Sekantong Kenangan di Takalar

Muh. Syahrul Padli
3 min readMay 18, 2020

--

(Muh. Syahrul Padli)

Image source: www.hennkimm.tumblr.com

Di kota Takalar yang pendiam, orang-orang berjalan di sepanjang Jalan Syueb Daeng Ngalle tanpa saling menyapa. Mereka seolah menganggap kata-kata, senyuman atau salam adalah benda yang dapat menyakiti satu sama lain.

Tiang-tiang lampu yang ujungnya melengkung menjadi saksi kesuraman di Kota Kabupaten ini. Tiang-tiang lampu itu tertanam di sepanjang trotoar, disela oleh bangku-bangku besi yang saling berhadapan satu sama lain di mana orang-orang duduk di sana, saling memandang namun tak mampu bercakap-cakap.

Jika suatu saat nanti kau datang ke Takalar, mungkin kau akan melihat seorang gadis berjalan perlahan sambil menahan air matanya, dan kau akan yakin gadis itu datang kemari untuk sesuatu yang menjadi beban baginya, seperti rekonstruksi kenangan, atau sekadar meratapi betapa ia pernah begitu dekat dengan seseorang di sini, barangkali seorang lelaki yang dahulu selalu menemaninya berjalan-jalan sore hari di sepanjang jalan, memandangi malam jatuh di lapangan Makkattang Daeng Sibali, memberi makan burung-burung gereja, atau memainkan gitar dengan lagu-lagu romantis dari Payung Teduh. Begitulah pemandangan yang akan kau dapatkan di sana.

Datanglah ke pusat Kabupaten Takalar, kau bisa mencari kesunyian di sana. Dan jika kau berjalan jauh ke selatan, akan ada bentangan tembok yang permukaannya terlukis oleh mural, coretan berisi ledekan anak-anak muda, umpatan laki-laki paruh baya, dan ingatan-ingatan kabur kakek-kakek bau tanah yang seperti ingin merekam sebuah kejadian, diorama, atau tahun di mana sesuatu seharusnya tak pernah terjadi.

Di seberang tembok itu, ada pula sebuah taman kecil yang lengang, hanya baris pepohonan tempat orang-orang suka duduk bersandar, kadang sekeluarga menghampar tikar namun semua sibuk dengan gawai di tangan masing-masing.

Di Jalan Syueb Daeng Ngalle yang suram ini, kau tak akan pernah mengerti bagaimana seseorang bisa terseret oleh kenangan, merasakan kehilangan, atau sebaliknya, mengalami perpisahan-perpisahan tak terduga dan magis. Kadang seorang lelaki dan wanita yang awalnya akrab kemudian menjadi asing setelah berbincang-bincang di sebuah bangku tentang siapa calon bupati yang mereka pilih. Betapa orang-orang akhirnya menjadi asing ketika mereka tak pernah menyangka siapa akan menjauhi siapa, seorang lelaki akan membenci siapa, seorang wanita akan mengutuk siapa, karena jalanan ini telah membiarkan segalanya lewat, terjadi, dan membekas dengan sendirinya.

Datanglah dua bulan sebelum pemilihan Bupati. Di bangku-bangku yang berbaris antara tiang lampu itu, selalu terdengar sayup percakapan antara pepohonan dengan angin. Dan ketika hari khusus itu tiba, tak satu pun dari pepohonan itu memiliki daun, semuanya bersih, tinggal dahan dan ranting, batang yang menjulang tinggi, dan angin bebas merapat di sela-selanya. Pohon-pohon itu seolah tak rela menaungi orang-orang yang memendam dendam di dalam jiwa mereka. Dan saat debu-debu mobil truk pengangkut timbunan lewat, jalan itu pun akan tertutupi debu, dan selalu dibiarkan begitu, tak pernah ada yang peduli. Semua dibiarkan begitu saja, debu menghilang perlahan, dan jalan itu kelak membersihkan dirinya sendiri.

Dan pada suhu tinggi semacam itu orang-orang akan merayakan sesuatu. Ya, penduduk sekitar Jalan menyebutnya sebagai Hari Pemutusan Darah. Biasanya itu terjadi di awal musim kemarau dalam siklus lima tahunan, saat langit mulai bebas dari butiran putih, kembali membiru dengan awan cerah dan sinar matahari yang cukup menyilaukan bersama uap udara yang memanaskan aspal.

Di Hari Pemutusan Darah, anak-anak muda, laki-laki paruh baya dan kakek-kakek bau tanah akan memutuskan hubungan keluarga, hubungan persahabatan, hubungan percintaan jika mereka berbeda pilihan pemimpin. Di perayaan itu, para orang tua mengajak keluarga mereka meneguhkan batas antara mereka dengan orang-orang di luar mereka.

Dan di Hari Pemutusan Darah itu kau akan menemukan orang-orang yang terasing, yang ditimpa kesunyian, yang tak punya sesuatu untuk dikatakan, tak punya kenangan untuk dibagikan, tak punya perasaan untuk ditampakkan.

Takalar dulunya adalah tanah harapan. Tapi, masa lalu hanyalah masa lalu. Di masa sekarang, tak akan dijumpai lagi hal-hal baik. Masing-masing orang terpisah karena fiksi yang mereka pegang masing-masing. Mereka hanya akan berjalan di sepanjang Jalan Syueb Daeng Ngalle dan tak menyapa satu sama lain bahkan ketika mereka dulunya adalah sahabat kecil atau pasangan di atas ranjang.

20 Agustus 2018

Cerpen lain baca di sini

Kamu bisa dukung saya untuk terus berkarya di https://saweria.co/muhsyahrulpadli

Berapa pun donasi kamu akan sangat membantu saya membeli kopi saset.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet