Wawancara Haruki Murakami (18 Mei 2022 Mainichi Japan)

Muh. Syahrul Padli
6 min readFeb 6, 2025

--

(Ketajaman F. Scott Fitzgerald dalam Menulis ‘Romansa’)

image source

TOKYO — Haruki Murakami, novelis Jepang terkenal berusia 73 tahun, baru-baru ini bincang-bincang bersama Mainichi Shimbun di Tokyo dalam wawancara eksklusif — yang pertama dalam dua tahun terakhir. Dalam kesempatan tersebut, ia berbicara tentang berbagai hal, mulai dari kekagumannya kepada sastrawan Amerika, F. Scott Fitzgerald — yang karyanya telah lama ia nikmati dan terjemahkan ke dalam bahasa Jepang — hingga perang di Ukraina, cerpennya Drive My Car yang diadaptasi menjadi film meraih penghargaan, serta makna menulis novel. Berikut adalah kutipan dari wawancara tersebut:

Menerjemahkan Fitzgerald: “Aku Harus Melakukannya Sendiri”

Mainichi Shimbun: Kamu baru saja menerjemahkan novel Fitzgerald The Last Tycoon ke dalam bahasa Jepang, yang dirilis pada bulan April. Sepertinya kamu memang sudah lama ingin menerjemahkan karya-karyanya, termasuk The Great Gatsby, sejak kamu menerjemahkan kumpulan esainya My Lost City pada tahun 1981, tepat setelah debut novel pertamamu.

Haruki Murakami: Ya, aku sudah menerjemahkan cukup banyak karya Fitzgerald dan menerbitkannya.

MS: Apakah kamu sudah lama berencana menerjemahkan The Last Tycoon?

HM: Tidak juga. Untuk buku seperti The Great Gatsby, aku merasa harus menerjemahkannya sendiri. Tapi untuk The Last Tycoon, aku sempat ragu. Aku tidak yakin ingin menerjemahkan novel yang belum selesai. Tapi setelah kubaca ulang, aku sadar meskipun belum selesai, novel ini tetap ditulis dengan sangat baik. Jadi, aku pun mulai menerjemahkannya.

MS: Versi terbaru dari The Love of the Last Tycoon edisi Cambridge dirilis pada tahun 2020, tapi kamu memilih untuk menerjemahkan versi yang diedit oleh Edmund Wilson, kan?

HM: Ya, aku memilih edisi Wilson. Itu juga versi pertama yang kubaca. Aku tidak bisa bilang mana yang lebih baik atau lebih buruk, tapi secara pribadi aku jauh lebih menyukai versi Wilson.

MS: Maksudmu, meskipun Wilson mengedit beberapa bagian novel, hasil akhirnya tetap terasa sebagai karya yang utuh?

HM: Ya. Kalau aku meninggal di tengah menulis novel, aku rasa aku ingin seseorang yang berbakat untuk merapikan tulisanku. Aku lebih suka karyaku diperbaiki sebelum diterbitkan, daripada naskah mentah yang kutinggalkan dipublikasikan begitu saja.

Tak Ingin Mati Sebelum Karyanya Selesai

MS: Saat menulis The Wind-Up Bird Chronicle, kamu berusia 44 tahun — usia yang sama saat Fitzgerald meninggal. Kamu pernah menulis bahwa akan sangat mengecewakan jika meninggal sebelum menyelesaikan novel itu.

HM: Aku selalu berpikir akan sangat menyedihkan jika meninggal sebelum menyelesaikan sebuah novel panjang. Aku tipe penulis yang terus mengedit dan mengulang tulisan berkali-kali, jadi akan sulit bagiku jika tidak punya kesempatan untuk menulis ulang. Aku ingin tetap hidup sampai naskahku benar-benar selesai dan bisa kuserahkan kepada editor.

Kalau kamu membaca The Last Tycoon, kamu bisa melihat bahwa Fitzgerald menulis sambil terus kembali mengedit bagian-bagian sebelumnya. Kualitas tulisannya luar biasa, jadi aku yakin dia menulis sedikit, lalu kembali mengeditnya sebelum melanjutkan ke bagian berikutnya — begitu terus secara berulang. Aku sendiri tidak seperti itu. Aku lebih suka menulis sampai akhir dulu, baru kemudian kembali ke awal untuk menulis ulang.

MS: Kamu percaya bahwa jika The Last Tycoon selesai, itu akan menjadi mahakarya, kan?

HM: Aku yakin novel itu bisa menjadi salah satu novel terbaik dalam sejarah sastra Amerika.

Keistimewaan Fitzgerald: “Romansa yang Sejati”

MS: Monroe Stahr, tokoh utama dalam The Last Tycoon, terinspirasi dari produser legendaris Hollywood, Irving Thalberg.

HM: Dalam karya-karya Fitzgerald, biasanya ada seorang narator yang menceritakan kisah tentang karakter yang luar biasa. Tanpa sudut pandang orang ketiga, sulit untuk memahami siapa Monroe Stahr sebenarnya. Kisahnya tidak bisa diceritakan dari sudut pandang orang pertama. Ini seperti kisah tentang seorang pahlawan Amerika — sebuah romansa.

MS: Apa yang menurutmu membuat Fitzgerald begitu spesial?

HM: Aku suka bagaimana Fitzgerald selalu menghadirkan elemen romansa yang kuat dalam ceritanya. Maksudku, romansa dalam arti hasrat yang mendalam terhadap sesuatu — bisa berupa kekayaan, atau seorang wanita. Dalam banyak ceritanya, tokoh utama selalu mengejar sesuatu dengan penuh gairah, dan kadang mereka berhasil mendapatkannya. Tapi saat akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, kilauannya sudah memudar, atau mereka malah menghancurkan diri sendiri karena terobsesi pada pencapaian itu.

Bagaimanapun akhir ceritanya, selalu ada rasa melankolis di dalamnya. Tapi meskipun melankolis, kisah-kisah itu tetap memancarkan energi besar dari perjuangan meraih sesuatu, seolah-olah merepresentasikan kekuatan hidup itu sendiri. Jarang sekali aku menemukan sastra modern yang bisa menggambarkan romansa seperti yang dilakukan Fitzgerald.

Musik Sebagai Suara di Masa Perang

Mainichi Shimbun: Setelah Rusia menginvasi Ukraina pada Februari, perang pun pecah. Pada bulan Maret, kamu menyiarkan episode spesial di program radiomu, Murakami Radio, berjudul Music to Put an End to War. Apa yang melatarbelakangi episode itu?

Haruki Murakami: Banyak lagu yang kuputar dalam siaran itu adalah lagu-lagu anti-perang yang dulu digunakan untuk memprotes Perang Vietnam, saat aku masih muda. Rasanya musik semacam itu kini kembali relevan.

Yang kupikirkan adalah: Sekarang semua orang, termasuk para komentator di TV, terus mengutarakan pendapat mereka — ini benar, itu salah, ini baik, itu buruk. Aku tidak ingin seperti itu. Jadi, aku membiarkan musik yang berbicara. Aku hanya memperkenalkan lagu-lagu itu, memberikan sedikit informasi, lalu memutarnya tanpa menyatakan pendapat pribadiku. Menurutku, hasil akhirnya cukup baik. Aku bukan komentator atau kritikus, jadi aku ingin menghindari pernyataan yang terlalu langsung. Aku lebih suka membiarkan sesuatu berbicara mewakili perasaanku.

MS: Banyak orang khawatir perang ini bisa berkembang menjadi Perang Dunia III.

HM: Melihat pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina, aku merasa dunia sedang mengalami perubahan besar. Tapi aku bukan tipe penulis yang langsung menulis novel berdasarkan peristiwa nyata. Aku lebih suka menulis tentang bagaimana suasana hati manusia berubah akibat peristiwa-peristiwa itu. Jadi, mungkin butuh waktu lama sebelum kejadian-kejadian ini tercermin dalam karyaku.

Duka untuk Pembaca di Ukraina dan Rusia

MS: Kamu punya banyak penggemar di Rusia, dan bukumu juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ukraina.

HM: Ada enam bukuku yang sudah diterbitkan dalam bahasa Ukraina. Yang ketujuh, Killing Commendatore, sebenarnya sudah kami tanda tangani kontraknya, tapi untuk saat ini mereka jelas punya hal yang jauh lebih penting daripada menerbitkan buku. Aku punya pembaca di Ukraina dan juga di Rusia, jadi melihat situasi ini membuatku sedih.

Kesuksesan Drive My Car dan Kebebasan Berkarya

MS: Mari bicara soal film Drive My Car yang diadaptasi dari cerpenmu. Film ini berhasil memenangkan Oscar untuk kategori Best International Feature Film.

HM: Mereka mengadaptasinya dengan cara yang sangat berbeda dari ceritanya, dan menurutku hasilnya sangat bagus. Aku sendiri tidak terlalu merasa sebagai penulis aslinya. Aku hanya menyediakan kerangka cerita, dan selebihnya sutradara (Ryusuke) Hamaguchi menciptakan film ini dengan kebebasan penuh. Aku menikmatinya justru karena film ini begitu berbeda dari ceritanya.

Makna Sastra di Dunia yang Semakin Rumit

MS: Sudah enam bulan sejak Waseda International House of Literature (Perpustakaan Haruki Murakami) dibuka di Universitas Waseda. Kamu juga dijadwalkan mengadakan rekaman publik untuk acara radiomu, di mana kamu akan memperkenalkan koleksi piringan hitam milik ilustrator Makoto Wada (1936–2019).

HM: Aku menerima koleksi besar piringan hitam milik Pak Wada, dan aku akan memutar musik yang kusuka. Ada banyak koleksi langka, dan karena beliau orang yang sangat rapi, semua rekamannya masih dalam kondisi sempurna, tanpa goresan sedikit pun. Aku menghabiskan dua hari penuh untuk memilih 365 judul sendiri, dan koleksi itu kini disumbangkan ke Universitas Waseda sebagai Makoto Wada Collection.

MS: Saat ini, rasanya semakin sulit bagi orang-orang untuk menemukan jawaban tentang bagaimana seharusnya manusia atau masyarakat menjalani hidup, atau ke mana mereka harus mencari idealisme mereka. Menurutmu, apa peran sastra atau novel di zaman seperti ini?

HM: Bagaimanapun dunia berubah, makna menulis novel tetap sama — yaitu mengikuti sebuah cerita, dan itu sudah ada sejak lama. Memang, suasana zaman akan memengaruhi cerita, mengubah arahnya sedikit demi sedikit. Tapi pada dasarnya, apa yang aku lakukan tidak berubah. Aku hanya mengikuti cerita dan menuliskannya.

Aku sendiri tidak tahu pasti apa makna dari cerita yang aku tulis, atau apa yang ingin disampaikannya. Tapi aku yakin bahwa cerita itu punya sesuatu yang ingin diungkapkan, sesuatu yang ingin disampaikan. Yang paling penting adalah bagaimana pembaca menangkap dan merasakan makna itu sendiri.

(Wawancara asli dalam bahasa Jepang oleh Koichi Oi dan Yusuke Seki, Departemen Berita Budaya)

--

--

Muh. Syahrul Padli
Muh. Syahrul Padli

Written by Muh. Syahrul Padli

A Science and Physics Teacher, An Educational Researcher, co-Founder of YT Bawah Pohon Science. Instagram: @syahrul_padli. Email: syahrulpadlifisika02@gmail.com

No responses yet