Pernikahan dan Trauma Masa Kecil

Muh. Syahrul Padli

--

(Refleksi atas Mengapa Pernikahan Masih Terasa Menakutkan)

image source

Saya takut menikah. Bukan ketakutan yang samar, bukan pula keresahan yang bisa diobati dengan nasihat bijak atau doktrin agama.

Ini adalah ketakutan yang mengakar, merayap dari lorong-lorong masa kecil, menyembul seperti duri setiap kali bayangan pernikahan mendekat.

Bukan soal uang, bukan pula ketidaksiapan karir. Ini sesuatu yang lebih mendasar: trauma yang mengganggu, seperti asap tebal yang tak mau minggir meski angin telah bertiup belasan tahun.

Keluarga besar saya tampak biasa saja dari luar. Tak ada drama kekerasan, tak ada pertengkaran yang memecah kaca jendela. Kami bahkan dianggap “ideal” oleh tetangga — sebuah label yang ironisnya justru menjadi bukti betapa dangkalnya manusia menilai kehidupan orang lain.

Di balik tembok rumah yang tenang itu, ada luka yang tak pernah benar-benar kering. Luka itu bernama pengkhianatan, dan ia mengalir dalam darah saya seperti warisan yang tak diinginkan.

Saya perlu menceritakan tentang Paman terlebih dahulu.

Paman saya seorang polisi. Bukan polisi biasa, melainkan sosok yang bagi saya seperti ayah kedua. Di matanya yang lembut dan senyumnya yang lebar, ada kehangatan yang bisa membuat anak kecil seperti saya percaya bahwa dunia ini baik-baik saja.

Tapi hidup, seperti kata filsuf Yunani kuno, adalah tragedi yang diselingi lelucon. Dan lelucon itu datang ketika Paman memutuskan untuk berbisnis solar ilegal.

Bisnis itu bermula dari niat baik. Sebagai mantan Babinkantibmas di pulau nelayan, Paman tahu betul betapa nelayan kesulitan mendapatkan solar resmi.

Harga di SPBU melambung, sementara mata pencaharian mereka bergantung pada bahan bakar itu. Maka, dengan logika pasar yang sederhana — permintaan dan penawaran — Paman mengumpulkan solar dari jalur tak resmi, menjualnya ke nelayan dengan margin tipis.

Uangnya dipakai untuk menutupi utang bank, membayar cicilan rumah, dan menghidupi keluarga kecilnya.

Di sini, kita akan memasuki wilayah abu-abu moral. Apakah salah membantu nelayan dengan cara melanggar hukum? Ataukah justru sistemlah yang salah, memaksa orang baik seperti Paman memilih antara prinsip dan survival?

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada pemikiran Albert Camus tentang absurditas kehidupan: manusia terjebak dalam konflik antara mencari makna dan menghadapi dunia yang acuh terhadap penderitaannya.

Paman, dalam kepolosannya, mungkin tak pernah membaca Camus. Tapi hidupnya adalah refleksi nyata dari absurditas itu.

Yang terjadi kemudian bisa ditebak: bisnis itu terbongkar. Paman ditangkap, solar disita, dan ia mendekam di sel tahanan.

Yang lebih menyakitkan bukanlah hukum, melainkan pengkhianatan dari dalam. Kabar angin mengatakan bahwa teman seprofesinyalah yang melaporkannya — seorang yang iri, atau mungkin merasa terancam oleh keberhasilan bisnis Paman.

Dan di tengah semua itu, keluarga besar dari pihak istri Paman — yang dulu ikut menikmati uang hasil bisnis itu — berbalik menjadi hakim-hakim kecil yang melemparkan tuduhan dan cibiran.

Ada sesuatu yang getir tentang dikhianati oleh keluarga sendiri. Seperti ditikam dengan pisau yang sebelumnya dipinjamkan untuk memotong kue ulang tahun.

Keluarga istri Paman — yang secara teknis masih keluarga besar saya juga — tiba-tiba berubah menjadi sekumpulan orang asing. Mereka menyebut Paman “penjahat”, “aib keluarga”, dan melarang anak-anaknya bergaul dengan kami. Padahal, dulu merekalah yang paling rajin menadahkan tangan ketika Paman membagi keuntungan.

Saya masih ingat wajah Paman saat kami menjenguknya di tahanan. Senyumnya tetap ada, tapi seperti lukisan yang retak.

“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” katanya berusaha menenangkan kami yang menjenguk. Bapak masih kuat. Ibu yang tak bisa menahan tangis. Maklum, bagi Ibu, Paman yang merupakan adik iparnya sudah seperti adik sendiri. Ibu yang mengurus Paman sejak sekolah sampai jadi Polisi.

Saya tahu ucapan Paman itu dusta. Dia berusaha tampak baik-baik saja. Semua terlihat dari matanya, yang dulu selalu berbinar, kini redup seperti lampu yang kehabisan tenaga.

Di malam-malam berikutnya, saya sering terbangun dengan bantal basah. Bayangan cibiran keluarga itu terus menghantui.

Pertanyaan yang muncul di kepala remaha saya adalah: apa arti “keluarga” jika ikatan darah bisa begitu mudah terputus oleh uang dan gengsi?

Jean-Paul Sartre pernah menulis, “L’enfer, c’est les autres” — neraka adalah orang lain. Tapi saya rasa, neraka yang sesungguhnya adalah ketika “orang lain” itu adalah orang-orang yang seharusnya menjadi tempat kita pulang dan malah berbalik menolak kita atas kesalahan manusiawi.

Paman adalah role model saya. Ketika ia jatuh, seluruh fondasi keyakinan saya ikut runtuh. Jika seorang sekuat Paman — yang bisa tertawa di tengah tekanan — bisa hancur karena pengkhianatan, lalu apa artinya kekuatan?

Dari sinilah, ketakutan saya mulai berbentuk. Bukan lagi tentang pernikahan, tapi tentang kepercayaan.

Bagaimana mungkin saya mempercayai seseorang — apalagi keluarga besar mereka — jika yang terjadi pada Paman membuktikan bahwa cinta dan loyalitas bisa berubah menjadi racun dalam sekejap?

Suatu hari belasan tahun kemudian, Kakek dan Paman, mengajak saya bicara. Mereka duduk berhadapan dengan saya di kolong rumah panggung, seperti dua hakim yang akan mengadili ketakutan saya.

“Kamu tak perlu takut menikah,” kata Paman. “Tidak semua orang seperti mereka.” Kakek menambahkan, “Kami sudah punya calon yang baik untukmu.”

Tapi saya menggigit bibir. Di kepala saya, bayangan keluarga mertua Paman bergerak seperti hantu. Saya membayangkan diri saya di posisi Paman: dikhianati, dihina, dan ditinggalkan.

Lalu saya bertanya kepada diri sendiri: apakah saya sanggup bertahan seperti Paman? Apakah saya bisa tetap tersenyum saat dikhianati oleh orang-orang yang semestinya mendukung?

Jawabannya: tidak.

Saya bukan Paman. Saya tak punya kekuatan untuk memaafkan pengkhianatan yang begitu dalam. Maka, saya memutuskan: lebih baik tak menikah daripada harus menanggung risiko kehancuran seperti itu.

Pernikahan, dalam bayangan saya, bukanlah sekadar penyatuan dua insan. Ia adalah pertaruhan. Seseorang tak hanya menikahi pasangan, tapi juga sejarah keluarganya, traumanya, dan kemungkinan pengkhianatannya.

Ini mengingatkan saya pada konsep “intersubjektivitas” dalam filsafat fenomenologi Edmund Husserl: setiap hubungan manusia adalah pertemuan dua dunia subjektif yang bisa saling melukai atau menyembuhkan.

Bagaimana jika dunia subjektif calon pasangan kita dipenuhi racun? Bagaimana jika keluarga besarnya adalah pembawa petaka, seperti dalam kasus Paman?

Ketakutan saya menemukan bentuknya yang paling nyata: pernikahan bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang memasuki medan perang yang tak kita kenal.

Saya lalu berpikir: mungkin solusinya adalah menikahi orang yang tak punya “standar ideal”.

Tapi bukankah ini justru bentuk pelarian? Atau lebih buruk: bentuk penolakan terhadap kemungkinan bahagia?

Filsuf Søren Kierkegaard pernah menulis tentang “ketakutan dan kepanikan” sebagai bagian dari eksistensi manusia. Menurutnya, kita harus berani melompat ke dalam ketidakpastian untuk menemukan makna sejati. Tapi bagaimana jika lompatan itu berujung pada kehancuran, seperti yang terjadi pada Paman?

Di tengah semua kegelisahan ini, ada satu kalimat Paman yang terus terngiang: “Hidup ini seperti laut. Kadang tenang, kadang banyak ombak tinggi. Tugas kita bukan menghindarinya, tapi belajar bertahan dan memanfaatkannya.”

Kalimat itu sederhana, tapi mengandung kebijaksanaan yang dalam. Mungkin inilah yang disebut “amor fati” oleh Nietzsche — mencintai takdir apa pun bentuknya.

Paman menerima kejatuhannya bukan sebagai kegagalan, tapi sebagai bagian dari perjalanan. Tapi saya? Saya masih terjebak dalam ketakutan untuk bahkan memulai perjalanan itu.

Di sinilah letak paradoksnya: saya mengagumi Paman karena kekuatannya, tapi ketakutan saya justru lahir dari kekaguman itu.

Saya takut karena saya tahu batas kekuatan sendiri. Saya bukan pahlawan; saya hanya manusia biasa yang rapuh.

Hari ini, saya masih belum bisa menjawab pertanyaan “apakah saya bisa bahagia setelah menikah?”.

Tapi setidaknya, saya mulai memahami bahwa ketakutan ini bukanlah kelemahan. Ini adalah bagian dari diri saya yang perlu didengar dan dirangkul.

Seperti kata penyair Rumi, “Luka adalah tempat cahaya masuk.” Mungkin suatu hari nanti, cahaya itu akan menemukan cela untuk menyinari labirin ketakutan saya. Atau mungkin juga tidak.

Selama saya masih bisa bernapas, selama saya masih bisa menuliskan semua ini, setidaknya saya telah memberi diri izin untuk tidak terburu-buru.

Pernikahan bisa menunggu — setidaknya hingga tiga tahun lagi sampai saya berumur 30 tahun. Yang penting sekarang adalah saya mencari cara terbaik berdamai dengan hantu-hantu masa lalu.

Catatan Akhir:

Tulisan ini adalah upaya untuk menjalin benang merah antara trauma personal dan pertanyaan filosofis yang universal. Dari pengkhianatan hingga ketakutan akan masa depan, semua adalah fragmen dari manusia yang terus mencari makna dalam kehancuran. Mungkin, seperti kata Camus, kita harus membayangkan Sisyphus tersenyum saat menggulingkan batu — bahwa dalam ketidakabsurdan hidup, ada keberanian untuk terus berjalan.

Yogyakarta, 6 Februari 2025

--

--

Responses (2)