Memilih Satu Ingatan Baik di Antara Tumpukan Ingatan Buruk
(Cara yang Mungkin Bermanfaat — Mungkin Juga Tidak)
Di sudut kota kecil yang sunyi, seorang anak perempuan duduk di teras rumah, memandangi langit senja yang melebur dari jingga menjadi kelabu.
Tangannya menggenggam kertas ulangan bernilai sembilan puluh. Tak ada yang bertanya apa itu. Orang tuanya sibuk: ayahnya mengelas besi di bengkel. Ibunya menjahit gamis seragam majelis ta’lim tetangga hingga larut.
Ia belajar merayakan diri sendiri — dengan menyimpan potret senyum gurunya di pikiran, mengulang kata-kata pujiannya seperti mantra. “Kamu sudah berusaha keras, lanjutkan,” bisiknya pada angin dan langit, mengulang kalimat apresiasi gurunya.
Itulah awal ia tak sadar sedang membangun time machine sederhana: satu memori baik yang kelak menjadi pelabuhan saat badai datang.
Fisika tak membahas penjelajahan waktu. Bahkan Fisika saat ini mengatakan itu mustahil dilakukan. Namun Fisika mengajarkan bahwa energi tak pernah hilang — hanya berubah bentuk.
Seperti itu pula ingatan. Setiap detik, otak kita adalah laboratorium nuklir mini tempat reaksi fusi dan fisi terjadi.
Informasi dari masa lalu dipecah, disimpan sebagai potongan energi dalam neuron, lalu disusun kembali saat kita mengingat.
Tapi ada hukum kedua termodinamika yang kejam: entropi. Tanpa usaha, semua sistem cenderung lebih cepat menuju chaos (kekacauan, ketakteraturan). Ingatan baik, jika tak dipelihara, akan terkubur di bawah kekacauan emosi negatif yang lebih “berisik”.
Seperti bola salju yang menggelinding, satu memori positif yang terus diulang akan mengumpulkan massa — menjadi lebih besar, lebih kuat, melawan kekuatan entropi yang mendorongnya ke jurang ketidakberaturan.
Evolusi mungkin berperan penting mengapa kita lebih mudah mengingat luka daripada tawa. Di sabana Afrika purba, nenek moyang kita yang terlalu asyik mengingat indahnya bunga liar bisa mati diterkam singa.
Otak berkembang sebagai mesin detektor ancaman: sistem limbik menyala merah saat ada bahaya, mengabadikan memori buruk sebagai peta jalan bertahan hidup.
Tapi dunia kini berbeda. Ancaman tak lagi berupa predator, melainkan pesan tak terbaca dari atasan, atau keheningan di meja makan keluarga. Amigdala kita tetap bekerja seperti zaman batu — mengumpulkan awan gelap, sementara kita butuh matahari.
Di sinilah neurosains membisikkan harapan. Setiap kali kita sengaja mengingat momen bahagia — misalnya saat guru IPA SMP tersenyum bangga atas nilai ujian kita yang sempurna — korteks prefrontal aktif seperti konduktor orkestra.
Ia mengirim sinyal ke hippocampus untuk menguatkan sambungan saraf itu. Prosesnya mirip mengukir di batu: semakin sering diukir, semakin dalam jejaknya. Ini disebut long-term potentiation. Neuron yang aktif bersama-sama akhirnya membentuk sambungan sinaptik yang lebih kuat satu sama lain.
Setiap recall memori adalah palu dan pahat yang membentuk struktur internal otak, membuat jalur cahaya itu semakin mudah dilintasi.
Psikologi menambahkan: manusia adalah storyteller. Kita tak bisa hidup dalam fakta mentah; kita perlu narasi.
Saat seseorang memilih memori tentang hari ia pertama kali bisa naik sepeda, ia sedang berusaha memperbaiki suasana hatinya. Ia memilih mengapresiasi dirinya dan capaian kecilnya di masa lalu. Dan itu lebih berguna dibanding tenggelam dalam emosi buruk.
Ini bukan pelarian, melainkan counter-storytelling. Seperti kata teori kognitif Beck: bukan peristiwa itu sendiri yang menentukan perasaan, tapi interpretasi kita.
Satu memori baik yang dirawat bisa menjadi batu pertama untuk membangun kastil narasi baru di mana diri kita adalah protagonis yang layak dirayakan.
Bayangkan ini: di suatu sore yang hujan, seorang perempuan duduk di kantor menghadap laptop. Jiwanya hampa karena rancangan strategi iklan di sosmed dan Google Ads ditolak mentah-mentah oleh product manager-nya.
Padahal dia sudah mengerjakannya sepenuh hati selama dua bulan. Dia sangat serius melakukan riset tentang keunggulan dan kelemahan brand yang ditangani, segmentasi pasarnya sampai after selling.
Lalu tiba-tiba ia teringat malam ketika ibunya — meski kelelahan sehabis menjahit gamis seragam majelis ta’lim tetangga— pernah membelikannya es krim saat ia gagal ujian.
Di otaknya, oksitosin mengalir seperti sungai kecil yang mencairkan es di korteks insula. Bagian otak ini adalah pusat otak yang membantu kita merasakan tubuh, memahami emosi, dan merespon lingkungan sosial.
Ia tak menyadari bahwa saat itu, ia sedang melakukan aksi perlawanan terhadap jutaan tahun evolusi. Ia menggunakan neokorteks yang umurnya lebih muda untuk menjinakkan sistem limbik yang lebih purba.
Praktiknya sederhana: buat daftar “bank memori” — bisa di notes ponsel atau di sudut diary. Tak perlu peristiwa besar. Cukup detik-detik di mana ada cahaya, sekecil apapun: aroma kopi pagi yang pernah diminum bersama teman, ucapan terima kasih dari orang asing, atau bahkan bayangan sendiri di cermin yang suatu kali terlihat tegar.
Saat stres melanda, pilih satu dan “putar” ulang dengan detail sensorik: suara, bau, tekstur. Inilah cara menipu otak. Beri stimulus yang sama seperti saat kejadian asli, seolah-olah kita mengalaminya kembali.
Seperti teori relativitas Einstein, waktu dalam ingatan itu elastis. Satu detik kebahagiaan bisa membentang menjadi ruang penyelamat.
Fisika kuantum bahkan berandai-andai: dengan mengamati, kita mengubah yang diamati. Mungkin dengan mengamati memori baik, kita mengubah konfigurasi emosi di masa kini. Ini bukan sihir. Ini sains yang puitis — dan juga pseudo-sains (sains palsu).
Kita memang tak bisa memilih di keluarga mana terlahir. Tapi kita bisa memilih fragmen mana dari masa lalu yang akan dibawa ke masa depan. Agak mirip astronom yang memilih bintang tertentu untuk navigasi. Atau seperti kumbang yang mengikuti cahaya bulan meski seluruh kota telah dipenuhi lampu LED.
Satu ingatan baik adalah lilin yang kita nyalakan di gua gelap evolusi, di labirin neurosains, di tengah badai entropi. Dan lilin itu — percayalah — mungkin cukup untuk menemukan jalan pulang. Setidaknya pulang ke diri sendiri.
Yogyakarta, 21 Februari 2025