Topeng-Topeng yang Menjadi Wajah Asli

Muh. Syahrul Padli
6 min readFeb 10, 2025

--

(Catatan tentang Seni Bertahan dengan Kepura-puraan)

image source

Ada sebuah toko souvenir di salah satu daerah wisata Jogja yang menjual topeng-topeng kayu. Beberapa berbentuk wajah tertawa, ada yang menangis, sebagian lagi kosong tanpa ekspresi.

Pedagangnya bilang, “Topeng ini untuk teater, tapi kebanyakan dibeli orang-orang biasa, pengunjung dari luar kota.”

Sehabis dari sana, saat kutatap cermin, aku malah memikirkan hal berikut: kita semua adalah aktor yang membeli topeng bukan untuk panggung, tapi untuk bertahan di jalanan bernama kehidupan.

Memang, manusia adalah makhluk yang terlatih berpura-pura sejak kecil. Di sekolah, kita belajar menjawab “baik-baik saja” ketika ditanya keadaan, meski baru menangis di kamar mandi karena nilai ujian.

Di kantor, kita tersenyum pada bos yang kata-katanya lebih pedas dari sambal rawit, seolah otak kita telah dipasang filter instagram: haluskan kerutan, cerahkan mata, tambahkan efek “hidup sempurna”.

Tapi ketika pura-pura itu bukan lagi sekadar strategi sosial, melainkan kulit kedua yang melekat sampai ke tulang, kita berubah menjadi boneka kayu yang talinya dipegang oleh ketakutan: takut ditolak, takut merepotkan, takut dianggap tak cukup baik untuk sekadar ada.

Bayangkan Anda adalah kupu-kupu bercahaya di tengah gelap. Setiap kali bersinar terlalu terang, orang akan mendekat untuk meminjam cahaya — tapi juga mungkin merusak sayap Anda dengan sentuhan mereka.

Maka Anda belajar mengurangi nyala, memelankan api, bahkan sesekali berpura-pura mati.

“Ah, saya juga nggak ngerti kok,” katamu saat teman kelas atau rekan kerja menanyakan solusi masalah, meski jawabannya sudah menggeliat di ujung lidah.

Pintar itu risiko. Terlalu banyak cahaya hanya akan membuat orang melihat debu-debu yang selama ini tersembunyi di sudut ruang hidupmu.

Di sini letak paradoksnya: semakin Anda pura-pura bodoh, semakin bodoh Anda jadinya. Otak itu seperti pisau — semakin jarang diasah, semakin tumpul.

Seorang kenalan bercerita, dulu ia sengaja salah menjawab soal matematika di depan gebetannya hanya agar dianggap “imut”.

Dia terus terjebak dalam peran itu: di setiap kencan, ia harus pura-pura gagal hitung diskon 50%, sampai suatu hari menemukan diri sendiri terjebak dalam hubungan dengan pria yang menganggapnya “cantik karena tidak pintar”.

Beberapa manusia memang sangat tak siap untuk menerima sesuatu apa adanya. Termasuk penolakan, perbedaan, ketidaksetaraan, ketertinggalan dan seterusnya.

Dan kenalan saya itu, sang mantan juara Olimpiade Matematika level provinsi, mendapat suami yang menganggap hitungan detil kebutuhan bulanan adalah bukti ketidakpercayaan terhadap Tuhan yang telah mengatur rejeki.

Lalu ada kepura-puran berikutnya: pura-pura bahagia. Ini adalah seni tertawa dengan mata yang sebenarnya habis menangis malam sebelumnya.

Di Jepang, mereka punya istilah honne dan tatemae — wajah sejati dan topeng publik.

Di Indonesia, kita punya versi lokalnya: “gpp” (gapapa), “santai”, dan “yaudahlah”.

Seperti kembang api yang dinyalakan di siang bolong: warna-warninya tak terlihat jelas, tapi suaranya tetap berdentum untuk menghibur orang yang bahkan tak menengok.

Teman saya, sebut saja Anggita, adalah ahli dalam seni ini. Di pesta pernikahan teman satu angkatan di kampus, ia tertawa paling keras saat mantan pacarnya datang dengan istrinya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia telah move on. Masa lalu tak lagi menyakitinya.

Di grup WhatsApp keluarga, ia kirim sticker tertawa dan tambahan ketikan “wkwk” ketika ditanya kapan menikah oleh tante-tantenya— padahal malamnya ia menggigit bantal agar beban hatinya tak berubah jadi jeritan mulut yang bisa didengar tetangga.

“Lebih baik mereka mengira aku kuat daripada harus jelaskan bahwa aku rapuh,” katanya suatu sore di sebuah outlet makanan cepat saji di lantai bawah Mall Pakuwon Jogja, sambil meminum es kola yang sudah tidak dingin sejak tiga jam lalu.

Dia menceritakan semua dan saya hanya mendengar. Teman yang saya jumpai di komunitas orang Makassar” di Jogja ini menjeda curhatannya oleh tangisan.

Saya tampak sebagai laki-laki yang “minta putus”. Padahal, saya hanya teman kampung yang berusaha ada untuknya karena dia menunjukkan tanda-tanda akan “mencukupkan napas”.

Lebih mudah bagi keluarganya menerimanya pulang dalam keadaan hidup daripada pulang sebagai tubuh tak bernyawa. Di Jogja ini, saya adalah pengganti sementara keluarganya.

Saya pernah tahu rasanya terjebak dalam perangkap “pikiran buruk” sendiri. Dan saya tahu tak enaknya merasa sendirian. Mungkin rasanya seperti terjebak di dasar sumur dan tak ada yang membantu kembali ke permukaan.

Kepura-puraan paling getir adalah ketika kita menyembunyikan badai di balik kata “baik-baik saja”. Seperti burung unta yang menanam kepala di pasir — kita pikir dengan tidak melihat masalah, masalah itu akan lenyap. Padahal, pantat kita tetap mencuat di permukaan, jadi bahan tertawaan singa-singa yang mengintai.

Seorang kawan lainnya bercerita tentang ayahnya yang tetap berangkat kerja meski tahu jantungnya tidak sehat. “Ayah bilang, ‘Jangan sampai adik-adikmu tahu. Mereka masih perlu lihat bapaknya kuat.’”

Dua minggu kemudian, ia kolaps di tempat mengajarnya, dan keluarga harus merelakannya pergi selamanya. Almarhum tahu bahwa dia tak sehat. Tapi lebih memilih menyimpan uang untuk biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya daripada digunakan untuk berobat ke dokter spesialis.

Tragedi semacam ini adalah buah dari mitos “pahlawan sunyi” — sebuah konsep yang sering dipuja, tapi jarang disadari racunnya: kita mengorbankan diri di altar kepedulian, tapi yang tersisa hanya abu dan penyesalan.

Padahal, masalah tak selalu harus ditanggung sendirian. Kita tak sendirian bahkan ketika kita merasa sendirian. Kita hanya sedang membangun ilusi kesendirian untuk menipu diri agar bertahan dalam peran sebagai pahlawan sunyi yang harus menanggung semua sendirian.

Neurosains punya penjelasan menarik tentang ini. Setiap kali kita berpura-pura, amygdala (si penghasil rasa takut) dan prefrontal cortex (si pembuat keputusan) terlibat dalam perang saudara. Seperti sopir yang memaksa mobil melaju cepat sambil menginjak rem.

Lama-lama, otak lelah. Psikolog menyebutnya cognitive dissonance — perasaan tidak nyaman ketika tindakan dan keyakinan bertolak belakang.

Tapi bagi kita yang sudah ahli berpura-pura, dissonance ini menjadi teman tidur yang setia. Kita belajar menelan kontradiksi itu seperti menenggak obat tanpa air: pahit, tapi dianggap perlu.

Masalahnya, tubuh tak bisa dibohongi selamanya. Seperti cerita The Tell-Tale Heart karya Poe, kebohongan itu suatu hari akan berdetak sendiri. Bisa dalam bentuk insomnia, sakit mag kronis, atau serangan panik di tengah kelas atau rapat yang biasa-biasa saja.

Seorang teman sesama anggota komunitas pelari Makassar yang juga psikiater pernah bercanda: “Pasien saya yang paling ‘baik-baik saja’ biasanya punya resep antidepresan paling panjang.”

Lalu mengapa kita terus melakukannya? Jawabannya mungkin ada di teori evolusi. Manusia purba yang diusir dari suku akan mati, jadi kita terprogram untuk menjaga penerimaan sosial bagaimanapun caranya.

Di era modern, naluri ini menjadi bumerang. Kita seperti ikan yang berevolusi untuk hidup di darat, tapi tetap membawa insang yang tak berguna — terengah-engah antara menjadi diri sendiri dan menjadi apa yang diinginkan orang lain.

Tambahkan saja racun media sosial. Platform-platform itu adalah galeri topeng raksasa di mana kita pamer topeng-topeng terbaik sambil menyaksikan topeng orang lain.

Sebuah studi menyebut bahwa 68% generasi Z merasa harus “menyensor diri” agar tak dianggap aneh. Persis seperti puisi T.S. Eliot: “Kita menyiapkan wajah untuk ditemui wajah-wajah yang disiapkan.”

Tapi di balik semua topeng dan kepura-puraan ini, ada luka yang lebih dalam: rasa tak berarti. Ketika Anda menghabiskan hidup menjadi versi palsu diri sendiri, perlahan Anda mulai percaya bahwa yang asli tak layak ditampilkan. Seperti lukisan Mona Lisa yang disembunyikan di gudang, diganti dengan poster reproduksinya yang murah. Kita menjadi hantu di balik topeng — ada, tapi tak sepenuhnya hidup.

Aku kadang teringat mitos Narcissus, tapi dalam versi terbalik: bukan jatuh cinta pada bayangan sendiri, tapi justru tak mengenalinya lagi. Dalam versi kita: bukan mendefinisikan diri kita yang asli di balik topeng, tapi justru topenglah yang akhirnya mendefinisikan kita.

Lantas, adakah jalan keluar? Mungkin kita bisa belajar dari wayang. Dalang tahu bahwa wayang hanyalah kulit kerbau, tapi tetap menghormati roh cerita yang dibawanya.

Kita bisa mulai dengan mengakui bahwa topeng-topeng ini memang ada, tapi bukan kita yang sebenarnya. Seperti kata filsuf Alan Watts: “Kita bukan angin, bukan kapal — tapi tarian antara keduanya.”

Mulailah dengan kebohongan-kebohongan kecil yang sehat. Ketika ditanya “apa kabar?”, jawab “sedang belajar untuk tidak baik-baik saja”. Ketika ingin menangis, katakan “mataku sedang bersih-bersih”. Dan ketika lelah berpura-pura, ingatlah kisah burung phoenix — kadang kita perlu membakar diri agar bisa lahir kembali dari abu kepalsuan.

Seperti kata seorang teman yang akhirnya berani keluar dari pernikahan pura-pura: “Aku lebih memilih ditolak sebagai diriku sendiri daripada diterima sebagai aktor yang salah peran.”

Mungkin di situlah keberanian sejati: bukan tanpa ketakutan, tapi memilih untuk rapuh dalam dunia yang memuja ketangguhan palsu.

Akhir kata, mari kita kembali ke toko sovenir yang menjual topeng tadi. Jika suatu hari Anda berkunjung ke sana, pilihlah satu topeng — tapi jangan lupa: topeng itu untuk dipakai, bukan untuk menjadi kulit. Sebab seperti kata penyair Rumi: “Di balik setiap topeng, ada wajah yang lebih indah menunggu untuk bernapas.”

Yogyakarta, 1 Februari 2025

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

Responses (1)