Seorang Novelis di Masa Perang

Muh. Syahrul Padli
6 min readJun 17, 2020

--

(Penerjemah: Muh. Syahrul Padli)

ilustration source: https://alchetron.com/Haruki-Murakami

Pada pidato dengan pesan yang kuat ini, seorang penulis besar menjelaskan keputusan kontroversialnya menerima penghargaan sastra di Israel dan mengapa kita perlu melawan Sistem.

Saya datang ke Yerusalem hari ini sebagai seorang novelis, yang dapat disebut sebagai seorang pemintal kebohongan profesional.

Tentu saja, novelis bukan satu-satunya yang berbohong. Politisi melakukannya juga, seperti yang kita semua tahu. Para diplomat dan tentara mengatakan jenis kebohongan tertentu khas mereka, seperti halnya penjual mobil, tukang daging, dan makelar bangunan bekas. Kebohongan novelis berbeda dari yang lain, bagaimanapun, karena tidak ada yang mengkritik seorang novelis sebagai seorang yang tak bermoral karena berbohong. Memang, semakin besar dan lebih cermat kebohongannya dan semakin cerdik ia menciptakan kebohongan-kebohongan, semakin ia cenderung dipuji oleh publik dan para kritikus. Kenapa demikian?

Jawaban saya begini: Yaitu, dengan mengatakan kebohongan yang terampil — kalau boleh mengatakannya, dengan membuat fiksi yang tampak benar — novelis dapat membawa kebenaran ke tempat baru dan menyinarinya dengan cahaya baru. Dalam banyak kasus, hampir tidak mungkin memahami kebenaran dalam bentuk aslinya dan menggambarkannya secara akurat. Itulah sebabnya mengapa kami mencoba menangkap ekornya dengan mengikat kebenaran dari tempat persembunyiannya, memindahkannya ke tempat fiktif, dan menggantinya dengan bentuk fiktif. Namun, untuk mencapai hal tersebut pertama-tama kami harus melihat kembali di mana kebenaran berada di dalam diri kami sendiri. Itu adalah syarat penting untuk membuat kebohongan yang baik.

Hari ini, bagaimanapun, saya tidak punya niat berbohong. Saya akan berusaha sejujur ​​yang saya bisa. Ada beberapa hari pada tahun ketika saya tidak terlibat dalam urusan berbohong, dan hari ini salah satunya.

Jadi izinkan saya mengatakan yang sebenarnya. Di Jepang, sejumlah orang menyarankan saya tidak datang ke sini untuk menerima penghargaan sastra Yerusalem Prize. Beberapa bahkan memperingatkan saya kalau mereka akan menghasut para pembaca lain agar memboikot buku saya jika saya datang ke sini. Alasannya, pastinya, adalah pertempuran sengit yang berkecamuk di Gaza. PBB melaporkan bahwa lebih dari seribu orang telah kehilangan nyawa di Kota Gaza yang diblokade oleh pihak militer Israel, banyak dari mereka adalah warga sipil — anak-anak dan orang tua.

Beberapa kali setelah menerima pemberitahuan dari pihak panitia, saya bertanya kepada diri sendiri apakah bepergian ke Israel pada waktu-waktu seperti ini dan menerima penghargaan sastra adalah hal yang tepat dilakukan, apakah ini akan menciptakan kesan bahwa saya mendukung satu pihak dalam konflik, bahwa saya mendukung kebijakan suatu negara yang memilih untuk melepaskan kekuatan militernya yang luar biasa. Itu adalah kesan, pastinya, yang tidak ingin saya buat. Saya tidak menyetujui perang atas nama apa pun, dan saya tidak mendukung negara manapun. Yang terpenting, saya tidak ingin melihat buku-buku saya diboikot.

Akhirnya, bagaimanapun, setelah pertimbangan yang sangat hati-hati, saya memutuskan untuk datang ke sini. Salah satu alasan yang meneguhkan keputusan saya adalah bahwa terlalu banyak orang menyarankan saya untuk tidak melakukannya. Mungkin, seperti banyak novelis lain, saya cenderung melakukan kebalikan dari apa yang orang lain katakan. Jika orang-orang memberi tahu saya — dan terutama jika mereka memperingatkan saya — “Jangan pergi ke sana,” “Jangan lakukan itu,” Saya cenderung ingin “pergi ke sana” dan “melakukan itu.” Itu sifat alami saya, dapat Anda katakan, sebagai naluri seorang novelis. Para novelis adalah manusia dengan sifat khusus. Mereka tidak benar-benar percaya apa pun yang tidak mereka lihat dengan mata kepala sendiri atau yang disentuh dengan tangan mereka sendiri.

Dan itulah mengapa saya di sini. Saya memilih untuk datang ke sini tinimbang tak pergi kemana-mana. Saya memilih untuk melihat sendiri daripada tidak melihatnya. Saya memilih untuk berbicara dengan Anda daripada diam.

Tolong izinkan saya menyampaikan satu pesan yang sangat pribadi. Ini adalah sesuatu yang selalu saya ingat ketika saya menulis fiksi. Saya tidak pernah pergi sejauh ini untuk menuliskannya di selembar kertas dan menempelkannya ke dinding: melainkan, diukir di dinding pikiran saya, dan pesan saya berbunyi seperti ini:

“Di antara tembok keras yang menjulang tinggi dan telur yang pecah melawannya, saya akan selalu berdiri di sisi telur.”

Ya, betapapun benar temboknya dan betapa salahnya telur, saya akan berdiri bersama telur. Orang lain mau tak mau akan memutuskan apa yang benar dan apa yang salah; mungkin waktu atau sejarah yang akan memutuskan. Jika ada seorang novelis yang, karena alasan apa pun, menulis sebuah karya yang memihak tembok, kita patut bertanya dari nilai apa karya-karya semacam itu diciptakan?

Apa arti dari perumpamaan ini? Dalam beberapa kasus, semuanya begitu sederhana dan jelas. Bom dan tank, roket, dan ledakan fosfor putih berbentuk jamur di angkasa adalah tembok yang tinggi dan kokoh. Telur-telur itu adalah warga sipil tak bersenjata yang diserang, dibakar dan ditembak oleh mereka.

Ini tidak berlaku untuk semua, tentu saja. Tapi perumpamaan ini membawa makna yang lebih dalam. Pikirkan hal tersebut dengan cara berikut. Masing-masing dari kita, lebih atau kurang, adalah telur. Masing-masing dari kita adalah jiwa yang unik dan tak tergantikan yang dikelilingi oleh cangkang yang rapuh. Ini benar bagi saya, dan ini mungkin benar juga bagi masing-masing Anda. Dan kita semua, pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, sedang menghadapi tembok yang tinggi dan kokoh. Tembok yang bernama: “Sistem.” Sistem seharusnya melindungi kita, tetapi kadang-kadang merenggut kehidupan dengan caranya sendiri, dan kemudian mulai membunuh kita dan menyebabkan kita membunuh orang lain — dingin, efisien, sistematis.

Saya hanya punya satu alasan untuk menulis novel, dan itu adalah untuk membawa martabat jiwa individu ke permukaan dan menyinari cahaya itu. Tujuan dari sebuah cerita adalah membunyikan alarm, sebuah lampu peringatan bagi Sistem untuk mencegahnya menjerat jiwa kita dalam jaring-jaring dan merendahkan mereka. Saya sepenuhnya percaya itu adalah tugas novelis untuk terus berusaha mengklarifikasi keunikan dari masing-masing jiwa dengan menulis cerita — kisah hidup dan mati, kisah cinta, kisah yang membuat orang menangis dan gemetar ketakutan dan gelisah dengan tawa. Inilah mengapa kami terus, hari demi hari, meramu fiksi dengan keseriusan.

Ayah saya meninggal tahun lalu pada usia 90 tahun. Dia adalah seorang pensiunan guru dan seorang pendeta Buddha paruh waktu. Ketika dia di perguruan tinggi, dia direkrut menjadi tentara dan dikirim untuk bertempur di Tiongkok. Sebagai seorang anak yang lahir setelah perang, saya biasa melihatnya setiap pagi sebelum sarapan memanjatkan doa-doa yang panjang dan mendalam di altar Buddhis di rumah kami. Suatu kali saya bertanya mengapa dia melakukan itu, dan dia memberi tahu saya bahwa dia berdoa untuk orang-orang yang telah meninggal di medan perang. Dia berdoa untuk semua orang yang meninggal, katanya, baik sekutu maupun musuh. Saat menatap punggungnya ketika dia berlutut di altar, dan saya seperti merasakan bayangan kematian melayang-layang di sekelilingnya.

Ayah saya meninggal, dan dia membawa ingatan itu bersamanya, ingatan yang tidak pernah saya ketahui. Namun, kehadiran kematian yang mengintainya tetap ada dalam ingatan saya sendiri. Itu adalah salah satu dari beberapa hal yang saya pegang darinya, dan salah satu yang paling penting.

Saya hanya punya satu hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda hari ini. Kita semua adalah manusia, individu yang melampaui kewarganegaraan, ras dan agama, telur-telur rapuh yang dihadapkan pada tembok kokoh yang disebut Sistem. Pada kenyataanya, kita tidak punya harapan untuk menang. Tembok terlalu tinggi, terlalu kuat — dan terlalu dingin. Jika kita memiliki harapan untuk menang, itu harus datang dari keyakinan kita akan keunikan dan tak tergantikannya jiwa kita dan orang lain, dan dari kehangatan yang kita peroleh dengan menyatukan jiwa bersama-sama.

Luangkan waktu sejenak untuk memikirkan hal ini. Masing-masing dari kita memiliki jiwa yang nyata dan hidup. Sistem tidak memiliki hal semacam itu. Kita tidak boleh membiarkan Sistem mengeksploitasi kita. Kita tidak boleh membiarkan Sistem mengambil sebuah kehidupan dengan caranya sendiri. Sistem tidak menciptakan kita: kita yang menciptakan Sistem. Itu saja yang harus saya katakan kepada Anda.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (1)