudah pikun karena usia?
Saya memberanikan diri menggigit sedikit bagian sayap burung gereja panggang itu dengan mata terpejam. Saya kunyah dengan ragu.
Beberapa detik di dalam mulut saya, rasanya mulai muncul. Saya kaget ketika mendapati fakta bahwa rasa burung gereja itu tak jauh beda dengan burung pemakan padi (bengisik dalam bahasa Makassar).
Saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaan saya pada momen itu. Semuanya bercampur. Tapi ada perasaan yang begitu mencolok: saya seperti orang yang mendapat pencerahan. Saya merasa lepas dari belenggu pikiran.
Di usia belum genap sepuluh tahun, saya kemudian mendapat sebuah pemahaman baru bahwa apa yang disepakati masyarakat sebuah kebenaran, pada dasarnya belum tentu demikian. Banyak hal yang lahir dari kesepakatan belaka, bukan fakta.
Saya bisa melihat kenyataan baru dari memakan burung gereja itu, seolah-olah saya terbangun dari dalam dunia mimpi.
Di momen kanak-kanak itulah kali terakhir saya makan burung-burungan. Tapi itu bukan kali terakhir saya meragukan sebuah nilai, konsep, prinsip dan kebenaran dalam masyarakat. Itu justru baru awalnya.
Jiwa meragukan sesuatu dan kritis terhadap banyak hal muncul dan berkembang dengan kecepatan tinggi sejak momen memakan burung gereja panggang. Ditambah saya kemudian kuliah di jurusan Fisika, bertemu seorang dosen bernama Prof Tasrief Surungan yang sering sekali mendekonstruksi (membedah) sebuah konsep, jadilah saya manusia seperti sekarang.