Teman yang Mendadak Berubah Sikap

Muh. Syahrul Padli
5 min readFeb 10, 2025

--

(Catatan Kecil tentang Harapan, Neuron, dan Seni Melihat Relasi Pertemanan)

image source

Pernah punya teman yang awalnya bisa diajak bercanda tiba-tiba bersikap seperti kulkas dua pintu?

Kalau iya, Anda tidak sendiri.

Di semester sebelumnya, dia bisa menjawab chat bercanda dengan panjang, lalu di semester berikutnya, mendadak diajak bicara untuk hal-hal yang memang penting pun sudah enggan menjawab bahkan seolah menghindar— seolah kata itu diketik pakai jari kelingking yang kesemutan.

Perubahan sikap semacam ini lebih menyakitkan daripada tersandung kaktus mini di tengah malam: kecil, tapi bikin mengutuk sambil menari-nari.

Tapi mari kita mulai dari otak kita yang norak. Menurut psikologi evolusioner, manusia purba bertahan hidup dengan cara berkelompok. Diusir dari suku sama saja dengan vonis mati: dimakan singa, atau lebih parah, mati perlahan dalam pengasingan.

Karena itu, otak kita mengembangkan sistem alarm bernama anterior cingulate cortex (ACC) — area yang nyala-nyala seperti lampu disko setiap kali kita merasa diabaikan.

Dalam bahasa sederhana, penelitian neurosains bilang, rasa sakit sosial (social pain) diaktivasi oleh jaringan saraf yang sama dengan rasa sakit fisik.

Jadi, ketika teman (yang lumayan) dekat tiba-tiba bersikap sedingin es batu bahkan menganggap kita seolah tak ada, otak kita sebenarnya berteriak: “Awas! Ini setara terjatuh dari pohon lalu diseruduk babi hutan!”

Lalu kenapa kita ngotot ingin hubungan pertemanan langgeng? Bukankah secara logis, perubahan pasti akan ada karena kita berkembang dan keadaan tak sama?

Jawabannya ada di dopamin, si penghasil euforia yang juga bertanggung jawab atas kecanduan kita pada gula dan gosip artis.

Setiap kali kita merasa klop dengan seseorang, otak kita menyemprotkan dopamin seperti tukang kebun membasahi bunga di taman.

Lama-lama, kita kecanduan — bukan pada orangnya, tapi pada ilusi kontrol bahwa “kita aman”. Persis seperti monyet yang terus menekan tuas untuk dapat pisang, meski kadang tuasnya cuma ngasih sengatan listrik — karena sebelumnya dalam percobaan menekan tuas berarti mendapat pisang.

Pastinya manusia bukan monyet (kecuali dalam IQ rata-rata nasional yang cuma sedikit di atas simpanse). Kita punya korteks prefrontal, area otak yang seharusnya bisa ngoceh: “Hei, mungkin dia cuma sibuk, atau mungkin kita aja yang lebay.”

Tapi di tengah badai emosi, korteks prefrontal ini sering kalah sama amigdala — si penghasil rasa takut yang bekerja secepat pemburu gerebek diskon Shopee angka cantik 11.11, 12.12 dan semacamnya.

Hasilnya? Kita overthinking.

“Apa aku salah? Apakah aku tak layak menjadi teman? Seburuk itukah aku untuk membuat seseorang betah?”

Padahal, bisa jadi teman kita cuma kena flu, atau sedang tidak mood saja karena datang bulan. Atau dia menghadapi masalah dan butuh waktu untuk sendiri dulu.

Di sinilah Zen dan Stoikisme masuk seperti tukang servis ketika kamar kita AC-nya rusak di musim kemarau. Filsafat stoik mengajarkan: “Kita nggak bisa kontrol angin, tapi bisa atur layar kapal.”

Maksudnya, Anda tak bisa memaksa teman tetap hangat seperti roti di etalase pemanas Indomaret, tapi bisa memilih untuk tidak menjadikan sikapnya sebagai termometer (ukuran) kebahagiaan Anda.

Seneca, filsuf stoik Romawi, memberitahu bahwa penderitaan datang bukan dari kejadiannya, tapi dari ekspektasi kita yang kebablasan atas sesuatu yang — sudah kita tahu dari awal— bukan ada dalam kontrol kita.

Sementara Zen Buddhism bilang: *”Melekat itu sumber derita. Jadi, perlakukan hubungan seperti burung di tangan: kalau dicengkeram, mati; kalau dilepas, terbang.

Ini bukan berarti kita jadi psychopath yang acuh terhadap perasaan yang manusiawi, tapi lebih pada melatih diri untuk melihat hubungan sebagai bagian puzzle dalam permainan hidup — kadang cocok, kadang tidak. Tak apa jika tidak cocok karena bagian puzzle yang dipaksakan tak akan melengkapi apapun.

Neurosains punya bukti menarik: meditasi Zen bisa me-refresh otak emosional yang kebablasan agar lebih jinak dengan memperkuat koneksi ke korteks prefrontal — si penenang amigdala.

Studi di Harvard juga bilang, delapan minggu latihan meditasi bisa mengurangi aktivitas di anterior cingulate cortex (ACC), alias lampu disko sakit hati itu redup sendiri.

Jadi, alih-alih memaki teman yang mendadak silent treatment, kita bisa tarik napas dalam-dalam sambil membayangkan mereka sebagai awan yang sebentar lagi hujan — nggak perlu dimusuhi, cukup dijadikan tanda untuk bawa payung.

Tapi jangan salah, stoikisme bukan berarti jadi robot. Marcus Aurelius, kaisar Romawi yang stoik, tetap nangis saat anaknya meninggal. Bedanya, dia nggak menyiksa diri dengan pertanyaan “kenapa aku?” karena tahu alam semesta nggak pernah janji adil. Persis seperti kita yang nggak ada gunanya marahin burung karena buang kotoran tepat di atas jemuran. Cukup pindahkan jemuran ke tempat yang lebih aman.

Lalu, bagaimana dengan harapan? Harapan itu seperti garam: sedikit bikin hidup gurih, kebanyakan bikin hipertensi.

Penelitian psikologi bilang, ekspektasi tinggi dalam hubungan sering berujung pada kekecewaan, karena kita mungkin hanyalah batu injakan demi sampai ke puncak kebutuhan ego ke orang lain.

Contoh: kita ingin teman selalu responsif, padahal di era notifikasi 500+/hari, bisa balas chat dalam 24 jam saja sudah termasuk kategori masih diperhatikan.

Di level evolusi, kemelekatan atau attachment berlebihan mungkin dulu berguna untuk menjaga kelompok tetap kompak. Di zaman sekarang, di mana kita bisa zoom meeting dengan orang di belahan bumi lain, naluri itu jadi bumerang.

Kita terjebak dalam ilusi bahwa “dekat” harus berarti “selalu ada”, padahal di dunia nyata, bahkan sinyal Wi-Fi pun kadang hilang saat mati lampu.

Jadi, apa solusinya?

Pertama, latih otak untuk melihat hubungan sebagai river (mengalir) ketimbang reservoir (penampungan).

Kedua, terapkan mental time travel: tanya diri, “Apa pentingnya sikap teman ini 5 tahun lagi? Apa bakal bikin aku dapat Nobel atau justru cuma jadi beban pikiran tak perlu?”

Ketiga, nikmati momen “ya sudah” sebagai latihan — seperti jadi bonsai yang tetap anggun meski dipotong, dililit kawat, dan disiram air bekas cucian beras.

Harapan tak boleh dibiarkan sebesar pohon kalau akar-akar penopangnya tak kuat karena kalau tumbang akan merusak rumah bahkan menimpa kendaraan. Kadang membentuknya sebagai bonsai ada gunanya kalau kita tahu kapasitas akar kita memang sangat rapuh.

Pada akhirnya, mengatur harapan bukan tentang jadi manusia penyendiri yang nggak percaya siapa-siapa, tapi tentang jadi tukang kebun yang tahu: ada tanaman yang berbunga setahun sekali, ada yang cuma tumbuh subur di musim hujan, dan ada juga yang ternyata palsu — dari plastik, tapi tetap cantik dilihat.

Dan kalau teman Anda tetap bersikap dingin? Mungkin mereka memang sedang jadi kulkas. Biarkan saja. Siapa tahu besok mereka sudah berubah jadi microwave di musim kemarau— tetap berguna, tapi bukan lagi untuk mendinginkan tenggorokan dan rasa haus Anda akan hubungan pertemanan yang sehat.

Yogyakarta, 10 Februari 2025

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (1)