Tuhan dan Kamu?

Muh. Syahrul Padli
8 min readMay 18, 2020

--

(Muh. Syahrul Padli)

www.tumblr.com/GodandYousurreal

Kau terlihat berbeda malam ini. Sungguh berbeda. Baru pertama kulihat kau datang dengan pakaian seperti itu selama lima tahun kita berusaha saling mengenal satu sama lain melebihi batas-batas fisik dan identitas. Kau tampak lebih nyentrik. Namun, dengan tampilan itu tetap saja kau tak kehilangan cirikhas yang menggambarkan pilihan cara beragamamu.

Aku suka dengan pakaianmu: rok hijau motif batik, jilbab hijau, dan juga baju kain hijau. Kau datang dengan warna serba hijau. Warna itu begitu kusuka lantaran di waktu-waktu senggang aku senang melihat dedaunan, tumbuhan merambat dan semak lantana di pinggir pantai Tope Jawa. Dan sekarang, kau layaknya daun yang berjalan mendekat.

Mataku sejenak beralih ke punggungmu. Tas merek Export itu tetap kau pakai. Perawakan tas itu juga masih menggoda seperti dulu. Mungkin karena kau rawat dengan baik atau justru jarang kau pakai. Tas itu kubeli sebagai hadiah ulang tahunmu setelah sebelumnya aku berpuasa selama seminggu — setiap ingin membeli sesuatu aku harus berpuasa karena uang kiriman dari orangtua dari kampung sangat pas-pasan. Hadiah yang sebenarnya tak kurencanakan dari awal sebelum keberangkatanmu ke UI melanjutkan studi. Kenang-kenangan dari masa yang sangat lampau itu masih kau pakai dengan senang hati.

Aku berkilah pada hatiku bahwa karena kau berbeda hari ini mataku tak bisa beralih. Dari dulu, jujur, memang aku selalu suka melihatmu. Bukan, bukan hanya memandang tampilan fisik yang tampak. Tapi, menatap jauh ke dalam sebenarnya dirimu yang tidak mampu dilihat orang lain.

Mataku kembali menatapmu. Kini lebih lama. Lekat-lekat, seperti tokek menempel di dinding.

Tunggu, biar kutebak sesuatu. Aku menduga kau sengaja berdandan. Kali ini kau merias diri. Tidak terlalu mencolok dan tidak terlalu menor. Gegara itu kau sebenarnya membuatku agak malu karena datang dengan hanya memakai pakaian biasa. Di badanku melekat celana jeans, kemeja kotak-kotak hitam putih, sepatu gunung yang telah usang dan bonus badan yang sedikit demam karena bakteri Salmonella thyposa. Kalau dilihat sekilas, orang-orang bisa menebak kalau kita berasal dari dua planet berbeda.

Tubuhku memberi tanda kalau beberapa jam yang akan datang mungkin aku akan pingsan atau menggigil berat. Dugaanku, demam yang perlahan membuyarkan otak sadarku ini akan memuncak sebentar lagi.

“Kau ingat diskusi terakhir kita? Dan kau sudah punya bayangan betapa pentingnya malam ini?” katamu, tertawa, tersipu, seakan minta dimaklumi.

Senyumku mengembang. Demi melihat senyummu, aku berpura-pura sehat dan senang.

Setelah tahun-tahun yang panjang terlewati, kau tak banyak berubah. Dan kali ini kau masih menjadi orang yang mengawali sebuah percakapan.

Sembari mengira-ngira apa kalimat selanjutnya, mataku cukup lama mengamati persinggahan kita yang terakhir.

Katamu lewat telepon bahwa kita hanya akan mengunjungi toko buku langganan kita. Tak kusangka kau juga mengajakku untuk menjelajah ke tempat lain; ke tempat yang mengingatkan betapa berharganya sebuah ingatan-ingatan.

Barangkali kau masih menganggap manusia dan ingatannya adalah satu kesatuan. Tanpa ada ingatan, manusia tidak akan utuh. Kau membawaku berpetualang untuk kilas balik semacam itu, mungkin. Dan aku merasa sebagian diriku yang hilang kembali dari ruang yang gelap karenamu.

Kalau diurutkan, pertama kau mengajakku ke perpustakaan kreatif di BTN Wesabbe, lalu kau mengajakku kembali ke wisata gugusan kartz Rammang-rammang, kemudian kau membawaku ke gua Leang-leang dan terakhir kita berdua ada di salah satu restoran ternama yang terletak di bilangan jalan Pettarani: Bon Cafe.

Sejauh ini aku mengikuti apa maumu, walau sebenarnya di persinggahan terakhir ini tak membuatku betah meletakkan pantat. Di restoran mahal, bagiku semua hal terasa menyiksa dan tak terlalu menyenangkan. Manusia-manusia selain kita yang duduk di meja lain adalah manusia pemakan produk dan merek. Mereka tak punya tujuan lain dalam hidup kecuali menghabiskan uang. Mereka adalah manusia pura-pura. Dengan sunggingan senyum serba tak nyata mereka berlagak bahagia dengan perilaku makan dimakan. Mereka memakan produk mahal lalu pada akhirnya persepsi baik-buruk mereka yang dimakan segala benda yang diagungkan.

Mataku sedang menyelidik sekeliling. Sungguh, berada di persinggahan terakhir kita menyiksa pikiranku. Terlebih setelah melihat orang-orang di meja lain selain kita. Mereka tak akan mampu menyelami sebuah ketenangan. Sungguh, sebagaimana mereka tak mengerti betapa tak berharganya segala kuantitas yang terjamah pelaku ekonomi. Orientasi hidup mereka adalah materi dan kebebasan. Padahal, hal gaib lebih mendominasi jagad raya dibanding materi yang cuma secuil. Mereka memuja yang secuil lalu lupa bahwa yang banyak telah luput dari pandangan.

Kau melihatku. Mungkin dalam hatimu berkata, kau masih seperti dulu, sangat senang mengamati sekeliling, kuduga.

“Emmm. Biar kutebak. Matamu masih asing dengan hal-hal yang ada di tempat ini. Pun pola pikirmu masih membenci semua di tempat ini. Tapi itulah mungkin alasan mengapa di pikiranku namamu selalu ingat dalam doaku kepada Tuhan,” cetusmu sambil tersenyum. Aku juga tersenyum balik. Aku tak mengerti maksud di balik kalimat yang kau katakan.

Dua piring steak daging dan dua gelas es krim vanila kini terhidang di depan kita. Restoran tempat kita duduk ini memang memiliki dua menu andalan yaitu steak dan es krim. Dua menu itu sangat kugemari lantaran hanya sekali dalam dua tahun bisa kunikmati karena uang yang pas-pasan.

Kupasang tisu besar di kerah bajuku. Kubiarkan ujungnya menjuntai lalu menutupi bagian dada. Tisu besar itu kini terpampang lebar siap menghalau cipratan bumbu. Sekarang kita bersiap untuk makan.

Walaupun lidah, tenggorokan, dan sistem pencernaanku sedang dalam fase ‘pahit’ untuk menelan apapun, aku tetap memakannya demi menghormati waktu yang telah kau luangkan.

Kupotong bagian daging yang terlihat kecoklatan karena dimasak bersama bumbu kecap. Potongan daging kecil yang tertusuk ujung runcing garpu kumasukkan ke mulut. Kukunyah beberapa puluh kali agar bisa kutelan dengan mulus.

Malam ini tentu saja sangat khusus bagiku, mungkin juga bagimu. Alasan kekhususan malam ini karena kau kembali ke sini hanya setahun atau dua tahun sekali.

“Ada yang perlu dirayakan Bu Dokter?” tanyaku, berusaha santai.

“Yah. Tentu,” jawabmu dengan senyum yang indah. Gigi-gigi kelinci dan alis tebal ditambah bulu mata hitam alamiahmu membuatku termangu cukup lama. Tak jauh beda dengan dulu, senyum itu selalu mampu membuatku diam untuk beberapa jenak.

“Apa?” tanyaku sambil tetap menyantap sisa steak yang kini hanya tinggal separuhnya.

“Kebebasanmu dan keterikatanku.” Tawamu kini menggelak-gelak lepas serupa makhluk yang berhasil lepas dari kurungan. Lalu kau mengatur napas untuk kalimat selanjutnya.

“Tuhan telah mengikatku dengan perasaan yang aneh, dan kau adalah manusia bebas yang telah berhasil membuat seseorang terikat.”

Mataku menyipit menunggu penjelasan.

“Lima tahun itu sudah cukup bagimu membuatku menjadi manusia yang terpenjara perasaan sendiri.” Kali ini kalimatmu serasa ngelantur.

Segera kau minum jus jeruk dalam tegukan yang tak biasa. Seolah ada beban yang mensyaratkan dahagamu harus terisi lebih dulu sebelum kembali memikulnya.

Bulu kudukku meremang tersapu oleh hawa pendingin ruangan. Entahlah, apakah suhu tubuhku yang tak wajar atau pendingin ruangan yang terlalu rendah derajat suhunya.

Tubuhku mengeluarkan keringat dingin dan hampir membuatku tumbang. Gemelutuk gigiku mulai tak tersembunyi. Kuusap perlahan wajah pucatku dengan tisu.

“Aku tiba pada perjalanan yang menuntunku pada sebuah simpul antara Tuhan, kamu dan cinta.” Kini kau memperbaiki posisi duduk. Menatapku serius.

“Tapi Tuhan selalu jadi penentu simpul,” kataku pelan.

“Dan Tuhan entah dengan cara apa menuntun tanganmu menggapai sesuatu yang dalam. Kau menyentuh hatiku dengan segala kesederhanaanmu, pengorbananmu, ketulusanmu yang menjadikanku lebih baik,” lanjutmu lagi.

Kali ini kulihat wajah manismu berubah. Tak ada ekspresi lepas seperti sedia kala.

Hatiku kini berteriak-teriak: “Katakan padaku dengan gamblang apa yang ada dalam bilik perasaanmu. Kau tak usah ragu untuk muntahkan semua itu menjadi kata.”

Mulutku terasa terkunci. Demam di tubuhku semakin menggigilkan otak sadarku.

“Kuingat bagaimana kau datang suatu waktu saat aku demam tinggi, sendirian di kamar tanpa ada sanak keluarga. Kau datang dengan lesat seperti terbang dan membawaku ke dokter. Bahkan jaket gunungmu kau berikan padaku dan kau dengan hanya kaos oblong memecah jalan Makassar yang lengang menuju rumah sakit.” Nampak, maksudmu semakin jelas.

Kembali, pikiranku mencoba menggaruk permukaan dari pesan tersirat itu.

Kepalaku tiba-tiba mengangkasa ke masa beberapa tahun silam. Malam, tepat ketika jam menunjukkan pukul 24.00 WITA. Saat itu aku sedang di kamar pondokan. Kulihat chat-mu yang meminta bantuan. Tak berpikir dua kali aku melenggang dengan motor bebek Revo Hitam menuju ke rumah mewahmu di bilangan perumahan dosen Tamalanrea.

Kuingat kejadian itu. Persis seperti video yang ditampilkan di depan mata. Bahkan detil seperti uang yang di saku celanaku hanya dua puluh ribu dan aku berani membawamu ke rumah sakit Dr. Wahidin dengan uang seadanya. Uang segitu bahkan untuk sekadar biaya konsultasi tak cukup. Maka di malam yang lengang, kuketuk semua pondokan kawan. Aku meminjam uang mereka dan berjanji mengembalikannya sehabis gajian dari tempatku mengajar bimbel. Dengan uang itu kuselesaikan urusan administrasi sehingga kau bisa langsung ditangani.

Kau disarankan oleh dokter untuk istirahat sehari di sana karena malam yang tidak memungkinkan dan tak baik untuk kesehatan. Maka kutemani kau di kamar yang kulupa nomor dan lantai ke berapa.

Aku berbaring duluan karena kelelahan. Ada kebijakan dari dokter yang mengizinkanku menginap di sana malam itu. Di pinggiran kasur tempatmu berbaring, aku meminjam kursi dari satpam. Kubaringkan kepalaku di pinggir kasur sembari meletakkan pantat di kursi plastik.

Kurasakan sedikit elusan di kepalaku antara sadar dan tidak sadar. Entahkah itu hanya mimpi atau bukan, aku tidak tahu.

“Anggap saja ini sedikit balasan yang kau dapatkan dari apa yang kau lakukan. Aku sadar ini tak akan cukup membalas kebaikanmu selama ini,” lanjutmu. Kali ini kalimat itu membawaku dari kenangan menuju tempat kita sekarang berada.

“Tuhan muncul dalam tindakan dan ketulusanmu.” Ahh kata-katamu semakin membuatku melonjak dari pijakan rasioku.

“Malam itu aku tak percaya lagi dengan Tuhan dalam konsep ataupun wujud apapun. Di panas yang melenyapkan kepercayaanku pada manusia, malaikat bahkan pada Tuhan, kau datang tanpa syarat.” Kalimatmu membuatku menelan ludah.

“Aku sadar sejak malam itu di rumahku saat menunggu iblis sembari mengutuk Tuhan bahwa, kepongahanku sangatlah keliru setelah kau datang dengan muka khawatir dan kepala yang tak sempat memikirkan helm.”

Aku hanya duduk diam terpaku mendengarmu.

Jika kau mau tahu, kesadaranku hampir hilang separuhnya karena demam ini.

Malam semakin larut, tapi kau tetap berceloteh dengan kalimat yang dalam. Dan aku adalah manusia yang serupa patung. Duduk, diam, tak menanggapimu.

Biarlah semua beban itu keluar terlebih dahulu. .

“Sejak hari itu, aku berdoa kepada Tuhan agar bisa bersamamu.”

Mulutku semakin tak kuasa menahan kalimat yang ingin menyembul keluar.

Dalam hati aku ingin meminta maaf jika kalimat ini tak sesuai harapanmu.

“Kamu tahulah, malam itu kepalaku sudah tidak dapat berpikir. Aku bergerak dengan tujuan membawamu ke rumah sakit, apapun konsekuensinya. Perasaan itu tiba-tiba saja menggerakkanku untuk melakukan hal yang belakangan baru kusadari agak sedikit nekat.”

“Terus apa yang sebaiknya kulakukan?” tanyamu dengan pandangan sayup.

“Kamu sekarang bebas. Tidak usah berbalas budi. Aku tak berharap balasan atau apa pun itu. Jangan terbebani dengan hal semacam itu. Bagaimana?” seruku balik bertanya.

“Aku akan tetap meminta kepada Tuhan agar tetap bersamamu atau paling tidak menjaga ingatan itu bersamaku,” jawabmu lepas.

Ekspresimu kini terlihat sangat bebas. Seperti beban yang kau pikul selama lima tahun menguarkan cahaya putih lepas seketika malam ini.

Dan aku minta izin ke WC. Perutku seperti dikocok dan makanan serasa berusaha naik kembali ke tenggorokan. Aku jongkok, lalu memuntahkan makanan itu ke kloset. Perlu beberapa belas menit sampai sistem pencernaan dan kesadaranku pulih.

Dengan langkah agak gontai aku kembali ke meja. Aku ingin menyelesaikan semua ini. Bahkan dengan tubuh yang tak bersahabat.

Kau bangkit. Melap keringat dingin di wajahku. Seketika kita menjadi pusat perhatian.

“Kamu sakit?” tanyamu dengan ekspresi khawatir.

Kujawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala. Dan kau menangis yang entah tidak kutahu apa maksudnya.

“Kubawa ke rumah sakit yah?”

“Tidak. Jangan. Aku sehat.”

Kau menyentuh dahiku. Merasakan suhunya dengan telapak tangan. Kau seolah terkejut.

“Kamu sakit dan memaksakan diri ke sini untukku? Kenapa tidak bilang saja kalau kamu tidak bisa datang?”

Aku menggeleng, lalu tersenyum.

Kau menatapku. Lamat-lamat. Aku menatapmu dengan mata yang seperti melekat. Tatapan kita beradu. Dan pada akhirnya keesokan hari kudapati diriku berbaring di rumahmu dengan selimut dan tanganmu yang memegang tanganku.

17 Agustus 2017

Cerpen lain baca di sini

Kamu bisa dukung saya untuk terus berkarya di https://saweria.co/muhsyahrulpadli

Berapa pun donasi kamu akan sangat membantu saya membeli kopi saset.

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet