Romantisasi Kehidupan ala Budaya Pop dan Neurosains

(Sebuah Eksplorasi yang Tidak Serius-Serius Amat)

5 min readFeb 5, 2025

--

image source

Cinta, penolakan, dan perasaan ditinggalkan seperti tiga tipe jalan di beratnya pendakian kehidupan. Mau tidak mau, kita semua pernah dan akan melewatinya karena telah memutuskan ingin mendaki sampai puncak dan berhasil turun selamat.

Dan sebagaimana kodrat keberadaan jalur pendakian, meski bikin capek dan takut, kita tetap saja memilih untuk melewatinya lagi dan lagi.

Kenapa? Karena kita ingin “mencapai sesuatu” di puncaknya. Atau mungkin karena kita memang suka menyiksa diri sendiri saja.

Tapi mari kita bicara pura-pura serius sejenak. Kenapa kita begitu terobsesi meromantisasi perasaan-perasaan yang sebenarnya penuh ilusi dan telah dibungkus sekian banyak pendapat dan kesepakatan publik? Apa kita memang punya fetish terhadap drama? Atau jangan-jangan, ini semua cuma cara otak kita bertahan dari kekacauan hidup?

Kita mulai dari “cinta”. Satu kata yang bisa membuat orang menulis puisi, menyanyikan lagu, atau bahkan menghabiskan uang untuk membeli bunga yang akan layu dalam tiga hari, mem-booking meja khusus di restoran mahal untuk dinner dan semacamnya.

Cinta juga bisa membuat seorang laki-laki bucin (budak cinta) meminum racun atau melawan militer satu negara dan menjadikan perempuan rela menunggu selama bertahun-tahun.

Cinta dianggap sebagai puncak pengalaman emosional manusia yang indah, menggerakkan, tulus, suci dan murni. Tapi, mari kita ambil pengibaratan berbeda.

Cinta itu seperti kopi yang diracik tergantung dari barista dan dirasakan berbeda bagi tiap orang: ada yang manis, ada yang enak, ada yang pahit, ada yang biasa saja, ada yang bisa menangkap detil tertentu, ada yang menganggap semua jenis kopi serta penyajian sama saja dan seterusnya.

Para penikmat kopi digiling akan punya lidah yang berbeda dengan penyeruput kopi saset. Para barista yang belajar bertahun-tahun dan terus bereksperimen akan punya pemahaman berbeda tentang kopi dibanding penjaga warung yang hanya terus mengulang aktivitas menggunting bungkus, menyeduh dengan air panas dan mengaduk sampai merata. Seperti itu juga mereka yang merasakan dan memaknai cinta.

Bagi mereka yang tak punya pemahaman realitas memadai maka akan meromantisasi cinta secara berlebihan. Bagi mereka yang mengetahui bagaimana sistem reward evolusi bekerja, hanya akan melihat cinta sebagai hasil mekanisme hormonal untuk kelangsungan suksesi genetika spesies manusia (Homo sapiens).

Dan bagi mereka yang pesimistik, harapan dalam cinta yang menggebu di fase bucin itu seringkali palsu, seperti iklan produk kecantikan yang modelnya dari awal memang cantik, mulus, ganteng lalu ketika kita yang memakainya tak ada perubahan dan akhirnya kecewa. Kita dikelabui harapan sendiri. Harapan yang sebenarnya bisa difilter andai kita terbiasa tidak dikendalikan sisi emosional.

Cinta itu sempurna bagi yang tak punya kemampuan berpikir. Cinta itu perlu dikontrol oleh rasionalitas bagi mereka yang beruntung punya IQ di atas rata-rata nasional.

Dibutuhkan level kemampuan berpikir dan pengendalian diri tertentu untuk membungkus cinta kedalam versi yang lebih berguna dengan efek buruk paling minimal.

Justru ketidaksempurnaan cinta — rintangan, perbedaan, dan penderitaan — yang membuatnya terasa berharga. Sayangnya banyak orang salah tangkap makna. Selain itu terlalu banyak pemaknaan keliru entah di film maupun di drama Korea. Semuanya bercampur dan memperburuk persepsi orang. Sehingga cinta menjadi sangat egois, overprotektif, mengekang dan menyingkirkan logika. Padahal cinta punya sisi menumbuhkan dan mendewasakan.

Bukan berarti produk populer seperti film dan drama Korea itu buruk. Tapi banyak yang lupa bahwa semua itu hanya untuk hiburan dan tidak mungkin dirasakan kaum menengah-ke bawah yang jangankan punya waktu bermesraan, waktu untuk tidur siang pun kadang belum tentu ada.

Sebenarnya sebagian besar kita juga merasakan cinta romantis dalam versi berbeda dengan film dan drama Korea. Hanya saja kita lebih suka yang dipoles dan tidak apa adanya. Kita lebih suka yang palsu.

Setelah membahas cinta, yang selanjutnya dibahas adalah penolakan. Apapun yang disertai harapan bisa berakhir penolakan dan sakit hati. Siapa yang tidak pernah merasakan penolakan dan harapan yang dikhianati kenyataan? Orang yang dari awal tak berharap atau orang yang selalu mengatur dosis harapannya di titik minimum karena tahu manusia punya peluang mengecewakan yang cukup besar. Siapapun itu.

Penolakan adalah tamparan realitas keras di muka manusia yang terlalu naif dan polos. Kita suka sekali meromantisasi penolakan. Kita bilang, “Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar,” atau “Dia yang menolakku karena dia memang tidak layak untukku.”

Kita memilih untuk membuat penolakan itu jadi cerita inspiratif — setidaknya untuk diri sendiri. Kenapa? Karena otak kita butuh alasan untuk tidak terjun bebas ke jurang depresi.

Dengan meromantisasi penolakan, kita mengubah rasa sakit jadi pelajaran hidup. Atau setidaknya, jadi kenangan yang bisa diketawai.

Selanjutnya, ada perasaan yang bisa juga sering diromantisasi: merasa ditinggalkan.

Beberapa orang pernah mengalaminya entah ditinggalkan sahabat, orang yang disayang dan semacamnya.

Kita juga sering meromantisasi perasaan tersebut. Kita bilang, “Ini membuatku lebih kuat,” atau “Aku belajar banyak dari pengalaman ini.”

Kita mencoba memberi makna pada sesuatu yang awalnya adalah siklus alam. Orang datang dan pergi. Yang bertahan adalah yang cocok untuk kita dan sebaliknya.

Ketika kita akhirnya ditinggalkan, daripada kita menganggapnya hanya sebagai dinamika dunia, akan lebih berguna secara evolusioner kalau kita memetik pelajaran tentang ikatan, kesetiaan, dan kebebasan agar lebih selektif memilih orang-orang terdekat.

Dari tadi kita bicara tentang pemaknaan dunia yang agak filosofis. Mari kita bicara sedikit tentang neurosains, karena tanpa sains, semua ini cuma jadi omong kosong belaka.

Ketika kita jatuh cinta, otak kita melepaskan hormon seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin. Dopamin membuat kita merasa euforia, seperti baru menang lotre. Oksitosin membuat kita merasa terikat, seperti lem super yang susah dilepas.

Ketika kita ditolak atau ditinggalkan, otak kita mengaktifkan area yang sama dengan saat kita merasakan sakit fisik. Ya, penolakan itu sakit, secara harfiah.

Otak kita punya trik untuk mengatasinya. Dengan meromantisasi pengalaman itu, kita mengaktifkan prefrontal cortex, bagian otak yang bertanggung jawab untuk berpikir rasional. Jadi, alih-alih terjebak dalam kesedihan, kita mencoba mencari ‘sesuatu’ yang punya nilai manfaat di balik rasa sakit.

Produk budaya dan seni adalah pabrik besar yang memproduksi romantisasi. Lagu-lagu sedih, film-film romantis, dan puisi-puisi melankolis dihasilkan tiap jamnya.

Kita tidak hanya mengalami emosi-emosi itu sebagaimana adanya, tapi juga menikmatinya karena semua produk-produk tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia modern. Misalnya, lagu-lagu tentang patah hati membuat kita merasa tidak sendirian. Film-film romantis memberi kita harapan bahwa suatu hari nanti, kita akan menemukan cinta sejati. Dan puisi? Puisi membuat kita merasa bahwa kesedihan kita punya nilai estetika.

Romantisasi adalah cara kita bertahan hidup. Dengan memberi makna pada perasaan-perasaan yang bisa berujung rasa sakit batin, kita bisa terus melangkah.

Romantisasi adalah seni mengubah kepedihan hidup jadi nuansa yang sedikit lebih baik, mengubah rasa sakit jadi pelajaran, dan mengubah kekacauan jadi cerita yang tidak buruk-buruk amat.

Jangan terlalu serius. Hidup ini sudah cukup rumit. Kadang-kadang, yang kita butuhkan hanyalah tertawa melihat betapa absurdnya semua ini. Semua cuma bagian dari drama kehidupan. Dan seperti drama di TV, selalu ada episode baru besok.

Yogyakarta, 4 Februari 2024

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (1)