Pertaruhan dan Hujan Bulan Januari

Muh. Syahrul Padli
7 min readDec 14, 2020

--

(Cerpen Muh. Syahrul Padli)

source image: tumblr.com

Kau tak akan pernah membayangkan betapa hujan bulan Januari bakal semenyeramkan ini, Nur. Bagiku, mencium bau tanah, meresapi belaian dingin angin seperti melihat mayat hidup. Kenangan kita adalah mayatnya. Dan ketololanku adalah alasan kenapa mayat-mayat itu bisa bangkit dari kuburnya.

Kau mungkin tak akan mengerti hal sesentimentil itu. Kau juga tak akan pernah bisa merasakan perihnya jiwaku ketika memori-memori kita berkejar-kejaran bersama senja di pinggir pantai Tope Jawa dan bau amis yang dibawa lari udara. Sungguh, kau mungkin tak akan pernah menduga kalau hal-hal di sekelilingku bisa mengingatkanku pada ketidakmengertianmu selama ini.

Kau gagal melawan belenggu adat, godaan kehidupan mapan dan keinginan orangtua.

Dan kini, hatiku berperang. Ketakmungkinan memilikimu adalah arenanya.

Tentu saat itu hujan bulan Januari tak sedang mendera medan perang yang riuh oleh suara benturan pedang dan teriakan pasukan-pasukan yang tertebas. Tentu ujung runcing senjata tak sedang menembus jantung dan merobek usus-usus atau melubangi lambung para pasukan. Tentu kilat juga tak sedang menyambar-nyambar pohon atau benteng kokoh. Tentu debu yang beterbangan bukanlah abu kremasi para panglima. Namun, siapa pun tahu, serupa hujan bulan Januari dengan butiran hujan yang ganas mengetuk seng rumah, anak panah-anak panah dengan busur-busur buta bernama keputusasaan itu juga kian mendesing, mengabaikan jerit, menyisakan luka-luka hati yang telah teronggok di bukit berbatu dan lereng-lereng curam kesedihanku.

Dan kau, Nur, mengapa kau biarkan ingatan tentang kita masih beterbangan di udara sehingga ketika aku bernapas dadaku justru sesak? Apa yang menyebabkanmu tetap bergerilya di padang pasir keringnya hatiku?

Jika saja aku tidak memiliki kehormatan atas takdirku sebagai laki-laki Bugis-Makassar, akan kumohon kepada Tuhan mencabut nyawaku agar semua siksaan ini berakhir secepatnya. Tapi aku adalah laki-laki keturunan Sawerigading, yang menurut orang-orang, harus menghadapi semuanya sendirian. Meski kau tahu, aku bukanlah laki-laki yang kuat memikul beban-beban perasaan ini — seperti yang dilakukan buyutku itu. Tidakkah kau berinisiatif mengurangi apa yang ada di pundakku?

Mengapa kau tak membantuku membunuh perasaan ini? Bukankah lebih baik kalau kau mengantarku pergi dari segala puasa bahagia dan luapan rasa sakit yang tak terbendung menjelang pernikahanmu dengan laki-laki pilihan orangtuamu?

“Maaf karena aku tak bisa pergi bersamamu,” ucapmu lewat sambungan telepon ketika semua persiapan kawin lari siap.

“Tidak apa-apa. Kuhargai keputusanmu.”

“Syahrul, kau tidak harus pergi jauh untuk melupakanku.”

“Kau kira tetap di sini akan membuatku lebih baik?”

“Tapi kita bisa memulai hubungan baru. Mungkin sebagai sahabat.”

“Jangan mengatakan sesuatu yang mustahil, Nur,” balasku. “Tapi karena kau telah memutuskannya, nikmatilah pilihanmu sendiri. Jalan terbaik bagi kita berdua sekarang adalah menerima kondisi yang berubah. Jalankanlah peranmu sebaik-baiknya sebagai istri dan kelak sebagai ibu. Dan untuk sampai pada pemahaman baru tentang hidupku, aku mesti mengambil jarak denganmu yang selama ini menjadi alasanku untuk tetap bernapas.”

Saat kututup sambungan itu, kutanamkan dalam kepalaku kalau kau bukan lagi Nur yang dulu. Kau berubah. Aku berubah. Keadaan berubah. Semuanya berubah. Hanya perubahan yang tidak berubah. Tapi kenapa kenangan tentang kita menolak untuk berubah?

Saat-saat seperti ini khayalan masa depan bersamamu berskeras tetap hidup dalam ingatanku. Aku ingin jujur bahwa kenanganmu adalah penyebab ketaktenanganku. Dan kau harus tahu bahwa aku ingin pergi dari negara ini dengan perasaan tak terbebani. Aku akan memelihara perasaan benci yang berapi-api sebagai energi agar aku terus menjauh.

Kukhayalkan kau bersedih setelah tahu aku berusaha memenggal habis kenanganku dan mengeluarkan hatiku untuk diinjak-injak tepat sehari sebelum resepsi pernikahanmu. Kubayangkan dari sini wajahmu tidak bercahaya dan tak memancar anggun ketika menyadari bahwa aku seorang yang tak lagi punya cinta untukmu.

“Aku tak mencintainya. Dia laki-laki yang tak seperti dugaanku,” katamu via telepon satu tahun kemudian.

“Kau juga mungkin tak seperti dugaannya.”

“Karena itu aku ingin memulai hubungan baru denganmu. Lagipula dia sepertinya berselingkuh.”

“Kau mau jadikan aku pelarian?”

“Sebenarnya aku selalu mencintaimu. Perasaan itu masih utuh.”

“Perasaanku kepadamu tak utuh. Lagipula, aku menghormati pilihan awalmu.”

“Kau tak mau bekas orang yah?”

“Aku hanya ingin kau menikmati pilihanmu sendiri.”

“Apa kau ingin menyakitiku dengan menjauh tapi tetap bersedia menerima teleponku?”

“Tepat. Dengan menerima teleponmu aku bisa tahu kabar terbaru penyesalanmu. Sekaligus, aku tetap mengingat alasan kenapa aku berkelana ke tempat yang jauh.”

“Kau brengsek.”

“Mungkin. Tapi aku bukan seorang yang durhaka kepada ibuku dan layak dikutuk.”

“Tapi kau durhaka kepada perempuan yang berharap kesempatan kedua. Karena itu kau layak dikutuk.”

“Baiklah kita saling kutuk kalau begitu.”

“Inilah kutukanku, Syahrul! Kau tidak akan mampu mencintai siapapun di antara wanita-wanita lain yang dekat denganmu dan aku tak akan pernah hilang menghantui otak sadar, bawah sadar dan setengah sadarmu selamanya. Selesaikan perangmu kalau kau anggap kenangan kita adalah mayat hidup yang harus kau tumpas! Lihatlah nanti, kenanganku akan terlahir kembali. Aku akan terkurung selamanya dalam kepalamu. Setidaknya sebagai ingatan buruk wanita yang pertama kali kau cintai dengan segenap perasaanmu namun tak pernah mampu kau miliki barang separuh karena keadaan yang memaksa.”

“Kuterima kutukanmu. Dan ini kutukanku, Nur! Kau akan tenggelam dalam penyesalan selamanya hingga kau merasa tak pantas hidup dan tak berani mati. Kau akan terombang-ombang sampai kau berhenti bernapas.”

Kata-katamu sebenarnya adalah omong kosong nyata. Tapi kau menganggap dirimu menang dan menganggapku sebagai pesakitan. Aku sungguh tak menyangka kau sangat egois dan tak berlapang dada atas takdirmu sebagai wanita yang jadi budak keadaan. Aku pernah menawarkan pembebasan tapi kau menolak. Sekarang, akan kupasang penjara tambahan bagimu.

Kini aku di Boulder, Colorado. Tahun demi tahun berlalu, dan perlahan kulupakan perih hati yang dipicu hujan bulan Januari. Di Colorado, tak ada hujan bulan Januari. Hanya ada musim panas bulan Juni, dan musim panas di bulan-bulan lain.

Di tempat ini, di mana bekas konflik masa lalu tak berkesudahan berdamai dengan masa depan yang tak pasti, kuharap tak akan kudengar lagi suaramu, Nur. Nyatanya, di kota ini, tempat malaikat gampang diolok-olok sebagai alien yang menumpangi UFO, bayanganmu muncul lagi. Tepat ketika gedung-gedung merah bata yang menjulang gagah dan pohon palem tertata bergoyang malu-malu, kesenyapan dan kesepianku selama ini terpancar di sepanjang aspal yang mulus.

Ponselku berdering. Nada ini sangat khas karena kupasang untuk menandai panggilanmu.

“Apa kau tak ingin berdamai denganku dan saling membebaskan kutukan?”

“Tidak. Aku akan mengasah dendamku karena itulah satu-satunya alasan aku masih hidup hingga sekarang. Dan kau hanya perlu menjalani apa yang telah kau mulai dari awal,” kataku lagi.

“Sudahlah, jangan berlagak seperti iblis. Kepura-puraanmu tak akan mampu menghentikan perasaanmu yang tidak betul sempurna mati. Bahkan, jika kau malaikat pun, aku tak akan peduli pada segala nasihat brengsekmu. Yang jelas, suatu saat nanti kau akan paham, bahwa kau terlalu egois jika berharap cinta akan mampus begitu saja. Oke, kuakui kesalahanku karena tak berani melawan orangtuaku. Kuakui juga kalau dulu aku membayangkan hidup bahagia dengan uang melimpah dari suamiku yang anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu. Tapi tidakkah kau pernah berpikir kalau kau juga salah karena terlahir sebagai orang tak berdaya yang untuk keluar negeri harus mengandalkan beasiswa? Kenapa kau hanya menyalahkanku. Kenapa kau tak menyalahkan keadaanmu sendiri?”

“Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku tahu siapa yang pantas aku benci seumur hidupku. Bukan orang jauh. Bukan orangtuamu. Bukan keadaan. Tapi kau. Kau adalah sumber sakitku dahulu. Sekarang, ketika telah kubunuh perasaanku, kau malah datang membangkitkannya. Akan kubunuh sekali lagi apa yang telah mati. Melenyapkannya dari dunia selamanya.”

“Kau yakin itu akan berhasil?” kau bertanya.

“Kau pasti terkejut. Kau pasti tak menyangka….”

“Apa?”

“Aku akan menyakiti perasaanku sendiri setiap ia tumbuh. Melakukan hal yang sama setiap kali aku berpikir menjadi manusia kembali,” seruku di jalanan sepi Colorado Springs, mengakhiri panggilanmu.

Maka, sejak memasuki musim panas bulan Juni, telah kuhakimi masa lalu dan kuberikan hukuman setimpal. Kenangan kita telah terbunuh. Tak ada lagi alasan aku berlaku bodoh: mengharapkan ditemani kenanganmu. Aku telah melacurkan diri pada kesibukan, angka, dan beragam indeks prestasi peneliti. Perasaanku yang tumbuh akan kau temukan di tong sampah saat dia berkecambah.

Maka, ketika kota ini diamuk oleh malam dan salju turun begitu gembira di bulan September, kubisikkan kata-kata busuk ke telingaku sendiri: mungkin lebih baik aku mati bersama kenanganku. Kau tahu, aku berencana lompat ke sungai Denver dan mati membeku. Tapi aku bertanya-tanya apakah dengan kematianku kau justru akan bahagia, Nur? Aku akan hidup untuk membalasmu. Membuatmu menyesal dengan pilihanmu sendiri. Semoga celotehku ini sampai lewat perantara angin. Terimakasih karena tak membantuku lepas dari ketakberdayaanku selama ini. Kau hanya akan membuatku semakin bertambah kuat. Silakan telepon aku lagi. Kau hanya akan membuat dirimu sendiri lebih hancur.

Tapi, berita tak terduga sampai ke telingaku lewat telepon orangtuamu dua hari setelah telepon terakhirmu.

“Nur telah menuju Tuhan. Dia mengiris nadinya.”

“Saya turut berduka, Om,” ucapku pura-pura bersedih meski aku sebenarnya senang mendengar kekalahannya. Aku juga berbahagia lantaran dia sudah terbebas dari segala macam penderitaan akibat menyesali keputusannya di masa lalu.

“Maaf, sebagai orangtua, saya gagal mengerti perasaan anak saya sendiri. Andai saja dulu saya menerima lamaranmu. Mungkin semua ini tak akan terjadi.”

“Semoga dia tenang di sana,” doaku sambil merayakan kemenanganku dan mengabaikan topik permintaan maaf ayahnya.

“Dia punya wasiat untukmu.”

“Wasiat? Untuk saya?” aku terkejut mendengar itu.

“Almarhum anak saya berharap kau merawat anaknya. Bawa dia kemana pun kau pergi.”

“Tapi, Om. Kenapa saya? Kenapa bukan ayahnya? Bukankah keluarga terdekat yang sebaiknya mengurusnya?”

“Anak saya membunuh suaminya sebelum mengiris nadinya sendiri.”

Aku tak menanggapi karena susunan kata-kata dalam kepalaku kacau.

“Akan saya beritahukan rahasia. Rumah tangga anak saya awalnya kelihatan berjalan baik hingga cucu saya lahir lebih cepat satu bulan. Jadi, kau mungkin bisa menduga siapa ayahnya.”

Aku kembali terdiam, tak menduga akan mendengar hal seperti ini. Bahkan dari alam kubur dia masih ingin melanjutkan perang kami. Tapi aku harus menerima serangan terakhirnya yang mematikan. Aku tak mau kalah. Akan kubesarkan anak ini dan menyulapnya menjadi manusia bebas yang bisa melawan takdir.

Kediri, 02 Februari 2017

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science Teacher, Head of Penghayat Sumur Community and Digital-Creative worker. co-Founder YT Bawah Pohon Science (an alternative education platform).