Orang yang (Tak Punya Daya) Berubah
(Muh. Syahrul Padli — seri refleksi)
Awalnya saya pikir semua manusia pasti bisa berubah dalam hal tertentu. Setidaknya dalam hal dasar atau hal-hal kecil yang menunjang kehidupan.
Sayangnya, tidak demikian. Tidak semua orang bisa berubah. Ada orang yang telah sampai pada tahap adaptasi tertingginya.
Mungkin itu disebabkan keterbatasan otak atau kemalasan mengolah informasi baru atau karena memang hanya belum merasakan pentingnya hal tersebut.
Sebagai anak sekolahan dan kebetulan sempat ke luar kota, ketika kembali ke kampung, ada hal yang sangat mengganjal di kepala saya. Yaitu perubahan lambat atau bahkan stagnasi dari warga kampung, terkhusus di keluarga besar sendiri.
Sangat banyak anggota keluarga besar, umumnya adalah nenek kandung dan saudaranya, yang sengaja mematikan dayanya untuk berubah. Bahkan untuk hal sesederhana seperti menutup pintu, menutup termos dengan rapat, menaruh parang di tempatnya setelah dipakai, mengetuk pintu WC dulu dan tidak langsung mendobrak, tidak masuk ke kamar tanpa izin si pemilik kamar, menolak memberi pinjaman karena sudah sering ditipu, kurangi sikap tak enakan untuk orang yang tak dapat dipercaya dan waspada kepada orang asing.
Semua kebiasaan itu masih bisa saya beri toleransi. Toh kalau lupa menutup pintu, tinggal saya tutup saja. Kalau menutup termos kurang rapat, tinggal saya tutup rapat; kalau asal menaruh parang tinggal saya amankan; kalau lupa mengetuk pintu WC saya, tinggal membesarkan suara dari dalam; kalau masuk kamar tanpa izin, tinggal saya kunci kamar kalau bepergian.
Kalau memberi pinjaman dan si peminjam tidak megembalikan, tinggal acuh saja toh itu uangnya sendiri. Kalau menyesal karena menolong orang yang salah, saya tak ambil pusing toh sudah diberi peringatan sebelumnya. Namun ada satu kebiasaan yang betul-betul mengganggu: berkeluh kesah di depan orang lain atas kesalahan dan semua hal yang tak berjalan sesuai keinginannya.
Di suku Makassar, khususnya di kampung saya, berkeluh kesah dengan suara besar itu hal yang lumrah. Itu semacam kebiasaan untuk meluapkan kekesalan terhadap realita.
Sayangnya, untuk kami anak generasi terbaru, kebiasaan itu bisa dimaknai berbeda. Apalagi saya, yang sangat terbiasa dengan bahasa halus sewaktu merantau ke Jakarta, Kediri dan Surabaya. Telinga saya semakin sensitif terhadap gaya bicara, nada dan volume suara orang lain.
Saya bisa terkena dampak dari keluh kesah yang sebenarnya tidak ditujukan kepada saya. Saya rentan bad mood atau merasa tersinggung ketika saya sedang ada dalam tekanan pekerjaan atau dikejar deadline oleh klien. Dalam kondisi biasa, saya tak ada kendala untuk memahami kultur tersebut.
Saya juga agak sensitif ketika makan. Bagi saya, waktu makan harus saya nikmati sebaik mungkin. Saya tak mau ada gangguan. Sayangnya, nenek dan generasinya (saudara dan sepupunya), tak kenal waktu berkeluh kesah.
Saya pernah bilang kepada nenek untuk setidaknya jangan berkeluh kesah ketika saya ada di ruang makan. Kalau tidak sedang makan, saya akan langsung keluar rumah atau pergi saja ke kamar atau pergi ke depan TV. Namun saat makan, saya tak suka pindah tempat. Tak baik dalam tradisi Makassar kalau seorang laki-laki pindah tempat makan. Pamali. Itu bisa jadi pertanda dari ketidakkonsistenan memegang tanggungjawab.
Pernah juga saya ubah jadwal makan. Ujung-ujungnya nenek saya yang malah menyesuaikan diri dengan jadwal makan saya.
Apa daya, bahkan setelah puluhan kali diberitahu dengan cara halus maupun agak kasar, tetap tak ada perubahan. Terlintaslah di kepala saya rencana penyadaran.
Saya ingin menyetel musik atau rekaman podcast ketika nenek atau saudara-saudaranya berkeluh kesah. Saya berharap itu akan menyadarkannya bahwa cucunya tidak nyaman dengan keluh kesahnya. Cara terbaik menurut saya untuk memberitahunya adalah dengan tindakan langsung yang terkesan kurang ajar.
Saya membeli speaker bluetooth dan menyambungkannya ke hp ketika nenek mulai mengeluh. Pertama saya akan setel dalam volume rendah terlebih dahulu. Kalau tak ada perubahan, baru saya setel ke volume tinggi.
Saya tak keberatan mendapat cap sebagai cucu kurang ajar. Toh yang tahu persis apa yang saya lalui hanya saya saja. Orang lain yang memberi label tertentu hanya merespon dari informasi yang mereka dapat. Dan itu tak apa-apa.
“Kekurangajaran” saya lahir dari upaya adaptasi sekuat tenaga yang gagal: saya yang gagal berkompromi dengan nenek atau mungkin nenek yang gagal berkompromi kepada saya.
Waktu terus berlalu dan meski saya telah berubah ke mode setan, hasilnya adalah tak ada hasil. Ironis.
Nenek saya berada di luar kontrol saya. Tindakan dan responnya di luar kuasa saya. Yang bisa saya lakukan hanya menjalani semua itu dengan tarikan napas panjang.
Hmmmmmmt, huuuuuft.
Mustahil berharap para orangtua berubah. Kebanyakan dari mereka telah mencapai batas tertentu. Jumlah informasi di kepala mereka dan kombinasi informasi yang berpotensi menghasilkan makna atau prinsip atau pemahaman baru sudah mentok.
Keterbatasan mereka dalam memahami kecenderungan generasi berikutnya mungkin sebabnya. Bisa juga, kemampuan “menerima keadaan” dari generasi saya yang rendah malahan sumber utama masalah ini. Hmmm.
Satu yang jelas: dengan initial condition (keadaan awal) yang berbeda, sangat sulit untuk sampai tujuan yang sama. Lingkungan dan nilai yang membentuk nenek dan generasinya tidak sama dengan yang membentuk saya. Untuk sampai pada tujuan yang sama yakni saling memahami itu juga sangat sulit tercapai.
Saya hanya bisa menunggu sampai mereka menghadap Tuhan. Tidak lupa, saya akan keras kepada diri sendiri untuk mengamati perubahan yang akan terjadi di generasi berikutnya.
Mungkin saya akan sama bebalnya dengan nenek (dan generasinya) nanti. Pemahaman saya sekarang akan usang untuk cucu-cucu saya. Sikap saya sekarang mungkin akan dianggap gangguan oleh keturunan saya berikutnya.
Saya hanya bisa berdoa semoga cucu-cucu saya jauh lebih berkompromi dan kesabarannya tidak setipis tisu seperti saya.
Amiiiin.