Kita Mungkin Medioker dan Itu Tak Apa-apa

Muh. Syahrul Padli
7 min readJan 25, 2025

--

(Muh. Syahrul Padli)

image source: Photo by Thuận Minh on Unsplash

Sehebat-hebatnya kita dalam satu atau beberapa hal, kita ”medioker” dalam banyak hal lain dan bahkan ”medioker” dalam hidup.

Mari kita mulai dari sebuah contoh. Karena saya guru, maka contoh yang bisa saya pikirkan adalah yang berkaitan dengan ujian. Saya minta maaf jika tak relevan untuk sebagian besar orang atau mengingatkan terhadap memori lama di sekolah yang mengerikan.

Bayangkan sebuah ujian di sekolah! Sebagian besar siswa akan mendapatkan nilai yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah — kebanyakan berada di tengah-tengah. Hanya sedikit siswa yang mendapatkan nilai sangat tinggi atau sangat rendah. Nah, ini mirip dengan yang disebut distribusi normal dalam statistik.

Distribusi normal itu seperti gambar lonceng, tinggi di tengah dan semakin rendah ke samping kiri dan kanan. Di tengah lonceng itulah tempat sebagian besar orang berada — kategori “medioker”.

Jika kita melihat kemampuan atau kualitas orang di kehidupan nyata, seperti prestasi akademik atau kekayaan atau apapun secara umum, mayoritas orang akan berada di sekitar angka rata-rata tersebut.

Cuma sedikit yang ada di luar distribusi rata-rata, baik yang berada di kategori sangat sukses maupun yang sangat gagal atau rentan. Begitulah cara Matematika merangkum kecenderungan dari alam kedalam sebuah pola.

1. Definisi Medioker

Barangkali kita mulai harus lebih sering menerima kosakata “medioker” dan memaknainya sebagai kata yang menggambarkan diri sendiri. Karena sebagian besar dari kita adalah “medioker”. Dan itu tak apa-apa.

“Medioker” berasal dari bahasa Latin mediocris, yang berarti “biasa saja” atau “di tengah-tengah”. Dalam konteks sehari-hari, medioker digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak terlalu baik, tetapi juga tidak terlalu buruk — cenderung rata-rata atau biasa-biasa saja.

Istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak luar biasa atau tidak mencapai standar tinggi, tetapi tetap berfungsi atau dapat diterima.

Di alam, makhluk hidup medioker merupakan bagian dari mekanisme keseimbangan jaring-jaring makanan. Dalam piramida produsen-konsumen memang harus banyak dan menempati tingkat alas piramida.

Toh ekosistem tidak hanya bergantung pada predator puncak seperti singa atau elang, tetapi juga pada makhluk-makhluk yang menjalani hidup “di tengah” seperti herbivora atau serangga. Mereka mungkin tidak mencolok, tetapi tanpa mereka, ekosistem akan runtuh.

Contoh lainnya adalah genetik. Dalam populasi manusia, kebanyakan individu berada di tengah spektrum. Misalnya, hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan fisik atau intelektual ekstrem, lebih sedikit lagi yang punya kedua-duanya, sementara sebagian besar berada dalam kategori rata-rata.

Keberadaan mayoritas yang medioker ini menciptakan stabilitas dan mencegah spesies manusia dari risiko tertentu yang mungkin terjadi jika populasi hanya terdiri dari individu-individu yang relatif seragam.

Mari kita ambil analisis abal-abal mengapa kemediokeran kita mungkin semacam mekanisme alam untuk keberlangsungan spesies.

Jumlah orang yang berpikir rasional dan tidak rasional yang jomplang adalah kunci mengapa tingkat kelahiran di Indonesia relatif konsisten.

Itu adalah kesimpulan dari premis-premis yang akan saya jabarkan. Pertama-tama, supaya tidak melebar, mari sepakati definisi rasional yang dipakai dalam tulisan ini.

Rasional adalah kata sifat yang berarti sesuai dengan akal sehat atau logika. Dengan kata lain, rasionalitas bisa didefinisikan sebagai kemampuan untuk berpikir secara masuk akal, berdasarkan bukti, dan mempertimbangkan sebab-akibat untuk membuat keputusan atau memahami sesuatu.

Berpikir dan bertindak rasional dalam batas yang wajar membantu kehidupan jadi lebih efisien. Namun terlalu rasional membuat kehidupan mungkin berakhir atau malah berlanjut dengan cara tertentu.

Wanita yang secara rasional tahu bahwa persaingan semakin ketat; lingkungan semakin buruk kualitsnya; tak ada jaminan pemerintah fair memastikan persaingan yang sehat; tanah bisa saja dirampas, akan memilih tak menikah atau tak punya anak. Bisa juga malah menciptakan sebuah dunia sendiri yang terisolasi dan elitis di mana keturunan mereka layak untuk hidup yang lebih baik melalui lompatan kemajuan.

Secara rasional, mustahil mencapai kesetaraan dalam skala besar. Akan lebih rasional jika mencapai kesetaraan dalam skala kecil. Jika pilihan atau keputusan diambil hanya berdasarkan rasionalitas saja, maka semakin terpisahlah kelas-kelas sosial di masyarakat. Semua yang hanya mengandalkan rasionalitas selalu punya efek samping lain.

Saya lebih pesimis dan merasa kemungkinan pertama lebih terasa punya kecenderungan besar akan terjadi dibanding yang kedua. Sama ketika populasi tak terlalu bertambah di Jepang dan butuh upaya ekstra tunjangan sana-sini serta pesan-pesan yang dipoles dalam Drakor (drama Korea) sampai bisa menaikkan sedikit populasi di Korea Selatan.

Kita digerakkan lebih banyak oleh fiksi. Kebahagiaan berumahtangga, misalnya. Secara rasional ktia tahu bahwa kebahagiaan tidak akan menetap. Kebahagiaan berlalu karena itu hanya reward dari proses. Lebih banyak realita finansial dan sosial yang akan dihadapi karena itu yang berpeluang menambah informasi kita untuk bertahan. Sehingga sangat rasional — setidaknya dalam pandangan beberapa orang — untuk tidak menikah.

Perbandingan orang yang rasional, cukup rasional, agak rasional dan tidak rasional itu seperti ditakar oleh alam dan dunia secara umum. Sehingga akan selalu lebih banyak orang yang masuk kategori medioker. Toh medioker adalah yang telah lolos seleksi alam ataupun yang paling berguna dalam evolusi atau yang paling cocok dengan kondisi kolektif sebuah lingkungan.

Dari argumen yang dipaksakan ini, hidup biasa bukan hal yang buruk. Tak perlu menjadi luar biasa atau berada di luar distribusi normal masalah kecerdasan dan rasionalitas. Setidaknya kita bagian dari yang bertahan dalam kerumunan.

Banyak orang berpikir hidup dalam area medioker itu membosankan karena kita sama dengan banyak orang. Untuk beberapa sisi jelas itu betul. Untuk beberapa sisi yang lain, itu tak terlalu buruk. Dan untuk kebanyakan orang dari generasi terbaru, itu mungkin sangat buruk.

Penyebabnya adalah iklan dan apapun yang digembar-gemborkan pada media sangat bertumpu pada jargon: jadilah unik, jadilah berbeda. Secara psikologis dan evolusi, naluri kita selalu berusaha berkembang. Ketika narasi itu dicampur dengan fiksi, makin luar biasalah efeknya mempengaruhi bawah sadar dan sadar.

2. Perspektif Alam: Sebuah Piramida yang Seimbang

Di alam, semua punya perannya masing-masing. Tidak semua hewan jadi singa, dan tidak semua tumbuhan jadi pohon besar. Sebagian besar makhluk hidup punya peran masing-masing, tapi tetap penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Hal yang sama berlaku bagi manusia. Tidak semua orang jadi pemimpin atau orang terkenal atau pengusaha sukses atau pedagang besar dan semacamnya. Ada banyak peran yang kelihatannya sederhana, tapi tanpa itu, masyarakat tidak akan berjalan.

Bayangkan kalau semua orang adalah bos, siapa yang mau mengerjakan hal-hal penting di balik layar? Apakah harus impor dari negara lain yang lebih miskin?Bayangkan kalau tidak ada tukang bangunan, tidak ada guru dan seterusnya?

Secara alami, kondisi sosial, ekonomi dan finansial menggiring manusia kedalam kotak-kotak tertentu. Memang ada yang tersingkir ke kotak paling tidak nyaman dan tidak aman. Dan itu tidak bisa dihindari untuk masyarakat dengan keragaman suku dan budaya tinggi seperti Indonesia.

Akan sulit mencapai keseimbangan. Dibutuhkan energi besar untuk merekatkan perbedaan. Potensi chaos sangat tinggi. Itulah sebabnya bagi negara dengan keberagaman tinggi seperti Indonesia, tahap sebelum mencapai kemajuan adalah stabilitas dulu.

Dalam negara dengan kondisi seperti itu, sangat sulit merangkak dari medioker ke extraordinary (luar biasa, di atas rata-rata, sukses) karena persaingan tak akan pernah adil. Akan lebih mungkin mereka yang medioker akan turun kasta menjadi yang paling rentan.

Seperti di alam bebas di mana produsen pertama dan konsumen pertama yang merupakan kelompok medioker dalam jaring-jaring makanan, di dalam fenomena ekonomi dan sosial, kaum menengah adalah kaum mediokernya.

Kaum medioker dalam finansial adalah tulang punggung ekonomi. Mereka adalah konsumen utama dan penggerak utama roda perekonomian. Tanpa mereka, keseimbangan antara produksi dan konsumsi akan terganggu. Sangat mirip dengan peran produsen pertama dan konsumen pertama dalam jaring-jaring makanan.

Selain itu, dalam pasar kerja, sebagian besar pekerjaan tidak memerlukan keahlian ekstrem. Sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan tersebut mengandalkan keterampilan menengah yang dimiliki oleh sebagian besar populasi. Artinya, medioker dalam konteks ekonomi sebenarnya adalah fondasi yang membuat sistem berjalan.

Sayangnya, keadaan ekonomi Indonesia memburuk. Kaum menengah turun kasta. Konsumsi menurun. Investor pikir-pikir ulang. Faktanya, semakin sulit untuk bertahan bagi kaum menengah dilihat dari daya beli yang menurun dan tabungan yang telah diambil untuk keperluan utama.

Fenomena ini semoga tidak berlangsung seterusnya. Banyak yang turun kasta kedalam kategori kurang mampu atau kelompok rentan. Jika Anda pesimis, semua terdengar logis saja.

Ketika kita tak punya pilihan selain menjadi medioker atau turun menjadi yang rentan, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah penerimaan diri. Kita anggap hanya itu yang kita punya. Belum tentu kehidupan selain yang diberikan Tuhan lebih baik. Kita pasrah tapi bukan berarti berhenti mencoba.

Karena kita tidak unggul dalam finansial maka akan lebih berguna melengkapi saja kehidupan yang sudah medioker ini dengan hubungan sosial yang sehat, rasa syukur, dan rutinitas yang bermakna. Mengejar pencapaian besar yang mustahil bisa dicapai dengan bekal kita sebagai kaum medioker — dan kondisi yang tak memungkinkan persaingan secara sehat — malah mengurangi kualitas kesehatan mental sendiri.

3. Perspektif Evolusi Sosial

Manusia selalu hidup dalam kelompok yang punya pembagian peran. Ada yang jadi pemimpin, ada yang menjadi si bijak dan ada yang mendukung di belakang. Tanpa kerjasama ini, manusia tidak akan bertahan melalui ribuan tahun mulai dari zaman berburu, berburu-mengumpul, pertanian-menetap sampai revolusi industri.

Secara evolusi, pembagian peran ini muncul sebagai cara paling efisien tak punah. Orang-orang dengan kemampuan luar biasa mungkin memimpin atau menciptakan inovasi, tetapi mereka tetap membutuhkan kelompok yang mendukung, baik secara fisik maupun emosional. Orang-orang “biasa” inilah yang tak terlihat tapi secara nyata menjalankan peran paling vital. Di kemudian hari, pola ini tetap bertahan.

Jadi, jika kita merasa hidup biasa-biasa saja, ingatlah bahwa kita bagian dari sesuatu yang lebih besar. Kemediokeran adalah bagian penting dari keseimbangan yang membuat dunia ini tetap berjalan.

Dan kalau sudah mencoba dan tak bisa keluar dari ke-medioker-an, kita sebaiknya terima saja faktanya. Mungkin itu tidak terlalu buruk.

Takalar, 25 Januari 2025

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (1)