Tips (Tak Manjur) Menghadapi Masyarakat Pembenci Kegagalan
(Muh. Syahrul Padli — Seri Refleksi)
Masyarakat secara komunal, apalagi di daerah yang masih sangat tinggi tingkat gotong royongnya, biasanya tak menghargai kegagalan dan menjungjung tinggi keberhasilan.
Mereka tak terbiasa berpikir bahwa kegagalan adalah bagian dari sebuah proses belajar, bagian dari kehidupan.
Mereka sangat mengagung-agungkan yang namanya keberhasilan dan kesuksesan. Ada anak tetangga berhasil jadi tentara, polisi, PNS maka orangtuanya seolah naik derajat sosial. Para warga ramai bertanya apa resep mendidik anak, apa amalan saat menyuapi anak, apa kunci pas mengkreasi si anak di kamar pengantin supaya yang hadir ke dunia bukanlah calon sampah masyarakat dan sekian banyak pertanyaan template lain. Potret warga kampung saya demikian — semoga tidak terjadi di kampung Anda.
Padahal, realitanya, keberhasilan atau kesuksesan di bidang tertentu tidak untuk semua orang. Justru yang lebih lazim adalah kegagalan di satu bidang dan keberhasilan di bidang yang lain. Logikanya kan begitu?
Orang yang sukses lolos CPNS belum tentu sukses juga mengelola lahan pertanian. Orang yang berhasil jadi polisi dan tentara belum tentu lancar ketika berbisnis. Lagipula kita tidak tahu proses macam apa yang telah seseorang lewati: jatuh bangunnya, penderitaannya. Apakah kita punya resource (privilej keluarga berkecukupan dan mindset yang benar) dan siap menanggung semua luka perjuangan orang seperti Nadiem Makarim sebelum mendirikan Gojek?
Sependek pengalaman saya, kita menganggap sesuatu ideal karena bukan kita yang menjalaninya. Kalau kita yang menjalaninya maka kita anggap itu biasa saja. Ini mirip kasusnya orang kota yang menganggap tinggal di desa adalah yang ideal. Ketika dia telah tinggal lama di desa, dia baru tahu jeroannya: fasilitas kurang, tidak ada privasi, harus terus berpura-pura baik-baik saja, harus tahan ‘dihakimi’ warga, kubu-kubu dll.
Alam sangat senang dengan yang namanya seleksi. Dalam sebuah siklus tertentu, ada individu atau organisme yang terseleksi karena tidak cocok dengan lingkungan atau aturan di lingkungan itu.
Kepunahan di level makhluk hidup adalah bukti nyata bagaimana alam mengatur semuanya. Di lingkungan sosial-ekonomi mungkin itu bisa diperdebatkan karena mekanisme dan apa yang berlaku tidak sepenuhnya sama dengan alam bebas. Meski demikian, seleksi tersendiri pasti juga ada dengan output atau tujuan yang selalu sama: adanya hirarki.
Begitu dihargainya keberhasilan dan kesuksesan mungkin menandakan apa yang ideal di kepala masyarakat, menggambarkan tentang fiksi yang dipegang masyarakat dan tentang apa yang mereka mau capai minimal di pikiran.
Itu adalah proses yang organik (berjalan dengan sendirinya). Bisa juga hasil dari intervensi tertentu dari keadaan zamannya atau arus besar dari pemahaman publik pada titik masa tertentu.
Sayangnya, masyarakat kampung tak terbiasa dengan benturan pemikiran. Mereka telah kehabisan energi pada kegiatan sehari-hari. Jadi sebuah konsekuensi logis jika ruang untuk pemikiran atau diskusi sangat kurang. Kecuali untuk beberapa kasus khusus misalnya di tempat gosip (laki-laki dan perempuan) dan juga di tempat main catur, ronda dan semacamnya. Walaupun jarang, saya pernah mendapati orang-orang paruh baya dan orang tua-orang tua yang sesekali berdiskusi tentang kehidupan, tasawuf, politik kabupaten dan hal mendalam lain.
Bahkan dulu, ada penjual pentol pernah bercerita kepada saya tentang perjalananya menemukan arti kebahagiaan yang jauh sekali dari standar masyarakat. Dia punya prinsip dan nilai sendiri. Saya kagum sekaligus heran. Dia seperti manusia yang telah terbebas dari anggapan orang lain dan masyarakat. Ini anomali saja. Hanya satu dua orang yang punya kemampuan refleksi (meninjau ulang kemudian memaknainya dengan sudut pandang sendiri lalu menginternalisasinya sebagai nilai). Lebih banyak yang menerima mentah-mentah suatu kesepakatan atau pendapat mayoritas.
Kalau ditarik garis merahnya, kesejahteraan berpengaruh ke tingkat pendidikan dan tingkat pendidikan berpengaruh ke daya kritis rata-rata. Ada juga jalur pengaruh lain yang memungkinkan. Tapi intinya kesejahteraan berpengaruh cukup besar.
Masyarakat di kota relatif lebih tak peduli dan egois karena mereka biasanya punya stabilitas finansial memadai. Mereka mandiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tak perlu bergantung kepada tetangganya.
Waktu mereka sudah banyak terkuras untuk bekerja. Berinteraksi dengan tetangga biasanya bukan prioritas utama karena mereka berangkat pagi-pagi pulang sebelum maghrib. Capek di perjalanan, capek di kantor dan capek dengan urusan keluarga sendiri.
Orang kota terbiasa menggunakan energi-hidup dengan efisien. Tetangga Anda di kompleks perumahan di kota gagal seleksi CPNS sekadar didengar sambil lalu. Tetangga yang selingkuh dengan kenalannya di perantauan juga terdengar sambil lalu. Selama aktivitas atau sebuah peristiwa tak ada kaitan langsungnya dengan diri sendiri maka warga kota akan memilih cuek.
Dengan mempertimbangkan perbedaan dan karakteristik antar masing-masing lingkungan maka kita bisa menakar kemungkinan lingkungan yang cocok untuk diri sendiri.
Jika Anda seorang introvert-gagal CPNS, berada di lingkungan kampung mungkin bisa menghancurkan Anda dari dalam. Anda akan dihakimi karena kurang bersosialisasi, ketika mencoba berosialisasi Anda masih dihakimi karena kekakuan Anda; dan ketika berhasil berkomunikasi sesuai kebiasaan masyarakat, Anda masih dihakimi karena tidak sesukses anak si X, tidak seberhasil anak si Y dan lain sebagainya.
Tapi pada akhirnya, setiap tempat atau lingkungan memiliki penderitaannya masing-masing. Hidup di kampung mungkin tak sempurna dan sebaliknya hidup di kota juga tak sempurna. Berhenti mengharapkan lingkungan ideal!
Daripada berharap sebuah masyarakat berubah, mending pindah ke lingkungan yang bisa kita hadapi penderitaannya. Atau kalau kita tak ada kesempatan untuk pindah dari sebuah lingkungan yang tak menghargai kekalahan, kegagalan dan kesalahan maka cara pandang kita yang harus diubah.
Kita bukanlah pusat dunia. Kita ada atau tidak ada tak akan mengubah masyarakat. Kita memilih hidup atau memilih mencukupkan napas tak akan menghentikan siklus penghakiman. Lebih baik kita fokus pada manfaat dari kehadiran kita dan kerinduan orang lain atas ketakhadiran kita — jika memungkinkan.
Saya bisa bilang bahwa derajat sosial seperti PNS, Polisi, Tentara tidak lebih mulia atau lebih ideal dari seorang pemilik warung kelontong yang menyediakan pulsa, pembayaran listrik dan jasa fotokopi untuk masyarakat yang memang butuh.
Kenapa?
Karena penghakiman masyarakat pada akhirnya tak akan berhenti melalui tahapan evolusi baru. Anda PNS tapi tak bisa dipinjami uang juga akan dihakimi. Anda Polisi tapi tetap di pangkat rendahan, tak punya mobil, tak punya rumah keren, juga akan dihakimi dan dibandingkan dengan polisi lain. Tapi jika Anda memberi manfaat, maka Anda tak butuh penilaian manusia lagi. Toh ada Tuhan yang sudah memberi cap bahwa Anda-lah manusia terbaik karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, terlepas apapun profesinya. Itu adalah nilai yang telah terbukti mampu melewati zamannya. Anda dan saya bisa berpegangan pada nilai itu sambil mengadaptasinya ke situasi terkini.
Tak apa kita gagal hari ini dan gagal lagi besok dan seterusnya. Tak apa kita terkurung dalam masyarakat pembenci kegagalan. Terus saja hidup dan berupaya memberi manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Kalau bermanfaat untuk masyarakat masih terlalu berat, cukup jaga pola makan, jaga kesehatan fisik-mental, tidur yang cukup. Aktivitas yang bermanfaat macam itu sudah membuktikan bahwa Anda menghargai kehidupan. Dan itu tanda bahwa Anda minimal berhasil menjaga amanah Tuhan yang memilih Anda di antara sekian banyak bibit manusia lain untuk hadir ke dunia ini.