Wanita Bunting yang Ingin Curhat Kepada Tuhan yang Tak Diwakili
(Muh. Syahrul Padli)
Nama saya Markonah. Saya dianggap tai. Mungkin botol minyak gosok, tusuk sate, batu gunung dan bungkus kerupuk dianggap lebih berguna dibanding saya. Semua ini terjadi setelah saya dipaksa melayani nafsu bejat beberapa laki-laki di pasar kaget dekat blok G.
Kejadian itu menghancurkan semuanya. Cita-cita saya tamat. Harapan saya pupus. Dan sekarang satu-satunya hal yang paling saya inginkan adalah bertemu Tuhan.
Ada kisah yang ingin saya ceritakan kepadaNya. Bukan. Bukan kisah pilu karena keperawanan yang bobol dan jabang bayi sedang tertanam — yang saya tidak tahu bapaknya siapa, di urutan ke berapa ia menggilirku dan memuncratkan bibit manusia ke rahimku.
Bukan, bukan itu. Ini tentang tidak adalagi yang mau mendengar saya. Tidak pak Lurah, pak Camat, pak Bupati, pak Presiden, Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak-anak. Bahkan, masyarakat beragama mengusir saya. Tanpa belas kasihan mereka menyeret saya dengan brutal ke jalanan. Mereka menganggap saya berzinah.
Mulut mereka senantiasa mengumpat, mencaci saya sepanjang waktu. Di manapun. Di mimbar–mimbar pengkhotbah, di bale-bale bambu, di pertemuan ilmiah, di gedung-gedung instansi pemerintahan atau di tempat orang bebas bicara dan menuduh.
Tak heran bibir-bibir mereka jadi jontor; kuping mereka mengecil; hati mereka membatu; mata mereka membelalak setiap melihat saya. Jika saja saya tak memikirkan nasib keluarga para orang itu, saya akan meminta kepada Tuhan agar mereka kena kutuk karena bicara apa yang mereka tak tahu.
Jika saja mereka mau mendengar, akan saya jelaskan kalau semua nasib buruk yang menimpa saya itu terjadi di luar kehendak saya. Saya dipaksa membuka selangkangan di gang-gang sepi sambil mulut dibekap sapu tangan. Dan mereka — para laki-laki bejat dan orang-orang yang menuduh yang tidak-tidak — mengerutkan makna saya sebagai manusia menjadi hanya sejenis lubang pemuas.
Hanya Tuhan yang mungkin mau mendengar orang-orang terbuang dan terasing. Saya beroleh kabar, dulunya Dia adalah pendengar yang baik. Konon, sewaktu baru memperkenalkan diri sebagai Tuhan, Dia rajin bertandang ke rumah-rumah penduduk lewat nabi dan rasul; mendengarkan dengan tekun apa yang menjadi keluh kesah dan harapan para penduduk yang didatanginya itu. Setiap doa akan sampai kepadaNya melalui perantara angin, badai pasir, semak gurun dan pohon-pohon kurma.
Tapi itu dulu. Seiring waktu, Tuhan tak lagi mau langsung mengunjungi manusia. Sekarang dia hanya diwakili oleh para pemimpin di berbagai lapisan masyarakat. Pernah, suatu hari, di era kontemporer ini, wakil tanganNya di dunia yakni pak Bupati mengunjungi seorang petani renta di Kabupaten Takalar bernama Pak Syueb yang usianya sudah 85 tahun dan hanya punya sepetak sawah kering tak produktif.
“Saya datang ke sini untuk mendengarkan….” Begitu kira-kira, kata wakil Tuhan, pak Bupati, kepada pak Syueb yang terheran-heran oleh kemunculan tiba-tiba laki-laki yang berpakaian bagus dengan jejak lipatan setrika yang sangat kentara, rambut disisir rapi dan parfum yang mengawetkan kesan taman bunga lavender.
“Ceritakan saja semuanya… Sampaikan secara terbuka, terus terang, dan tidak usah takut-takut….Aku adalah perpanjangan kuasa Tuhan di bumi. Aku adalah khalifah yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup hambaNya.”
Di rumah Pak Syueb itulah pak Bupati kemudian mengadakan pertemuan. Disorot puluhan kamera para wartawan baik dari bangsa manusia maupun, siluman, demit dan tuyul, ia mendengarkan semua yang diceritakan dengan sabar, tekun, dan penuh perhatian.
Sayangnya, setelah pemilu, Pak Bupati berubah jadi pesuruh Ifrit. Segera ia menjelma siluman anggaran. Tak mengherankan ia menyerobot dana bantuan pupuk, perbaikan irigasi dan traktor untuk para petani. Bahkan Pak Bupati bekerjasama dengan para pengembang untuk mengubah fungsi lahan pertanian jadi perumahan mewah untuk kaum elit. Para petani yang dipaksa menjual sawah mereka hanya kebagian jatah jadi buruh kasar.
Dari kisah itu saya belajar banyak agar tak mudah percaya pada selain Tuhan. Jika tidak, nasib saya akan sama dengan pak Syueb yang delapan bulan kemudian meninggal sambil membawa harapan yang juga ikut mampus.
Yah, saat ini, amat sulit menemukan pendengar yang baik dengan tindakan yang baik pula. Tidak ada satu pun. Karena itu, saya berharap Tuhan yang malu-malu mau mendekatkan kupingNya. Saya tidak mau Dia diwakili lagi. Saya ingin Dia langsung yang mendengar kisah ini. Siapa tahu Dia tergugah.
Takalar, 12 April 20017
Cerpen lain baca di sini …
Kamu bisa dukung saya untuk terus berkarya di https://saweria.co/muhsyahrulpadli
Berapa pun donasi kamu akan sangat membantu saya membeli kopi saset.