Sebuah Pengakuan (Dosa) dan Harapan
(Muh. Syahrul Padli)
Tulisan ini semacam pengakuan dosa sekaligus deklarasi harapan. Saya akan berusaha jujur tentang semuanya. Tanpa bahasa bersayap maupun metafora.
Kalian adalah saksi dari upaya saya berubah.
Kalian adalah penilai dari usaya saya meninggalkan masa kelam.
Kalian adalah hakim dari berhasil tidaknya perbaikan yang berusaha saya tapaki.
Saya telah dipenuhi niat jahat dan obsesi aneh sejak dalam pikiran. Ketika beralih menuju tindakan, efeknya sangat fatal.
Ceritanya begini!
Dulu saya mendekati beberapa cewek dengan tujuan menyakiti perasaan atau paling tidak menempatkan mereka dalam situasi sulit.
Saya akan keluarkan semua cara yang saya bisa untuk mendapat perhatiannya, untuk membuat saya merasa bermakna baginya.
Saya bisa sengaja naik gunung, menulis namanya di kertas lalu memfoto diri kemudian mengirimkannya kepada dia.
Saya juga bisa belajar giat matakuliah kedokteran (yang jelas-jelas bukan jurusan saya) hanya untuk terkesan pintar di matanya.
Apapun yang dibutuhkan, saya bisa susun rencana dan mengeksekusinya. Bahkan jika itu harus mengubah saya jadi orang lain pun tak masalah. Saya punya stok energi nyaris tak terbatas untuk hal beginian.
Lalu, jreng-jreng, setelah perasaan mekar atau benih-benih suka muncul, saya akan menghilang secara tiba-tiba. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Literally gone.
Saya mengganti nomor hape, mengabaikannya di sosmed, menghindari pertemuan. Tapi diam-diam saya akan mengamatinya hanya untuk tahu bagaimana perasaannya kepada saya.
Semakin tersakiti dan tak bisa lepas dia dari saya maka semakin naik kepuasan dan kepercayaan diri. Ada ekstase batin yang tak tergambarkan. Begitulah kasus ekstremnya.
Dalam kasus lain yang lebih umum, saya akan terus bersama seorang cewek, membuatnya terus jatuh cinta dan berpura-pura jadi batu tak punya perasaan. Saya akan mengabaikan kode dan isyaratnya. Saya menjadikan pertemanan sebagai kedok agar mereka tidak jujur dan memendam cinta ataupun rasa sayang mereka.
Saya ingin mereka tersika karena merasa terkurung dalam friendzone tapi takut juga memulai langkah baru. Saya akan mengondisikan mereka seolah punya harapan namun saya tarik-ulur.
Target saya hanya wanita yang masuk dalam kategori introvert dan tak terlalu bisa bergaul dengan laki-laki lain.
Kebanyakan dari mereka belum pernah berkenalan dengan sosok laki-laki yang seolah memperlakukan mereka dengan istimewa.
Mereka tak terbiasa dengan perhatian. Mereka asing dengan laki-laki yang menempatkan mereka sebagai sosok spesial.
Saya menganggap target macam inilah yang paling ideal. Mereka pura-pura cuek dan kuat padahal sebenarnya rapuh.
Sekali bisa menembus pertahanannya maka mereka akan kalah selamanya.
Pastinya saya tak selalu berhasil. Saya sering sekali gagal. Bahkan saya terkadang malah jadi orang yang tersakiti dan jatuh.
Meski demikian, saya selalu belajar dan bangkit lagi, menyusun strategi baru, tertantang sehingga lebih banyak berhasilnya.
Saya memang bisa dianggap jahat karena menjadikan perasaan manusia sebagai objek penelitian dan permainan. Kalian bisa menghakimi saya.
Saya mengindentifikasi pemicu mengapa melakukannya. Ini bukan pembenaran. Hanya sharing agar siklus yang membentuk ‘pemburu’ macam saya berakhir. Agar lebih banyak orang yang peduli bahwa hal kecil yang tak disengaja bisa menciptakan obsesi ganjil seperti yang sempat saya miliki.
Well, saya punya trauma kepada manusia. Sejak kecil, saya selalu diremehkan. Saya mendapat perundungan hanya karena saya berbeda secara fisik.
Dalam ukuran orang Makassar, saya terlalu putih. Mata saya juga jauh lebih sipit dibanding rata-rata orang di kampung. Fisik saya lemah dan tak biasa diandalkan. Saya dianggap alien sejak dini.
Saya yang awalnya ekstrovert dan periang perlahan menutup diri. Saya hanya akan terbuka kepada keluarga dan teman baik.
Di luar lingkaran orang terdekat, saya akan curiga, membenci dan mengabaikan manusia lain.
Saya menganggap mereka musuh. Saya merasa mereka bisa sewaktu-waktu menjelma orang-orang yang merundung (mem-bully) saya di masa kecil.
Cara saya menyangkal trauma masa lalu yaitu dengan melampiaskannya kepada yang lebih lemah daripada saya. Ini naluri alamiah manusia — atau setidaknya untuk saya.
Kebiasaan tak beperasaan ini baru bisa saya selami ketika saya datang ke psikolog klinis.
Sang profesional menuntun saya membongkar tumpukan ingatan, memilah mana yang berhubungan dan kemudian menyarankan saya merefleksikan semuanya.
Saya menangis sesenggukan di akhir sesi.
Penyesalan tumbuh. Dendam kepada manusia layu.
Saya seperti terlahir sebagai manusia baru yang telah bisa berdamai dengan trauma dan kebencian-kebencian.
Saya sudah berubah. Setidaknya saya bisa berempati kepada orang lain.
Dari dalam lubuk hati, saya ingin memperbaiki keadaan.
Hanya dengan memberi ingatan baik sebagai tambalan ingatan kurang baik maka saya bisa mengurangi efek samping dari tindakan tak berperasaan saya dulu.
Mungkin agak mustahil memperbaiki semuanya. Otak wanita punya cara kerja yang unik. Sekali mereka disakiti maka mereka membentuk kekebalan jenis baru. Mereka akan membangun gambaran dunianya sendiri.
Semakin dalam rasa sakit mereka semakin dibutuhkan waktu dan upaya ekstra untuk kembali diterima, minimal sebagai teman.
Hampir semua dari mereka membenci saya. Mereka memblokir saya di sosial media. Mereka mengambil jarak.
Ada beberapa yang masih menjaga pertemanan tapi mereka tetap butuh waktu untuk melupakan semua yang telah saya perbuat secara sadar dan terencana.
Jika saja mereka tak terikat dalam budaya Makassar yang menjunjung kepura-kepuraan, maka mereka pasti sangat ingin mengomel dalam bahasa kasar.
Saya tak akan marah jika mereka benar-benar melakukannya. Mereka bebas mengeluarkan unek-unek selama ini.
Sayangnya mereka tak terbiasa jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Mereka pendam sebagai kenangan buruk, menggaraminya, mengingatnya dan akhirnya menjadi racun di sisi terdalam.
Penawarnya pasti ada. Namun untuk sampai ke titik racun itu menyebar adalah hal berbeda. Waktubisa membantu, tapi bisa juga memperparah.
Saya telah menyulap lebih dari satu wanita jadi ‘monster’. Saya menarik mereka kedalam siklus kebencian dan penyalahan diri sendiri.
Jika mereka berhasil melewatinya, mereka akan jadi tangguh dan lebih realistis memandang relasi romantis dan cara kerja dunia ini. Jika mereka terpenjara di sana, maka mereka akan memelihara sakit hati dan perasaan tak berguna.
Sialnya saya tak punya obat untuk mengembalikan mereka ke diri mereka yang dulu, yang bisa percaya kepada kekuatan dari ketulusan, yang menjaga harapan dan yang melihat dunia ini dengan lebih cerah.
Saya ingin meminta maaf atas tindakan saya di masa lalu kepada mereka yang telah jadi kelinci percobaan dari seorang ‘pemburu’ gila yang punya obsesi aneh.
Tidak menikah sampai semua dari mereka menikah adalah hukuman bagi saya.
Sudah jadi tugas saya memastikan mereka baik-baik saja dan telah membuka diri atas kemungkinan lain.
Saya yang mendorong mereka ke jurang demi kesenangan-pribadi-tak-masuk-akal. Saya harus bertanggunjawab.
Beberapa dari teman-teman mungkin tak tahu bahwa saya seiblis itu. Saya berpura-pura selama ini sebagai orang yang tulus dan baik.
Saya cosplay sebagai laki-laki normal tanpa niat tersembunyi. Padahal saya sedang melakukan hal jahat yang bahkan tak pernah terlintas di pikiran orang normal manapun di dunia ini.
Saya ibarat ‘pembunuh berantai’ yang beraksi di balik layar sambil terus berpura-pura di lingkungan sosial.
Saya tak ingin dijauhi oleh teman-teman. Saya tetap ingin punya tempat di hati orang-orang yang mengenal saya.
Maafkan saya yang hanya bisa jujur lewat tulisan. Itu pun setelah usia saya seperempat abad lebih.
Masyarakat tanpa sadar bisa mengubah seseorang jadi lebih buruk daripada saya.
Saya diselamatkan lingkungan keluarga, lingkaran pertemanan dan tempat kerja yang baik. Jika saja saya ada di lingkungan yang buruk maka saya tak bisa membayangkan apa yang bisa saya lakukan.
Sudah saatnya kita sadar untuk tak menghakimi orang baik yang sengaja maupun tidak. Pengetahuan komunikasi dan empati sangat dibutuhkan. Dan itu bisa dilatih. Bukan soal bakat atau pengaruh DNA sepenuhnya.
Langkah awalnya adalah jika tidak tahu tipe orang apa yang kita ajak berinteraksi, maka sebaiknya lebih banyak diam sambil terus mengamati dan beradaptasi.
Tidak semua orang korban trauma penghakiman masyarakat bisa melakukan refleksi. Tidak semua punya uang datang ke psikiater atau psikolog klinis.
Tidak semua punya kesadaran seperti saya untuk memperbaiki diri. Tidak semua orang punya kesempatan mendapat pendidikan yang layak baik secara formal maupun nonformal.
Coba menjalin hubungan yang tulus dan saling menumbuhkan coba saya lakukan sekarang.
Saya menjalin komunikasi dengan seorang wanita. Dia adalah teman sejak kecil. Dia adalah cinta pertama saya.
Saya tak peduli ujung dari hubungan kami. Entahkah terus berteman sampai masing-masing dari kami menikah atau justru kami yang menikah. Kedua ujungnya terasa sama saja.
Dia tak pintar akademik. Dia juga bukan lulusan universitas jempolan. Kecerdasan kognitifnya di bawah standar. Tapi saya tak butuh itu. Kebaikan dan kesederhanaannya lebih dari apapun.
Dia tak punya profesi mentereng sebagaimana ‘kelinci percobaan’ saya yang sekarang dokter PNS di Rumah Sakit Ibu dan Anak dan ada juga yang dokter di RS Swasta Terbesar, senior product manager, pekerja digital-kreatif atau paling tidak PNS.
Dia seorang pegawai honorer di sebuah instansi di kabupaten. Dia punya cara sendiri menjalani kehidupan. Dia tak butuh embel-embel ideal dalam standar masyarakat.
Dia tak mengenal sama sekali tentang apa itu growth mindset, design thinking dan first principal thinking ala kebanyakan orang kantoran di kota besar.
Dia tak pernah mengikuti pelatihan soft skill atau punya pengalaman bekerja di perusahaan. Tapi perhatiannya sebagai teman membasahi keringnya hidup saya.
Dia memberi terus dorongan kepada saya untuk terus mencoba jadi versi lebih baik.
Saya tak keberatan menghabiskan sisa hidup bersamanya. Namun saya juga sadar bahwa saya baru mengenalnya lagi sekarang.
Saya tidak tahu proses apa yang dia lalui. Apa saja rasa sakit yang telah dia lewati. Sangat naif bagi saya untuk langsung mendekat dan mengajaknya menikah.
Sejujurnya, saya rela mengorbankan mimpi demi dia. Saya bisa membuang kebebasan demi terkurung bersamanya dalam penjara raksasa bernama ‘standar masyarakat’.
Saya bersedia memenuhi panggilan wawancara kerja ke PT IMIP Morowali demi hidup bersamanya. Saya siap mengubur rencana kuliah magister ke luar kota dan lanjut kuliah doktor di University of Nottingham.
Saya siap keluar zona nyaman supaya saya cukup uang menopang perekonomian keluarganya.
Dia sekarang tulang punggung. Dia juga merawat ayahnya yang sedang mengikuti perawatan intensif di rumah sakit umum provinsi.
Saya ingin membantunya meringankan beban yang selama ini dia pikul sendirian.
Dorongan itu muncul begitu saja.
Saya beruntung menemukannya kembali justru ketika saya nyaris kehilangan harapan.
Saya pernah menganggap diri sendiri sebagai manusia sisa yang tak layak lagi punya kehidupan romantis. Dosa masa lalu saya sangat sulit dimaafkan.
Saya ingin melihatnya bahagia dengan atau tanpa saya. Dia telah menyelamatkan tokoh villain dari drama kehidupan yang suram.
Dia wanita yang membuat saya berkembang secara pribadi.
Ya Allah, bisakah Engkau membuatnya lebih banyak tersenyum?
Bisakah Engkau kirim laki-laki yang bisa menjaganya?
Atau bisakah Engkau menyulap saya jadi laki-laki itu?