Rahasia di Balik Lemari Baru

Muh. Syahrul Padli
6 min readJul 25, 2021

--

(Cerpen karya: Muh. Syahrul Padli)

image source: “Empty shelf” by tanakawho

“Akan kutunjukkan sesuatu,” katanya sambil menyeretku menuju kamar kosong yang tak lagi ditempati. Aku ikut saja.

“Lihatlah!” serunya riang.

“Lemari? Kamu beli lemari? Untuk apa?” tanyaku bingung kenapa dia membeli lemari baru.

“Lemari ini pasti kita akan butuhkan,” jawabnya sambil mengelus-elus tepi lemari barunya itu seperti mengelus-elus benda berharga. Dia tak menjawab pertanyaanku sama sekali.

“Tapi untuk apa kau beli lemari? Di rumah ini cuma ada kamu dan aku, berdua saja, tidak akan ada yang perlu lemari pakaian baru. Lemari lama kita saja masih bagus.”

“Lemari ini pasti nanti kita butuhkan.”

“Huuft. Mau apa lagi. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Kita hanya harus berhemat untuk pengeluaran bulan ini kalau begitu,” ucapku pasrah.

Ya mau bagaimana lagi? Memarahinya tak akan menyelesaikan masalah. Aku hanya perlu berkompromi. Barangkali, lemari ini memang akan kami butuhkan nanti. Semoga saja.

“Jangan menunjukkan ekspresi kecewa berlebihan. Tentu saja lemari ini akan berguna. Aku butuh lemari ini karena ada banyak hal yang bisa dipelajari dari membuka dan menutupnya.”

“Contohnya?”

“Pintu ini berguna untuk menyimpan kenangan-kenangan yang kita anggap penting. Bayangkan juga kalau hubungan dengan Tuhan seperti mengambil baju di dalam lemari sendiri. Nah saat itulah lemari berguna jadi pembeda antara ruang privat dan bukan.”

“Apa kamu juga berniat mendakwahiku?”

“Kalau bisa mengapa tidak,” balasnya. Ia terkikik seperti menertawakan ketakmengertianku.

Selesai makan malam, istriku kelihatan sibuk keluar masuk gudang. Aku yang penasaran bertanya, “Sibuk apa?”

“Memindahkan pakaian anak-anak kita? Seperti yang tadi kukatakan, lemari ini pasti ada gunanya. Nah, gunanya ya ini.”

Apa yang baru saja dia ucapkan membuatku berpikir bahwa mungkin istriku sudah mulai gila sejak keguguran dua kali: keguguran pertama terjadi di dapur, saat bakal bayi itu masih berusia tiga bulanan dan keguguran kedua terjadi di WC saat bayi itu berusia dua bulan. Jujur, ingatan buruk itu sangat ingin kulupakan. Sialnya, istriku malah membeli lemari untuk menyimpan kenangan buruk itu di dalamnya. Pakaian-pakaian bayi yang tak pernah terpakai itu seperti flashdisk yang berisi data tentang sesuatu yang sangat menyakitkan.

Sudah berkali-kali aku katakan kepada istriku agar baju-baju itu diberikan saja kepada iparku yang baru melahirkan agar peristiwa keguguran dua kali itu menguap perlahan-lahan. Tapi istriku sepertinya tak peduli meski aku tak henti-henti meminta. Dia tetap berkeras menyimpannya. Dan kini, lemari baru itu menjadi mata rantai baru dalam siklus kesedihan ini.

Malam harinya, kami tidur bersisian di ranjang. Setelah lampu diredupkan istriku menggumam, “senang sekali bisa memiliki lemari baru. Semua kenangan yang ingin aku simpan di sana akan terjaga. Semuanya awet. Semuanya akan punya area masing-masing. Lemari-lemari ini seperti gerbang menuju pemahaman baru terhadap sesuatu.” Dia berhenti sejenak. Sepertinya dia berpikir atau mengingat-ingat sesuatu. “Hal yang biasa akan memunculkan maknanya jika kita menaruh kenangan kita ke sana…” lanjutnya

Aku memejamkan mata meski belum mengantuk, istriku menyikut lenganku sambil menggumam lagi, “Tuh kan, sudah merem lagi.”

Aku tak menjawab.

Sore hari, di bulan berikutnya, ketika tiba waktu makan malam, di depan meja makan, istriku tersenyum lebar sambil berkata, “Tebak apa yang baru?”

Dari gerak-geriknya, ada yang tidak beres. Ada firasat buruk yang ikut tertelan bersama sesuap nasi, mengacak-acak perutku dan membuat tengkukku meremang. Kuharap semoga saja yang dia beli bukan sesuatu yang tak ada gunanya. Kalau dia membeli barang untuk mempermudah pekerjaan rumah, aku tak akan keberatan. Tapi kalau dia menghabiskan uang untuk sesuatu yang tak terlalu kami butuhkan maka mungkin aku akan sebal.

Aku tak menjawab pertanyaannya, karena dengan tangkas ia menjawab sendiri, “Aku membeli lemari lagi.”

Aku bengong, dengan mulut yang menganga. Aku tak tahu bagaimana harus bereaksi.

“Untuk menyimpan dua kenangan anak kita, seharusnya dibutuhkan dua lemari,” lanjutnya.

Aku mengerutkan alis, menatap perempuan itu dengan cemas. Saat melihat di kedalaman matanya, aku menangkan isyarat kalau ia sedang dalam keadaan mental yang sulit. Aku tak jadi meluapkan kekesalanku. Aku justru merasa tak berguna sebagai seorang suami. Aku tak pernah mengajaknya jalan-jalan dan membiarkannya terus terkurung dalam rumah ini. Aku terlalu fokus pada pekerjaan, terlalu mengejar karir dan lupa kalau istriku butuh kehadiranku bukan hanya sebagai kepala rumah tangga tapi juga sebagai sosok penyokongnya.

Aku pikir dia harus kutemani ke psikiater. Sejak keguguran pertama, sudah kusarankan dia ke psikiater . Tapi, dia marah karena dianggap gila. Dengan keadaannya sekarang, dia betul-betul butuh bantuan seorang prfesional.

“Jangan menatapku begitu, seolah-olah aku ini mengidap penyakit mental.”

“Orang ke psikiater bukan hanya yang sakit jiwa. Terapi ala psikiater akan membuatmu lebih tenang dan bisa mengontrol emosi dengan baik. Di sana juga ada terapi untuk berdamai dengan ingatan buruk.”

“Kau pikir aku tak bisa mengontrol emosiku? Dan kau pikir aku tak bisa merelakan kepergian anak kita?”

“Aku tidak bilang begitu. ” jedaku menunggu dia agak melunak. Aku mendekat ke arahnya, kupegang kedua tangannya lalu kumulai berbicara dengan hati-hati, “Maafkan aku. Kau menanggung beban macam ini karena aku. Saat kau butuh sosokku, aku malah sibuk di luar sana. Tapi kali ini, izinkan aku menemanimu ke psikiater. Kau sedang tak baik-baik saja. Kau sedang sakit.”

Dia tak membalas ucapanku. Dia hanya menatapku sebentar lalu menuju ke kamar kami. Dan begitulah percakapan kami berakhir.

Sore hari, sepulang kerja minggu berikutnya, seperti biasa, ketika sampai di ruang tamu aku selalu mengucapkan, “aku pulang,” tapi kali ini tak ada sahutan. Biasanya, begitu mendengar pintu berderit istriku langsung menyambut dan menyalim tanganku. Tapi, semenjak ia membeli lemari baru yang kedua itu, begitu aku pulang, aku selalu menemukan ia sedang sibuk di dalam kamar memandangi dua lemari.

“Aku pulaaang,” seruku lagi setengah berteriak.

“Oh, kamu sudah pulang,” katanya dari dalam kamar itu, “aku tak bisa mendengarmu.”

“Apa sepanjang hari kamu hanya di dalam sini?” aku menyindir.

“Memandangi lemari itu lebih berguna daripada menonton gosip murahan di tivi. Lagipula aku selalu membayangkan anak-anak kita sedang berbaring di kasur mereka dan menungguku memilihkan baju.”

Entah bagaimana ia selalu mengingat waktu ketika ia jatuh di lantai dapur dan WC sehingga keguguran. Selalu ada saja waktu, seperti yang ia katakan, mengenang semua hal buruk itu. Sejak ia memiliki satu lemari tambahan ia memang berubah jadi sedikit aneh. Tepatnya ia mengalami konversi dari waras menjadi setengah waras. Dan sebentar lagi, dari setengah waras menjadi sedikit kurang waras. Dan seterusnya hingga gila betulan. Lemari itu seolah memenjarakan kenangan buruk dan memberinya tempat abadi untuk dikenang.

“Aku mulai berpikir, lama kelamaan, kau akan benar-benar mengunci diri di dalam kamar ini lalu hidup di sini. Kamu seperti punya dunia sendiri bersama dua lemari ini.”

“Aku ingin kenangan anak kita yang keluar masih orok gegara jatuh di dapur dan di WC tidak pernah ke luar ke ruangan-ruangan lain,” ia menjawab dengan santai.

“Sudahlah. Lupakan semua kejadian itu! Kalau kau selalu mengingat dan tak menerimanya, maka rasa sakitmu akan bertambah setiap saat. Aku mengerti bahwa tak mudah menerima semua itu. Tapi tolonglah sedikit membuka mata. Kita masih punya harapan.”

Ada jeda sunyi. Ia terlihat hanya tertunduk. Perasaan bersalah menyerangku.

“Kau boleh berdiam lama di dalam kamar ini, tapi jangan lupa makan dan minum,” sambarku.

Malam harinya, ketika kami berangkat tidur seperti biasanya, ketika lampu sudah diredupkan, istriku menggumam lagi, “aku memikirkan kata-katamu. Mungkin benar, dua lemari itu mungkin seperti penjara yang menghambat anak-anak kita menuju Surga.”

Aku sebenarnya sudah terpejam, tapi karena tidak tahan mendengar ocehannya, aku pun menjawab, “Mungkin.” Beberapa menit kemudian aku coba berbicara lebih serius. “Ingatan anak kita mungkin terkurung di dalam kepalamu, bukan di dalam dua lemari itu.

Ia menyikut lenganku cukup keras lalu berpaling. Aku merasa tak harus menanggapinya. Malam itu kami tidur bertatapan punggung.

Esok paginya, istriku bangun lebih awal seperti biasanya. Aku bangun menyusul. Tapi, begitu menghampiri meja makan, aku tak melihat apapun. Aku pun menyusup ke kamar itu, dan agak terkejut mendengar suara seseorang di dalam lemari. Istriku itu sedang bercakap-cakap sendirian di sana. Menyadari kehadiranku, dia membuka pintu lemari dan sambil tersenyum menatapku, ia bilang, “Izinkan aku menemani anak kita sebentar saja sebelum mereka menuju Tuhan? Tutup pintu kamar ini agar anak-anak kita tidak takut. Lalu kau, masuklah ke lemari satunya. Bantu aku menenangkan anak-anak kita. Bilang kepada mereka bahwa Tuhan lebih sayang mereka.”

Takalar, 23 Desember 2019

Kamu bisa dukung saya untuk terus berkarya di https://saweria.co/muhsyahrulpadli

Berapa pun donasi kamu akan sangat membantu saya membeli kopi saset.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet