Kelahiran Fiksi di Meja Dapurku

Muh. Syahrul Padli
12 min readJun 17, 2020

--

(Penerjemah: Muh. Syahrul Padli)

ilustration source: https://alchetron.com/Haruki-Murakami

Kebanyakan orang — maksudku sebagian besar dari kami yang merupakan bagian dari masyarakat Jepang — lulus dari sekolah, kemudian mencari pekerjaan, kemudian, setelah beberapa waktu berlalu, menikah. Bahkan aku awalnya bermaksud mengikuti pola itu. Atau setidaknya itulah yang kubayangkan akan terjadi. Namun pada kenyataannya aku menikah, mulai bekerja, kemudian (entah bagaimana) akhirnya berhasil lulus dari Universitas. Dengan kata lain, urutan yang kuikuti adalah kebalikan dari apa yang dianggap normal.

Karena aku tak suka ide kerja kantoran, kuputuskan membuka bisnis sendiri, tempat orang-orang bisa mendengarkan musik Jazz, minum kopi, menyantap makanan ringan, dan minum bir. Itu ide yang sederhana, lebih seperti ide coba-coba berhadiah: menjalankan bisnis seperti itu, kupikir, akan membuatku rileks mendengarkan musik favorit dari pagi hingga malam. Masalahnya adalah, karena kami sudah menikah ketika masih di universitas, kami tidak punya uang. Karena itu, selama tiga tahun pertama, aku dan istriku bekerja bagai kuda, sering mengambil beberapa pekerjaan sekaligus untuk menghemat sebanyak yang kami bisa. Setelah itu, kami berkeliling meminjam uang kepada siapa pun yang memungkinkan untuk dipinjami baik itu teman dan keluarga. Kemudian kami mengambil semua uang yang berhasil kami kumpulkan bersama dan membuka sebuah kedai kopi kecil di Kokubunji, tempat nongkrong mahasiswa, di pinggiran barat Tokyo. Pada tahun 1974.

Harga sewa bangunan kala itu jauh lebih murah dibanding sekarang. Anak-anak muda seperti kami bertekad menghindari “kehidupan kantoran” dengan cara apa pun, membuka toko-toko kecil di kiri dan di kanan. Kafe dan restoran, berbagai toko, toko buku — misalnya. Beberapa bisnis di sekeliling kami dimiliki dan dijalankan oleh orang-orang dari generasi kami. Kokubunji kental dengan atmosfir gelombang perlawanan budaya yang kuat, dan banyak dari mereka yang nongkrong di daerah itu keluar dari gerakan mahasiswa yang menyusut. Masa itu adalah era ketika, di seluruh dunia, orang masih bisa menemukan celah dalam sistem.

Aku mengangkut piano tuaku langsung dari rumah orangtuaku dan mulai menawarkan pertunjukan musik di akhir pekan. Ada banyak musisi jazz muda yang tinggal di daerah Kokubunji yang dengan senang hati (kupikir) tampil untuk sejumlah kecil honor. Banyak yang kemudian menjadi musisi terkenal; aku kadang bertemu dengan mereka di kelab-kelab Jazz di sekitar Tokyo bahkan sampai sekarang.

Meskipun kami melakukan apa yang kami sukai, membayar hutang adalah perjuangan tanpa henti. Kami berhutang di bank, dan kami berhutang pada orang-orang yang telah membantu kami. Pada satu kesempatan, saat jatuh tempo pembayaran bulanan bank, saat aku dan istriku berjalan dengan kepala tertunduk larut malam, kami menemukan sejumlah uang tergeletak di jalan. Entah itu sinkronisitas atau semacam karunia Ilahi, aku tidak tahu, tetapi jumlahnya persis seperti yang kami butuhkan. Karena pembayaran jatuh tempo di hari berikutnya, itu seperti benar-benar penangguhan hukuman di menit terakhir. (Peristiwa aneh seperti ini telah terjadi di berbagai persimpangan dalam hidupku). Kebanyakan orang Jepang mungkin akan melakukan hal benar, dan menyerahkan uang itu kepada polisi, tetapi dalam kondisi kritis, kami tidak dapat hidup jujur seperti itu.

Tetap saja hal itu menyenangkan. Tidak perlu ditanya lagi. Aku masih muda dan dalam usia produktif bisa mendengarkan musik favorit sepanjang hari, dan adalah pemilik dari bisnis kecil sendiri. Aku tidak perlu masuk ke kereta komuter yang penuh sesak, atau menghadiri pertemuan yang menumpulkan pikiran, atau menjilat bos yang menyebalkan. Sebaliknya, aku memiliki kesempatan bertemu dengan semua jenis orang yang berkepribadian menarik.

Dengan demikian, usia dua puluhanku dihabiskan untuk melunasi pinjaman dan melakukan kerja fisik yang berat (membuat sandwich dan koktail, menyeret pelanggan yang bermulut kotor keluar) dari pagi hingga malam. Setelah beberapa tahun, tuan tanah kami memutuskan untuk merenovasi bangunan Kokubunji, jadi kami pindah ke tempat yang lebih baru dan luas di dekat pusat Tokyo, di Sendagaya. Lokasi baru kami menyediakan ruang yang cukup untuk piano besar, tetapi akibatnya hutang kami juga meningkat. Jadi semuanya tetap sulit.

Ketika menoleh ke masa lalu, yang bisa kuingat adalah betapa kerasnya kami bekerja. Aku membayangkan sebagian besar orang relatif santai di usia dua puluhan, tetapi kami hampir tidak punya waktu untuk menikmati “hari-hari masa muda yang bahagia.” Walau begitu, waktu luang yang kumiliki habis untuk membaca. Selain musik, buku adalah sumber kesenangan utamaku. Tidak peduli sesibuk apa pun, atau semiskin apa pun, atau seberapa lelah bagaimanapun, tidak ada yang bisa menggantikan kesenanganku membaca buku.

Menjelang akhir usia dua puluhan, bar-Jazz Sendagaya kami, akhirnya, mulai menunjukkan tanda-tanda stabil. Memang, kami tidak bisa duduk dan bersantai — kami masih berhutang, dan omset kami naik turun — tapi setidaknya semua berjalan ke arah yang menjanjikan.

Di suatu siang di bulan April yang cerah pada tahun 1978, aku menonton pertandingan bisbol di Stadion Jingu, tidak jauh dari tempatku tinggal dan bekerja. Pertandingan itu adalah pertandingan pembuka musim kompetisi Central League, lemparan pertama dimulai pada jam satu siang, Yakult Swallows melawan Hiroshima Carp. Aku sudah menjadi penggemar Swallows pada masa itu, jadi aku kadang-kadang datang untuk menonton pertandingan — pengganti hari libur, seperti refreshing.

Waktu itu, Swallows adalah tim lemah (kau mungkin bisa menebak dari namanya) dengan sedikit uang dan tidak ada pemain bintang. Intinya, mereka tidak terlalu populer. Seingatku waktu itu mungkin pembuka musim kompetisi, tetapi hanya beberapa penggemar yang duduk di luar pagar lapangan. Aku berbaring dengan bir saat menonton pertandingan. Belum ada kursi putih di luar sana, hanya lereng berumput. Langit berwarna biru berkilau, bir dingin di tangan, dan bola yang sangat putih jika dibandingkan dengan lapangan hijau pertama yang kulihat setelah sekian lama. Pemukul pertama Swallows adalah Dave Hilton, seorang pendatang baru yang kurus dari Amerika Serikat dan sama sekali tidak terkenal. Dia bertarung di posisi lead off (pemukul pertama). Pemukul Penentu (pemukul keempat) adalah Charlie Manuel, yang kemudian menjadi terkenal sebagai manajer Cleveland Indians dan Philadelphia Phillies. Dan lagi, walaupun dia benar-benar seorang yang bebal, pemalas yang oleh para penggemar Jepang dijuluki “Setan Merah.”

Kupikir pelempar pertama Hiroshima hari itu adalah Yoshiro Sotokoba. Yakult membalas dengan Takeshi Yasuda. Di bagian akhir inning pertama (babak dalam satu permainan. Satu inning berarti satu regu telah menjadi pemukul atau regu pelempar — penerjemah), Hilton membanting lemparan pertama Sotokoba ke lapangan kiri untuk menghasilkan double clean (sapu bersih poin). Hantaman yang sempurna saat pemukul bertemu bola bergema di seluruh Stadion Jingu. Tepuk tangan riuh terdengar di sekitarku. Dalam sekejap, tanpa kutahu alasan dan sebabnya, sebuah pemikiran tiba-tiba muncul di benakku : Kupikir aku bisa menulis novel.

Aku masih bisa mengingat sensasi itu dengan jelas. Rasanya seolah ada sesuatu yang terbang turun dari langit, dan aku berhasil menangkapnya dengan tanganku. Aku tidak tahu mengapa sesuatu itu kebetulan jatuh ke dalam genggamanku. Aku juga tidak tahu waktu itu, dan aku tetap tidak tahu sampai sekarang. Apa pun alasannya, sesuatu itu ditakdirkan untukku. Itu seperti sebuah wahyu. Atau mungkin pencerahan adalah kata yang lebih cocok. Yang bisa kukatakan hanyalah hidupku berubah secara drastis dan permanen dalam sekejap — ketika Dave Hilton mencatatkan poin ganda yang menawan di Stadion Jingu.

Setelah pertandingan itu (Yakult menang seingatku), aku naik kereta ke Shinjuku dan membeli setumpuk kertas tulis dan pulpen. Aplikasi pengolah kata dan komputer belum ada saat itu, yang berarti aku harus menulis semuanya dengan tangan, huruf demi huruf. Sensasi menulis itu masih terasa sangat segar. Aku ingat betapa senangnya aku. Sudah lama sekali aku tak meletakkan pulpen di atas kertas.

Setiap malam setelah momen itu, ketika aku pulang larut malam, aku duduk di meja dapur dan menulis. Beberapa jam sebelum pagi datang praktis adalah satu-satunya waktu luang. Selama enam bulan berikutnya aku menulis Hear the Wind Sing. Aku menjilid draft pertama tepat pada saat musim kompetisi bisbol berakhir. Kebetulan, tahun itu Yakult Swallows mematahkan ketakmungkinan jadi juara dan menjungkirbalikkan prediksi hampir semua orang untuk memenangkan bendera Liga Tengah, kemudian mengalahkan juara Liga Pasifik, Hankyu Braves yang kuat dalam hal lemparan di Seri Jepang. Waktu itu benar-benar musim yang ajaib yang membuat hati semua penggemar Yakult melonjak.

Hear the Wind Sing adalah karya pendek, lebih dekat ke novela daripada novel. Namun butuh waktu berbulan-bulan dan banyak upaya untuk menyelesaikannya. Sebagian alasannya, pastinya, adalah keterbatasan waktu yang kumiliki untuk mengerjakannya, tetapi masalah yang lebih besar adalah bahwa aku tidak tahu bagaimana cara menulis novel. Sejujurnya, meskipun aku membaca segala macam karya fiksi, yang jadi favoritku adalah novel Rusia abad ke-19 dan cerita-cerita detektif Amerika, aku tidak pernah tertarik terhadap fiksi Jepang kontemporer. Jadi aku tidak tahu novel Jepang jenis apa yang sedang dibaca saat itu, atau bagaimana aku harus menulis fiksi dalam bahasa Jepang.

Selama beberapa bulan, aku menebak-nebak bagaimana cara terbaik menuliskannya, mengadaptasi apa yang tampaknya gaya bercerita terbaik. Ketika aku membaca hasilnya, aku tak terkesan sama sekali. Tulisan itu tampak memenuhi persyaratan formal sebuah novel, tetapi isinya agak membosankan, dan novel itu secara keseluruhan terasa kaku. Jika itu yang dirasakan penulis, kupikir, reaksi pembaca mungkin akan lebih negatif. Sepertinya aku tidak memiliki kemampuan yang diperlukan, pikirku sedih. Seharusnya harapanku berakhir di situ — aku tak cocok jadi penulis. Tapi ‘pencerahan’ yang kuterima di lereng berumput Stadion Jingu masih terukir jelas dalam benakku.

Kalau dipikir-pikir, wajar saja kalau aku tidak bisa menghasilkan novel bagus. Sebuah kesalahan besar jika mengasumsikan bahwa orang sepertiku yang tidak pernah menulis apa pun sebelumnya dalam hidupku dapat menghasilkan sesuatu yang cemerlang dengan cepat. Aku berusaha mewujudukan hal yang mustahil. Berhentilah mencoba menulis sesuatu yang menakjubkan, kataku pada diri sendiri. Lupakan semua tentang bagaimana seharusnya “novel” dan “sastra” itu dan gunakan perasaan dan pikiranmu ketika ide-ide itu datang, sebebas-bebasnya, dengan cara yang kau sukai.

Meskipun mudah bicara tentang menetapkan ketertarikan secara bebas, tapi melakukannya tidak semudah itu. Bagi seorang pemula sepertiku, itu sangat sulit. Untuk memulai sesuatu yang baru, hal pertama yang harus kulakukan adalah menyingkirkan tumpukan kertas naskah dan pulpen. Selama mereka ada di hadapanku, apa yang kulakukan terasa seperti “sastra.” Kusimpan kertas naskah dan pulpenku, kukeluarkan mesin tik Olivetti lamaku dari lemari. Kemudian, sebagai percobaan, kuputuskan menulis pembukaan novelku dalam bahasa Inggris. Karena aku mau mencoba apa pun, kupikir, kenapa tidak mencobanya saja?

Tak perlu kubilang, kemampuanku dalam komposisi kalimat bahasa Inggris tidak bagus. Kosakataku sangat terbatas, seperti juga struktur kalimat bahasa Inggrisku. Aku hanya bisa menulis dengan kalimat yang sederhana dan singkat. Itu berarti, betapapun kompleks dan banyaknya pikiran yang berkeliaran di kepalaku, aku bahkan tidak bisa mencoba untuk menulisnya ketika mereka mendatangiku. Bahasanya harus sederhana, ide-ideku diekspresikan dengan cara yang mudah dipahami, deskripsi dilucuti dari semua lemak asing, bentuknya dibuat kompak, dan semuanya diatur agar singkat. Hasilnya adalah prosa yang kasar dan tampak tidak ditulis dengan baik. Namun, ketika aku berjuang mengekspresikan diri dengan cara itu, langkah demi langkah, irama yang khas mulai terbentuk.

Karena aku dilahirkan dan dibesarkan di Jepang, kosakata dan pola bahasa Jepang telah memenuhi sistem di kepalaku, seperti gudang yang dipenuhi ternak. Ketika aku berusaha memasukkan pikiran dan perasaan ke dalam kata-kata, hewan-hewan ternak itu mulai berkeliaran, dan sistem berantakan. Menulis dalam bahasa asing, dengan segala keterbatasan yang ada, menghilangkan hambatan ini. Itu juga menuntunku untuk mengetahui bahwa aku dapat mengekspresikan pikiran dan perasaanku dengan serangkaian kata dan struktur tata bahasa yang terbatas, selama aku menggabungkannya secara efektif dan menghubungkannya bersama dengan cara yang terampil. Singkatnya, aku belajar bahwa tidak perlu banyak kata-kata sulit — saya tidak perlu mencoba mengesankan orang dengan pergantian frase yang indah.

Di kemudian hari, aku mengetahui kalau penulis Agota Kristof telah menulis sejumlah novel indah dengan gaya yang memiliki efek yang sangat mirip. Kristof adalah orang Hongaria yang melarikan diri ke Neuchâtel, Swiss pada tahun 1956 selama pergolakan di negara asalnya. Dia telah belajar — dipaksa untuk belajar, sebenarnya — bahasa Prancis. Namun melalui tulisan dalam bahasa asing itulah dia berhasil mengembangkan gaya yang baru dan unik miliknya. Tulisannya menampilkan ritme yang kuat berdasarkan kalimat pendek, diksi yang tidak pernah berputar tetapi selalu mudah, dan deskripsi yang tepat dan bebas dari beban emosional. Novel-novelnya terselubung suasana misterius yang mengisyaratkan hal-hal penting yang tersembunyi di bawah permukaan. Aku ingat entah bagaimana perasaan atau nostalgia lainnya ketika pertama kali menemukan karyanya. Secara kebetulan, novel pertamanya, The Notebook , terbit pada 1986, hanya tujuh tahun setelah Hear the Wind Sing.

Setelah menemukan efek rasa penasaran dengan menulis dari bahasa asing, lalu kemudian aku memperoleh ritme kreatifku sendiri, aku menaruh kembali mesin tik Olivetti ke lemari dan sekali lagi mengeluarkan setumpuk kertas naskah dan pulpen. Kemudian aku duduk dan “menerjemahkan” bab itu sehingga aku telah menulis dalam bahasa Inggris dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang. Ya, “transplantasi” mungkin lebih akurat menyebut apa yang kulakukan, karena itu bukan terjemahan langsung kata demi kata. Dalam prosesnya, mau tidak mau, gaya baru Jepang muncul. Gaya yang akan menjadi milikku. Sebuah gaya yang kutemukan sendiri. Sekarang aku mengerti, pikirku. Beginilah seharusnya aku melakukannya. Itu adalah momen kejernihan sejati di mana aku tiba-tiba menyadarinya.

Beberapa orang mengatakan, “Karya Anda terasa seperti terjemahan.” Kalimat itu tidak terlalu akurat, tetapi kupikir itu tepat sasaran di satu sisi, dan melewatkan sama sekali sesuatu yang penting di sisi lainnya. Karena bagian pembuka dari novel pertamaku, secara harfiah, “diterjemahkan,” komentar itu tidak sepenuhnya salah; namun itu hanya berlaku untuk proses penulisan. Apa yang kucari dengan menulis pertama dalam bahasa Inggris dan kemudian “menerjemahkan” ke dalam bahasa Jepang tidak kurang dari penciptaan gaya “netral” tanpa hiasan yang akan memungkinkanku bergerak lebih bebas. Ketertarikanku bukanlah menciptakan bentuk gaya bahasa Jepang yang lancar. Aku ingin menghindari bahasa Jepang yang disebut bahasa sastra agar bisa menulis dengan suara khasku sendiri. Itu membuatku hampir putus asa. Aku akan mengatakan lebih jauh kalau, pada waktu itu, aku mungkin menganggap bahasa Jepang tidak lebih dari alat fungsional.

Beberapa kritikus melihat apa yang kulakukan sebagai penghinaan yang mengancam bahasa nasional kami. Bahasa yang sangat luhur, pastinya, yang didukung oleh sejarah yang panjang. Namun tentu aku punya hak sendiri untuk memakai gaya bahasa yang tak mengikuti pakem lama. Semua penulis berhak untuk bereksperimen dengan berbagai kemungkinan bahasa dalam setiap cara yang dapat mereka bayangkan — tanpa semangat petualangan itu, tidak ada hal baru yang bisa dilahirkan. Gaya bahasa Jepang saya berbeda dengan Tanizaki, sama halnya berbeda juga dengan Kawabata. Itu wajar. Lagi pula, saya pria lain, seorang penulis independen bernama Haruki Murakami.

Hari itu adalah Minggu pagi yang cerah di musim semi ketika aku mendapat telepon dari editor di jurnal sastra Gunzo yang memberi tahu kalau Hear the Wind Sing telah dipilih untuk mendapat penghargaan penulis baru mereka. Hampir setahun berlalu sejak pembuka musim di Stadion Jingu, dan aku berusia 30 tahun. Telepon itu datang sekitar pukul 11 pagi, tetapi aku masih tertidur lelap, setelah sebelumnya bekerja sampai larut malam. Aku grogi mengangkat telepon, karena pada awalnya aku tidak tahu siapa yang ada di ujung sana atau apa yang dia coba katakan padaku. Sejujurnya, pada saat itu aku sudah agak lupa kalau aku telah mengirim naskah Hear the Wind Sing ke Gunzo. Begitu selesai menulis naskah dan menyerahkannya ke tangan orang lain, semua keinginanku menulis berkurang. Singkatnya, menulis itu adalah tindakan pembangkangan — aku telah menulis novel itu dengan sederhana, apa adanya — sehingga bayangan ada di daftar pendek calon penerima penghargaan mungkin tidak pernah terlintas dalam benakku. Bahkan, aku telah mengirimi mereka satu-satunya salinan naskah. Jika mereka tidak memilihnya, salinan itu mungkin akan lenyap selamanya. (Gunzo tidak mengembalikan naskah yang ditolak). Kemungkinan besar, aku tidak akan pernah menulis novel lain. Hidup memang aneh.

Editor mengatakan kepadaku kalau ada lima finalis termasuk aku. Aku terkejut, tetapi aku juga sangat mengantuk, sehingga kenyataan tentang apa yang terjadi tidak benar-benar meresap masuk kedalam kepalaku. Aku bangkit dari tempat tidur, mandi, berpakaian, dan berjalan-jalan dengan istriku. Tepat ketika kami melewati sekolah dasar setempat, aku melihat seekor merpati bersembunyi di semak-semak. Ketika aku mendekat, kulihat sayapnya patah. Tag logam kecil ditempelkan di kakinya. Aku mengambilnya hati-hati dan membawanya ke kantor polisi terdekat, di Aoyama-Omotesando. Ketika berjalan di sepanjang sisi jalan Harajuku, kehangatan merpati yang terluka itu jatuh ke tanganku. Aku merasakan tubuh merpati itu bergetar. Minggu itu cerah dan jernih, dan pepohonan, gedung-gedung, dan jendela-jendela toko bersinar indah di bawah sinar matahari musim semi.

Saat itulah aku tersadar. Aku akan memenangkan hadiah. Dan aku akan terus menjadi seorang novelis yang akan menikmati beberapa tahap kesuksesan. Itu adalah anggapan yang berani, tetapi aku yakin pada waktu itu kalau cepat atau lampu itu akan terjadi. Benar-benar yakin. Bukan secara teoretis tetapi langsung dan intuitif.

Aku menulis Pinball, 1973 pada tahun berikutnya sebagai sekuel Hear the Wind Sing. Aku masih menjalankan bar-jazz, yang berarti Pinball juga ditulis larut malam di meja dapurku. Dengan cinta yang bercampur rasa malu aku menyebut kedua karya ini sebagai novel — yang lahir — di meja dapurku. Tidak lama setelah menyelesaikan Pinball, 1973 kuputuskan menjadi penulis penuh waktu dan menjual bisnis bar-jazz kami. Aku langsung mulai fokus mengerjakan novel panjang pertamaku, A Wild Sheep’s Chase, yang kuanggap sebagai awal sebenarnya karierku sebagai seorang novelis.

Meskipun demikian, dua karya pendekku itu memainkan peran penting pada apa yang telah kucapai. Mereka benar-benar tak tergantikan, seperti teman-teman masa kecilku. Sepertinya mustahil kami akan bertemu lagi, tapi aku tidak akan pernah melupakan persahabatan dengan mereka. Kehadiran mereka penting dan berharga dalam hidupku saat itu. Mereka menghangatkan jiwaku, dan menyemangatiku dalam perjalanan.

Aku masih ingat dengan jelas sepenuhnya apa yang kurasakan ketika apa pun yang mengalir ke tanganku hari itu 30 tahun yang lalu di rumput di belakang pagar lapangan di Stadion Jingu; dan aku ingat dengan jelas kehangatan merpati yang terluka yang kubawa di tangan yang sama pada musim semi sore itu setahun kemudian, di dekat Sekolah Dasar Sendagaya. Aku selalu mengenang sensasi itu setiap kali aku berpikir tentang apa artinya menulis sebuah novel. Kenangan taktil (berkaitan dengan rabaan dan sentuhan — penerjemah) semacam itu mengajarkanku untuk percaya pada sesuatu yang aku bawa dalam diriku, dan memimpikan kemungkinan yang ditawarkannya. Betapa indahnya hidupku karena sensasi-sensasi itu masih ada di dalam diriku hingga hari ini.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (2)