Membongkar Stigma Lulusan Sains Tak Layak Jadi Guru
(Muh. Syahrul Padli — Artikel Refleksi)
Bagi banyak orang, dunia sains dan dunia pendidikan terbentang bagaikan dua galaksi yang terpisah. Saintis digambarkan sebagai sosok jenius berbaju lab, bergelut dengan rumus dan eksperimen, sementara guru, di sisi lain, dipandang sebagai manusia mulia yang bertugas di hadapan para siswa-siswa. Dua pandangan ini melahirkan stereotip yang berkembang luas dan bahkan mulai naik tingkat sebagai kebenaran umum: lulusan sains tak pandai mengajar dan lulusan pendidikan hanya menang di skill pedagogik!
Realita Stigma di PPG
Saya merasakan bagaimana stigma ini dilemparkan secara tak langsung oleh beberapa orang yang seharusnya berpikiran lebih terbuka. Walaupun tidak bisa dijadikan premis dalam menyimpulkan kondisi lebih luas, saya dan junior yang merupakan lulusan Fisika murni sering “dikotak-kotakkan” oleh beberapa teman sesama peserta program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan dari jurusan kependidikan.
Beberapa teman kami mungkin bercanda ketika meragukan kemampuan kami mengajar atau bahkan mempertanyakan kenapa kami lompat bidang. Tapi bagi kami yang tidak setiap saat bisa berpikir jernih, itu bisa ditanggapi sebagai bentuk nyata bagaimana stigma berkembang di generasi terbaru calon guru. Dan itu kadang terdengar memuakkan sekaligus tendensius.
Sebagai orang yang bodo amat, saya tak ambil pusing. Penilaian orng lain itu di luar kontrol saya. Meskipun saya percaya bahwa seseorang harusnya dinilai di akhir. Ketika saya dinilai di awal proses saya rasa itu kurang fair.
Saya tidak tahu standar mereka. Di sisi lain, mereka juga tidak tahu kapasitas saya. Makanya alih-alih merasa down, saya malah merasa tertantang untuk membuktikan kepada diri sendiri bahwa saya bisa melalui ini sebaik yang saya bisa.
Dengan logika sederhana, sebenarnya stigma ini bisa langsung patah. Awali saja dengan pertanyaan apakah semua lulusan jurusan kependidikan sudah pasti mahir dalam pengajaran? Apakah semua lulusan non-kependidikan, khususnya lulusan sains murni, sudah pasti anjlok dalam pengajaran untuk peserta didik level menengah?
Jawabannya pasti kasuistik, artinya tidak semua yang lulusan jurusan kependidikan pasti lebih mahir dalam pengajaran sebagaimana tidak semua lulusan non-kependidikan kesulitan mengomunikasikan pengetahuan dalam bahasa peserta didik.
Jika saja kita mampu berpikir bahwa kompetensi seseorang bukan hanya tentang dari jurusan apa dia berasal — melainkan banyak variabel lain yang berpengatuh — maka kebiasaan saling cap tidak akan tumbuh dan yang muncul adalah rasa penghargaan satu sama lain.
Mematahkan Stigma
Di dunia, lulusan sains murni justru yang paling bisa menggaungkan perangai ilmiah (cara berpikir ilmiah) sekaligus menyampaikan metode bernama Feynmann Methode (belajar dengan cara mengajar, menyampaikan konsep rumit dengan cara paling sederhana yang dimungkinkan).
Pencetus awalnya bernama Richard Feynmann, seorang ilmuwan Fisika peraih nobel. Dia dikenal juga sebagai bapak pendidikan sains dunia.
Feynman tidak berlatar belakang jurusan kependidikan. Beliau lulusan sains murni, lebih tepatnya Fisika, atau kalau dispesifikkan Fisika Teoretis, dan kalau lebih didetilkan Fisika Energi Tinggi (Fisika Kuantum, Fisika Nuklir, Kromodinamika Kuantum, Fisika Partikel dan Elektrodinamika Kuantum).
Tak ada tokoh dengan latar belakang lulusan jurusan kependidikan di dunia yang mengambil peran sebesar itu. Tak ada tokoh dari Fakultas Pendidikan dan Pengajaran yang menyadari pentingnya scientific temper (perangai ilmiah). Padahal berpikir kritis adalah kemampuan yang diharapkan muncul dari peserta didik setelah melalui sekian banyak pembelajaran.
Seharusnya mereka para lulusan kependidikan (PGSD, Pendidikan IPA, Pendidikan Kimia, Pendidikan Fisika, Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi) yang lebih punya tanggungjawab melakukannya secara publik lewat media. Karena pendidikan pada dasarnya bukan hanya di ruang-ruang kelas yang terbatas, melainkan harus menjangkau siapapun yang punya akses.
Tentu saja saya tidak menafikkan banyak guru yang melakukannya dan tidak masuk radar media. Namun kalau kita pakai pola pikir saya tersebut, terkesan tidak fair kan?
Sama tidak fair-nya dengan anggapan bahwa semua lulusan sains mruni tidak tahu cara mengajar.
Secara teknis iya. Sangat normal kami yang lulusan sains murni kurang memperhatikan detil tentang asesmen awal, asesmen proses dan asesmen akhir untuk menyiapkan dan mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Namun secara substansi, jelas kami tidak buta-buta amat. Kami punya contoh bagaimana sains bisa dijadikan media melatih gaya berpikir, melatih karakter dan memberikan sudut pandang atas dunia. Kami tahu sedikit-banyak apa tujuan yang ingin dicapai dari mengajarkan sains ke peserta didik walaupun kami secara formal tidak pernah belajar cara menyusun modul ajar dan asesmen.
Mana tokoh dari jurusan kependidikan yang kontribusinya sebesar Feynmann untuk menjadikan sains bukan hanya hapalan melainkan sebuah system thinking?
Belum lagi kalau kita sebut nama orang seperti Neill DeGresse Tyson, Carl Sagan, Brian Greene dan Brian Cox. Di Indonesia kita punya Bagus Muljadi dari University of Nottingham yang juga dasar keilmuannya adalah sains dan mengambil peran untuk mengomunikasikan perangai (sikap) sains yang digerakkan oleh rasa penasaran, rasa ingin tahu, penelusuran ‘kebenaran’ sementara, meragukan pendapat otoritas dan digerakkan passion untuk berkontribusi atas duia yang lebih baik melalui ilmu pengetahuan empiris.
Bukannya ingin menyudutkan lulusan kependidikan, saya hanya ingin menunjukkan bahwa ketika konten atau isi pelajaran sains telah dipahami, penyampaiannya hanya soal latihan. Fanatik terhadap cara (kemampuan pedagogik) jelas sebuah kedangkalan berpikir. Sama halnya fanatik terhadap konten (isi atau intri dari pengetahuan) tanpa peduli cara penyampaian adalah sebuah sikap sombong.
Satu yang jelas, entah di dalam kelas maupun di ruang publik, keterampilan akan bertambah seiring pengalaman yang juga bertambah. Itu juga berlaku sebaliknya pada pengetahuan. Pertambahan informasi dan keterampilan mengombinasikan informasi akan menambah inti pengetahun sains bagi para jurusan kependidikan yang sering kena stigma tidak kuat dalam konten (pengetahuan sains).
Tak ada yang harus diunggulkan atau merasa lebih baik. Sikap seperti itu terlalu kekanak-kanakan dan tak menghasilkan apa-apa selain kepuasan semu.
Potensi Lulusan Sains sebagai Guru
Sains sangat diidentikkan dengan logika dan data, objektifitas dan metodologis. Sebenarnya, sains lebih dari itu. Ada potensi besar yang tersimpan dalam diri para lulusan sains murni yang bisa digali lebih dalam.
Kemampuan bernalar dan memecahkan masalah yang terasah dalam studi sains dapat diubah menjadi strategi pengajaran yang diharapkan efektif.
Mereka yang merupakan lulusan sains murni dapat menyederhanakan konsep yang kompleks menjadi lebih mudah dipahami, membangun keterkaitan antar-disiplin, dan mendorong peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif.
Mungkin mereka yang merupakan lulusan sains akan kalah dalam hal landasan teori psikologi dalam pendidikan pada bab tahapan perkembangan peserta didik. Mereka juga belum tahu persis langkah pembelajaran atau sintaks berbagai model pembelajaran.
Sangat jarang mereka tahu apa itu pendekatan pembelajaran seperti Teaching at The Right Level (TaRL) atau Technological Pedagogical Content Knowledge (T-PACK) atau Cultural Responsive Teaching (TRL). Tidak usah ditanyakan apakah mereka tahu pendekatan Understanding by Design (UbD) dalam perumusan asesmen formatif dan sumatif.
Walau begitu, mari kita sedikit berandai-andai. Coba bayangkan seorang guru fisika yang mengajak siswanya membangun roket mini, bukan sekadar menghafal rumus gravitasi Newton atau mengerjakan soal dengan hapalan persamaan matematis dan langkah-langkah mulai dari menuliskan yang “diketahui” dan “ditanyakan”. Atau seorang guru biologi yang membimbing siswa meneliti ekosistem sungai dan melihat langsung bagaimana penyusun ekosistem berinteraksi sebagai sebuah kesatuan utuh, bukan sekadar menampilkan video-video dan stimulus lainnya di dalam kelas.
Lulusan sains murni yang memilih jadi guru mampu mengubah ruang kelas menjadi laboratorium percobaan, taman eksplorasi, dan arena diskusi yang mengasyikkan selama mereka betul-betul mencintai dunia pendidikan dengan sepenuh hati. Feynman menunjukkan bahwa lulusan sains murni bisa berkontribusi dengan caranya sendiri.
Apakah lulusan sains murni sudah pasti berkompeten? Tentu tidak. Namun sebagian besar dari mereka yang lompat bidang atau menaruh perhatian pada bidang lain, setidaknya sudah menakar kemampuan sendiri dan sudah punya tujuan yang ingin dicapai.
Saya ingat, salah satu guru saya di kampus dulu, Prof Tasrief Surungan, Ph.D, di awal pertemuan langsung menyuruh para mahasiswa baru bertanya terhadap segala sesuatu.
Mengapa rumus hukum kedua Newton adalah massa dikali percepatan bukannya massa ditambah percepatan? Mengapa dunia ini ada dibanding tidak ada? Beliau menamakan metode mengajarnya sebagai total inquiry learning.
Kami dilatih meragukan banyak hal yang sering diakui sebagai sebuah kebenaran. Kami ditunjukkan bahwa dunia ini dipenuhi kebenaran-kebenaran sementara. Seseorang tak boleh begitu saja menerima pandangan tanpa memprosesnya lebih dahulu.
Guru saya yang lain, almarhum Prof Dadang Ahmad, di awal pertemuan menyuruh kami untuk tidak terkotak-kotakkan dalam satu bidang spesialisasi. Kami dilatih untuk tak merasa hebat hanya karena kami mengerti bahasa Matematika, hanya karena kami mengetahui sains hingga ke akarnya, hanya karena kami punya skill tertentu. Beliau juga mengoreksi cara kami mengomunikasikan sebuah pengetahuan.
Saya ingat betul bagaimana beliau mendorong saya belajar tentang public speaking, tentang sejarah Karaeng Pattingalloang (Astronom dan Polymath sejak era kerajaan Gowa-Tallo) dan tentang filsafat. Kami ditunjukkan bahwa koneksi antar bidang bisa memperkaya kombinasi pemahaman dan kombinasi solusi serta keluasan cara pandang.
Guru saya berikutnya, Prof Dahlang Tahir, di awal pertemuan menunjukkan bagaimana pengetahuan teoretis bisa dijadikan sebuah riset dan penemuan. Beliau selalu mengingatkan kami untuk melakukan kolaborasi dan mencari ilmu pengetahuan sebagai ibadah.
Tentu saja ada beberapa guru atau dosen lain yang tidak menjalankan fungsinya dan mengurung diri di menara gading. Meski demikian, bekal yang kami dapat di kampus menjadikan kami lulusan sains yang tidak asal melakukan sesuatu.
Tantangan pasti akan selalu ada ketika seorang melakukan lompatan bidang yang agak ekstrem. Saintis yang terjun ke dunia pendidikan pasti harus beradaptasi dua kali lipat — bahkan mungkin tiga kali lipat — lebih keras. Bahasa ilmiah yang biasa mereka gunakan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih komunikatif dan relevan bagi peserta didik. Keterampilan pedagogik dan pengelolaan kelas juga perlu diasah tanpa henti.
Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi dan saling belajar. Guru dari latar belakang sains tak perlu merasa harus berjalan sendirian. Meminta dukungan dari guru lain yang lebih berkompeten, ikut pelatihan pedagogik yang berkelanjutan, dan kerja sama dengan para penggiat pendidikan non-formal akan memperkaya metode pengajaran mereka. Jalinan antar-disiplin ini akan menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan dinamis.
Mari kita hentikan pemetaan biner antara dunia sains dan dunia pendidikan!
Setiap individu, terlepas dari latar belakang pendidikannya, berpotensi menjadi guru yang hebat atau setidaknya guru yang memberi kontribusi. Saintis yang memilih jadi guru, dengan wawasan sains yang mendalam dan semangat mengajar yang berkobar, adalah angin segar bagi dunia pendidikan.
Mereka bukan sekadar pendidik, tapi juga jembatan yang menghubungkan logika sains dengan keajaiban belajar, menerangi jalan bagi generasi muda untuk meraih masa depan yang lebih cerah (atau lebih suram?).
Jadi sekali lagi, mari kita singkirkan stigma dan ayo memberi kesempatan bagi para lulusan sains murni yang memilih jalan sebagai guru!
Biarkan mereka coba berkontribusi, berkreasi, dan menyalakan lentera pendidikan dengan pendekatan yang berbeda. Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan bukan ditentukan oleh asal mula dan latar belakang jurusan semasa kuliah, melainkan oleh dedikasi berkelanjutan, kreativitas yang diasah, dan semangat belajar yang tak pernah padam.
Takalar, 26 Desember 2023
Muh. Syahrul Padli adalah (calon) awardee LPDP Pendidikan Magister Fisika, sementara mengikuti program PPG Prajabatan Tahun 2023.