Lanjutan Bagian Satu Memoar Haruki Murakami

Muh. Syahrul Padli
10 min readJul 2, 2021
https://api.creativecommons.engineering/

Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali aku tinggal di Cambridge (dari tahun 1993 sampai 1995, dulu saat Bill Clinton adalah presiden). Ketika aku melihat Sungai Charles lagi, keinginan untuk lari melayang di atas kepalaku. Umumnya, kecuali beberapa perubahan besar terjadi, sungai selalu terlihat sama, dan Sungai Charles khususnya tampak sama sekali tidak berubah. Waktu telah berlalu, mahasiswa datang dan pergi, aku telah menua sepuluh tahun, dan benar-benar ada banyak air di bawah jembatan. Tapi sungai tetap tidak berubah. Air masih mengalir dengan cepat, dan tanpa suara, menuju pelabuhan Boston. Air menyapu garis pantai, membuat rumput musim panas tumbuh tebal, yang membantu memberi makan unggas air, dan mengalir dengan lesu, tak henti-hentinya, di bawah jembatan tua, memantulkan awan di musim panas dan terombang-ambing hanyut di musim dingin — dan tanpa suara menuju lautan.

Setelah merenungkan semuanya, mengatasi hambatan, dan membuka diri ke dalam kehidupan di Cambridge, aku mengalami kemunduran yang serius lagi. Bernapas di tempat yang ramai, mengumpulkan tenaga, udara pagi, aku merasa sekali lagi kegembiraan berlari di tempat yang akrab. Suara langkahku, napas dan detak jantungku, semuanya bercampur bersama dalam banyak ritme yang unik. Sungai Charles adalah tempat suci untuk seri balap kayak dan perahu layang, dan selalu ada seseorang mendayung di sungai. Aku suka balapan dengan mereka. Tentu saja kebanyakan perahu melaju lebih cepat. Tapi saat satu orang santai mendayung aku bisa berlari lebih cepat dan menang taruhan.

Mungkin karena ini adalah rumah dari Marathon Boston, Cambridge penuh dengan pelari. Berlari di sepanjang sungai Charles terus berlanjut selamanya, dan jika mau, bisa berlari berjam-jam. Masalahnya adalah, litasan ini juga digunakan oleh pengendara sepeda, jadi harus berhati-hati terhadap sepeda yang melaju cepat dari belakang. Di Berbagai tempat juga ada retakan di trotoar yang harus kau pastikan kakimu tidak tersandung, dan beberapa lampu merah yang jadi titik macet panjang di mana kau bisa terjebak, yang dapat mengganggu larimu. Selebihnya, ini sebuah lintasan lari yang indah.

Terkadang saat aku berlari, aku mendengarkan musik Jazz, tapi biasanya musik Rock, karena ketukannya adalah yang terbaik untuk mengiringi irama lari. Aku lebih memilih Red Hot Chili Peppers, Gorillaz, dan Beck, dan band gaek seperti Creedence Clearwater Revival dan Beach Boys. Musik dengan irama sesederhana mungkin. Banyak pelari sekarang menggunakan iPod, tapi aku lebih memilih pemutar MD yang biasa kugunakan. Ukurannya sedikit lebih besar daripada iPod dan tidak bisa menampung data sebanyak iPod, tapi cocok untukku. Pada titik ini aku tidak ingin mencampuradukkan musik dan teknologi. Karena itu sama tidak baiknya dengan mencampuradukkan urusan pertemanan, pekerjaan, dan seks.

Seperti yang telah kusebutkan, pada bulan Juli aku berlari sejauh 186 mil. Hujan turun dua hari berturut-turut di bulan itu, dan aku menghabiskan dua hari di lintasan. Dan ada beberapa hari di mana cuaca terlalu lembab dan terlalu panas untuk berlari. Jadi sejujurnya, berlari 186 mil tidak begitu buruk. Tidak buruk sama sekali. Jika berlari 136 mil sebulan berarti serius berlari, maka 186 mil harusnya berarti berlari secara akurat. Semakin jauh aku berlari, semakin banyak aku kehilangan berat. Dalam dua dan setengah bulan beratku turun sekitar tujuh kilogram, dan sedikit lemak yang mulai aku lihat di sekitar perutku lenyap. Bayangkan pergi ke toko daging, beli tujuh pon daging, dan bawa pulang ke rumah. Seperti itulah kira-kira. Aku memiliki perasaan campuraduk dengan membawa beban pikiran tambahan itu (tidak maksimalnya aktivitas lariku) setiap hari. Tinggal di Boston, bir Samuel Adams (Summer Ale) dan Dunkin ‘Donuts sangat penting bagi hidup. Tapi aku menemukan kegembiraan kalau bahkan hambatan ini bisa diimbangi dengan latihan terus-menerus.

Mungkin agak konyol bagi seseorang seusiaku mengucapkan hal tersebut, tapi aku hanya ingin memastikan aku mengatakan fakta dengan jelas: Aku adalah tipe orang yang menjadi diri sendiri. Untuk membuatnya lebih jelas, aku adalah tipe orang yang tidak merasa sakit sendirian. Aku menghabiskan satu atau dua jam setiap hari berlari sendiri, tidak berbicara dengan siapa pun, dan juga empat atau lima jam sendirian di mejaku, tidak sulit atau membosankan. Aku sudah memiliki kecenderungan ini sejak muda, ketika diberi pilihan aku lebih suka membaca buku sendiri atau berkonsentrasi mendengarkan musik bersama orang lain. Aku selalu memikirkan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri.

Meski begitu, setelah aku menikah di usia muda (aku berumur dua puluh dua kala itu), aku perlahan terbiasa tinggal dengan orang lain. Setelah lulus kuliah, aku mengelola sebuah bar, jadi aku belajar pentingnya bersama orang lain dan kita tidak bisa bertahan hidup sendirian. Perlahan-lahan, barangkali dengan siklusku sendiri, kemudian melalui pengalaman pribadi, aku menemukan cara untuk bisa bersosialisasi. Mengingat hal itu sekarang, aku bisa mengerti kenapa di usia dua puluhan pandangan hidupku berubah, dan aku mendewasa. Dengan mencari paksa informasi sendiri di banyak tempat, aku memperoleh keterampilan praktis yang kubutuhkan untuk hidup. Tanpa sepuluh tahun sulit itu, kurasa pasti aku tak akan bisa menulis novel, dan kalaupun aku sudah mencoba, aku tidak akan bisa melakukannya. Bukan berarti kepribadianku berubah secara drastis. Keinginanku untuk sendirian tidak berubah. Itulah sebabnya mengapa aku berlari.

Sekitar sejam atau lebih aku menghabiskan waktu berlari, mempertahankan kesendirianku, waktu pribadi sangat penting untuk membantuku menjaga kesehatan mental. Saat berlari, aku tidak perlu berbicara dengan siapapun dan tidak perlu mendengarkan siapapun. Yang perlu kulakukan hanyalah menatap pemandangan yang kulewati. Ini adalah bagian dari hariku yang harus kulakukan.

Aku sering ditanya apa yang aku pikirkan saat berlari. Biasanya orang yang bertanya ini tidak pernah lari jarak jauh. Aku selalu merenungkan pertanyaannya. Apa sebenarnya yang kupikirkan saat berlari? Aku tidak tahu.

Di hari yang dingin kukira aku sedikit memikirkan betapa dinginnya itu. Dan betapa panasnya di hari-hari musim panas. Saat aku sedih aku berpikir sedikit tentang kesedihan. Saat aku senang aku sedikit memikirkan kebahagiaan. Seperti yang kusebutkan sebelumnya, ingatan acak juga muncul. Dan kadang-kadang, hampir selalu, sebenarnya, aku mendapatkan ide untuk ditulis di novel. Tapi sebanyak apapun aku berlari, aku tidak bisa memikirkan banyak hal yang layak dipikirkan.

Aku hanya lari. Aku berlari dalam kehampaan. Atau mungkin aku harus mengatakannya dengan cara lain: Aku berlari untuk mendapatkan kekosongan. Tapi seperti yang kau duga, sesekali aku akan tergelincir di dalam kekosongan ini. Pikiran orang tidak dapat kosong total. Emosi manusia tidak cukup kuat atau cukup konsisten untuk mempertahankan kekosongan. Yang aku maksud adalah, jenis pemikiran dan gagasan yang menyerbu emosiku saat aku terus berlari sedikit di bawah kekosongan itu. Karena kekurangan muatan, mereka hanyalah pikiran acak yang berkumpul di seputar kehampaan pusat itu.

Gaasan-gagasan yang terpikir olehku saat aku berlari seperti awan di langit. Awan yang berbeda ukuran. Mereka datang dan pergi, sementara langit tetap sama seperti biasanya. Awan semata tamu di langit yang akan lewat dan lenyap, meninggalkan langit. Langit antara ada dan tiada. Langit memiliki substansi dan pada saat yang sama tidak. Dan kita hanya menerima hamparan luas ilusi itu sebagai langit lalu menenggak konsep itu begitu saja.

Aku di akhir lima puluhan sekarang. Ketika aku masih muda, aku tidak pernah membayangkan abad kedua puluh satu benar-benar datang. Secara teori, tentu saja, sudah jelas suatu hari, jika tidak ada hal lain terjadi, abad kedua puluh satu akan berputar dan aku akan berusia lima puluh tahun. Ketika aku masih muda, diminta membayangkan diriku pada usia lima puluh sama sulitnya dengan diminta untuk membayangkan, secara konkret, dunia setelah kematian. Mick Jagger pernah membual kalau “Aku lebih baik mati daripada terus bernyanyi”. ‘Satisfaction’ saat dia berumur empat puluh lima tahun. Tapi sekarang usianya sudah lebih dari enam puluh dan masih menyanyikan ‘Satisfaction’. Beberapa orang mungkin menganggap ini lucu, tapi tidak denganku. Saat masih muda, Mick Jagger tidak bisa membayangkan dirinya sendiri pada usia empat puluh lima. Ketika aku masih muda, aku juga sama. Dapatkah aku menertawakan Mick Jagger? Tidak mungkin. Aku tidak lahir sebagai penyanyi Rock muda. Tidak ada yang mengingat hal bodoh apa yang mungkin aku katakan saat itu, dan mereka tidak akan mengutip lalu mengolok-olokku dengan kata-kata itu. Itulah satu-satunya perbedaannya.

Dan sekarang di sinilah aku tinggal di dunia yang tak terbayangkan ini. Rasanya sangat aneh, dan aku tidak tahu apakah aku sangat beruntung atau tidak. Mungkin itu bukanlah sebuah masalah. Bagiku — dan bagi orang lain, mungkin — inilah pengalaman pertama kali aku menua, dan emosi yang kualami juga baru kurasakan. Jika itu sesuatu yang pernah aku alami sebelumnya, maka aku bisa memahaminya dengan lebih jelas, tapi ini yang pertama kali, jadi aku tidak bisa. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menahan diri dari terlalu menghakimi dan menerima semua hal apa adanya. Sama seperti aku menerima langit, awan, dan sungai. Dan ada juga hal lucu tentang itu semua, sesuatu yang tidak ingin dibuang sepenuhnya.

Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, bersaing dengan orang lain, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di bidang pekerjaan bukan gaya hidup yang kuinginkan. Maafkan aku karena mengatakannya lagi, tapi dunia ini terdiri dari berbagai jenis orang. Orang lain memiliki prinsip sendiri untuk dijalani, dan hal yang sama juga berlaku untukku. Perbedaan ini menimbulkan ketidaksepakatan, dan kombinasi dari perbedaan pendapat ini dapat meningkatkan kesalahpahaman yang lebih besar lagi. Akibatnya, terkadang orang dikritik secara tidak adil. Begitulah yang terjadi. Disalahpahami atau dikritik itu tidak menyenangkan, tapi lebih seperti pengalaman yang sangat menyakitkan bagi seseorang.

Seiring bertambahnya usia, aku perlahan menyadari kalau rasa sakit dan luka semacam ini adalah bagian penting dari kehidupan. Kalau dipikirkan, tepatnya itu justru karena orang berbeda dari orang lain yang mampu menciptakan independensi sendiri. Aku contohnya. Justru aku mampu mendeteksi beberapa aspek dari sebuah adegan yang orang lain tidak dapat deteksi, untuk merasa berbeda dari yang lain dan memilih kata-kata yang berbeda dari mereka, yang memungkinkanku menulis ceritaku sendiri. Dan karena ini kita memiliki situasi yang luar biasa di mana beberapa orang membaca apa yang telah kutulis. Jadi kenyataan kalau aku adalah aku dan bukan orang lain adalah aset terbesarku. Emosi menyakitkan adalah harga yang seseorang harus bayar agar independen.

Itulah yang pada dasarnya kuyakini, dan aku telah menjalani hidupku dengan semestinya. Di area tertentu dalam hidupku, aku secara aktif mencari kesendirian. Khusus untuk seseorang yang bekerja sebagai penulis, kesendirian sedikit banyak, adalah keadaan yang tak terelakkan. Terkadang, bagaimanapun, rasa terisolasi ini, seperti cairan asam yang tumpah dari botol, secara tidak sadar bisa menggerus hati seseorang dan melahapnya. Kau bisa melihatnya juga sebagai semacam pedang bermata dua. Kesendirian melindungiku, tapi pada saat yang sama terus mencincangku dari dalam. Aku memikirkannya dengan caraku sendiri, dan aku menyadari bahaya ini — mungkin melalui pengalaman — dan karena itulah aku melakukannya.

Aku harus terus-menerus menjaga gerak tubuhku, dalam beberapa kasus mendorong diriku sampai pada batasnya, untuk menyembuhkan kesepian yang kurasakan di dalam batinku dan untuk memberiku sebuah sudut pandang. Itu bukan tindakan yang disengaja, tapi sebagai reaksi naluriah.

Aku akan lebih spesifik.

Ketika aku dikritik secara tidak adil (dari sudut pandangku setidaknya), atau ketika seseorang yang aku yakini tak mengerti tentangku, aku pergi berlari sedikit lebih lama dari biasanya. Dengan berlari lebih lama rasanya aku bisa secara fisik mengeluarkan bagian dari ketidakpuasanku. Hal itu juga membuatku sadar betapa lemahnya aku, betapa terbatas kemampuanku. Aku menjadi sadar, secara fisik, dari titik rendah ini. Dan salah satu hasil berlari sedikit lebih jauh dari biasanya adalah aku menjadi lebih kuat. Jika aku marah, aku mengarahkan kemarahan itu menuju diriku sendiri. Jika aku memiliki pengalaman yang membuatku frustrasi, aku menggunakannya untuk mengembangkan diri. Begitulah caraku hidup. Aku diam-diam menyerap hal-hal yang bisa kuambil, melepaskannya kemudian, dan mengubahnya kedalam bentuk yang memungkinkan, sebagai bagian dari alur cerita dalam sebuah novel.

Aku tidak berpikir kebanyakan orang menyukai kepribadianku. Mungkin ada beberapa — sangat sedikit, kubayangkan — yang terkesan dengan itu, tapi jarang ada orang seperti itu. Siapa di dunia yang bisa punya perasaan hangat, atau sesuatu seperti itu, kepada orang yang tidak berkompromi, yang bisa dibilang, kapan pun ada masalah muncul mengunci diri sendirian di lemari? Tapi apakah mungkin seorang penulis profesional disukai orang? Aku tidak tahu. Mungkin di suatu tempat di dunia ini. Tak bisa digeneralisasi, sih. Bagiku, paling tidak, karena aku telah menulis novel selama bertahun-tahun, aku tidak bisa membayangkan seseorang menyukaiku sebagai individu utuh. Karena tidak disukai oleh seseorang, dibenci dan dianggap hina, entah kenapa tampaknya lebih alami. Bukan berarti aku lega saat itu terjadi. Bahkan aku tidak senang saat seseorang tidak suka kepadaku.

Tapi itu lain cerita. Ayo kembali bicara soal berlari. Aku sudah kembali ke gaya hidup berlari lagi. Aku mulai berlari serius dan sekarang tetap ketat menjaga rutinitas berlari. Sekarang aku di akhir usia lima puluhan dan tetap berlari. Aku belum tahu itu berarti atau tidak. Tapi aku pikir harusnya itu berarti sesuatu. Tidak apa-apa tidak filosofis, tapi harus ada signifikansinya. Pokoknya, sekarang aku harus terus berlari. Aku akan menunggu sampai nanti untuk memikirkan apa artinya semua itu. (Menunda memikirkan sesuatu adalah salah satu spesialisasiku, sebuah keterampilanku yang telah terasah seiring bertambahnya usiaku.) Aku menjemur sepatu lariku, meratakan losyen anti matahari di wajah dan leherku, mengatur jam tangan sportiku, dan mulai berlari. Angin menerpa wajahku, seekor bangau putih terbang di atasku, kakinya membentuk garis lurus saat melintasi langit, dan aku mendengarkan musik favorit lamaku, Lovin’ Spoonful.

Saat aku berlari, aku terpukau oleh sebuah ide: biarpun capaian waktuku dalam berlari tidak meningkat, tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk mengatasinya. Aku sudah bertambah tua, dan waktu telah memangsa tumbalnya. Itu bukan salah siapa-siapa. Itulah aturan permainannya. Sama seperti sungai yang mengalir ke laut, semakin tua dan melambat hanya bagian dari skenario alam, dan aku harus menerimanya. Ini mungkin bukan proses yang menyenangkan, dan hasil yang kudapatkan mungkin tidak semuanya meggemberikan. Tapi pilihan apa yang kumiliki? Dengan caraku sendiri, aku sudah menikmati hidupku sejauh ini, bahkan jika aku tidak dapat mengatakan kalau aku telah benar-benar menikmatinya.

Aku tidak mencoba untuk membual atau apa pun — siapa di dunia ini yang akan membual tentang sesuatu seperti itu? — tapi aku bukan orang yang paling cemerlang. Aku adalah tipe orang yang harus mengalami sesuatu secara fisik, benar-benar merasakan sesuatu, sebelum aku memiliki perasaan yang jelas. Tidak peduli apa pun itu, kecuali jika aku melihatnya dengan mata sendiri aku baru yakin. Aku tipe manusia otot, bukan intelektual. Tentu saja aku punya kecerdasan tertentu — paling tidak menurutku. Jika aku benar-benar tidak punya kecerdasan tertentu tidak mungkin aku bisa menulis novel. Tapi aku bukan tipe yang beroperasi lewat teori atau logika murni, bukan tipe orang yang sumber kekuatannya berasal dari spekulasi intelektual. Hanya saat aku diberi beban fisik dan ototku yang sebenarnya mulai mengerang (dan kadang menjerit) maka kedalaman pemahamanku meningkat drastis dan akhirnya aku mampu menangkap sesuatu. Tak perlu dikatakan lagi, dibutuhkan sedikit waktu, ditambah usaha, untuk melewati masing-masing tahap demi tahap, dan sampai pada suatu kesimpulan. Terkadang dibutuhkan waktu terlalu lama, dan pada saat aku yakin, itu sudah terlambat. Tapi apa boleh buat? Begitulah aku.

Saat berlari aku berkata pada diri sendiri untuk memikirkan sebuah sungai. Dan awan. Tapi intinya aku tidak memikirkan apa-apa. Semua yang kulakukan adalah terus berlari menuju kekosonganku yang nyaman, keheningan buatanku, nostalgia kesendirianku. Dan ini adalah sebuah hal yang sangat indah. Tidak peduli apa kata orang lain.

Lanjutannya bisa dibaca di sini

Bagian sebelumnya bisa dibaca di sini

Kamu bisa dukung saya untuk terus berkarya di https://saweria.co/muhsyahrulpadli

Berapa pun donasi kamu akan sangat membantu saya membeli kopi saset.

--

--

Muh. Syahrul Padli

A Science Teacher, Head of Penghayat Sumur Community and Digital-Creative worker. co-Founder YT Bawah Pohon Science (an alternative education platform).